Jumat, 06 April 2012
Gunung Sadahurip Bukan Bangunan Piramida; Perspektif Ilmu Kebumian
OLEH:Sujatmiko
Sekjen KRCB (Kelompok Riset Cekungan Bandung)
Gunung Sadahurip adalah sebuah gunung kecil terisolir yang terletak di Desa Sukahurip , Kecamatan Pangatikan, Kabupaten Garut. Tingginya yang 1463 meter di atas permukaan laut, membuat gunung mungil ini tampak menyolok di kejauhan, begitu kita memasuki Kecamatan Wanaraja dari arah Garut . Bentuknya yang mirip dengan bangunan piramida, ditambah dengan mitos penduduk setempat tentang keanehan dan keangkerannya, apalagi diperkuat oleh bisikan-bisikan ghoib, membuat Yayasan Turangga Seta yakin bahwa G. Sadahurip adalah sebuah piramida budaya yang dibangun oleh nenek moyang kita.
Keyakinan mereka kemudian dituangkan dalam suatu hipotesa yang menyimpulkan bahwa selain di G. Sadahurip, terpendam bangunan piramida budaya di gunung-gunung berbentuk piramida lainnya di Jawa Barat antara lain G. Kaledong dan G. Haruman , keduanya di Garut, dan G. Lalakon di Bandung. Hipotesa mereka ini tentu saja mengundang kontroversi khususnya bagi kalangan ilmuwan kebumian mengingat geomorfologi model piramida yang merupakan produk dari proses geologi dan gunung api sangat umum ditemukan di banyak penjuru dunia.
Walaupun demikian , berkat semangat dan kemahiran Yayasan Turangga Seta dalam menyosialisasikan hipotesanya dan memanfaatkan nama besar dari beberapa pakar ilmu kebumian yang di awal penelitian mereka ikut berpartisipasi, maka akhirnya Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana di Binagraha terpancing untuk ikut nimbrung melalui tim bentukannya yaitu Tim Bencana Katastropik Purba. Tim inilah yang beberapa waktu lalu mengklaim telah menemukan Piramida Sadahurip, yang selain tertinggi dan terbesar di dunia, juga tertua yaitu lebih dari 6000 tahun sebelum Masehi.
Pernyataan-pernyataan lainnya yang tak kalah kontroversialnya kemudian dilemparkan ke masyarakat luas antara lain tentang temuan pintu masuk ke ruang piramida di perut G. Sadahurip , dan yang terakhir tentang kehebatan para pendiri piramida yang diyakini telah mampu memindahkan seluruh kandungan batuan yang sebelumnya menyusun lembah Batu Rahong untuk dijadikan bahan bangunan Piramida Sadahurip.
Pernyataan terakhir ini yang sebetulnya dapat dijelaskan dengan konsep ilmu rupa bumi atau geomorfologi mengindikasikan bahwa Tim Bencana Katastropik Purba tidak dilengkapi dengan tenaga ahli kebumian yang mumpuni, yang selain dapat membaca dan menerjemahkan gejala alam yang telah dan sedang terjadi, juga dapat menjaga martabat dan kehormatan institusi kepresidenan yang seharusnya selalu kita junjung tinggi.
Gunung Sadahurip asli bentukan alam
Kepastian bahwa G. Sadahurip merupakan bentukan alam murni tanpa campur tangan manusia, apalagi tenaga ghoib, didapat setelah penulis melakukan pengamatan geologi langsung di lapangan pada tanggal 8 Januari 2012. Dalam kegiatan ini tim penulis didukung dan dikawal oleh Dan Ramil 1103 Wanaraja Garut, Kapten TNI Didi Suryadi beserta beberapa orang anggotanya , dan Sekretaris Desa Sukahurip, Bapak Syarip Hidayat. Target pengamatan pertama adalah morfologi G. Sadahurip yang tampak simetris sempurna dari arah Wanaraja, tetapi ternyata menjadi tidak simetris dari arah selatan / Kampung Cicapar.
Gunung Sadahurip tidak berbentuk piramida dilihat dari Cicapar
Pengamatan selanjutnya difokuskan kepada fenomena geologi yang ditemukan di sepanjang perjalanan , dari mulai Kampung Cipacar sampai ke puncak G. Sadahurip dan kemudian turun ke Kampung Sokol. Singkapan batuan yang ditemukan berupa batuan beku andesit dalam bentuk aliran lava dan batuan intrusif yang masif , yang di beberapa tempat melapuk meninggalkan struktur kulit bawang atau kekar tiang.
Pelapukan mengulit bawang di lereng Sadahurip dengan batuan asli kolom-kolom andesitis
Selain dari itu, ditemukan juga batuan piroklastika hasil kegiatan gunung api yang kebanyakan telah lapuk . Dengan variasi batuan semacam ini yang sangat umum ditemukan di morfologi gunung berbentuk piramida, maka dapat disimpulkan bahwa G. Sadahurip adalah sebuah gunung api kecil yang utuh dengan bentuk menyerupai piramida. Fenomena semacam ini oleh van Bemmelen disebut sebagai lava dome (The Geology of Indonesia, 1949) dan oleh Arthur Holmes sebagai cumulo dome (Principles of Physical Geology, 1984).
Metode penelitian geologi sederhana yang penulis uraikan ini sebetulnya merupakan materi kuliah Geologi Dasar di seluruh Fakultas Geologi di Indonesia yang seharusnya dipertimbangkan oleh Tim Bencana Katastropik Purba dalam melaksanakan penelitiannya. Dengan demikian maka pemakaian beragam peralatan super canggih seperti geolistrik superstring, georadar, foto satelit 3 D – IFSAR resolusi 5 meter, dan bahkan penentuan umur dengan metode Karbon C-14 atau radiocarbon dating yang tentunya telah menguras dana dan tenaga yang tidak kecil akan dapat dihindari.
Antara bisikan ghoib dan pertimbangan ilmiah
Dalam wawancaranya dengan VIVAnews pada tanggal 15 Februari 2011, Yayasan Turangga Seta yang didirikan sekitar tahun 2004 mengakui bahwa metode penelitian yang mereka terapkan banyak didasarkan atas kepekaan beberapa anggotanya terhadap kehadiran ghoib yang mereka sebut sebagai parallel existence (penulis menyebutnya sebagai bisikan ghoib). Mereka terkesan bangga menyebut timnya sebagai MIT atau Menyan Institute of Technology dengan argumentasi bahwa dalam melakukan perburuan situs prasejarah , yang mungkin dengan ritual pembakaran kemenyan untuk mengundang roh, mereka kadang-kadang mendapat sokongan informasi lokasi dari informan tak kasatmata (VIVAnews, 17 Maret 2011).
Dengan keyakinan semacam itu maka dapat dimengerti mengapa dalam sosialisasi pertamanya di hadapan Wagub Jabar tanggal 3 Maret 2011, Yayasan Turangga Seta terkesan kurang senang ketika penulis dan Drs. Lutfi Yondri M.Hum., pakar arkeologi dari Balar Bandung, memberikan masukan ilmiah , padahal maksudnya agar Yayasan Turangga Seta yang sebagian besar anggotanya masih muda-muda dapat lebih berhati-hati , baik dalam melakukan penelitian ataupun dalam prosedur dan perizinannya (sesuai dengan isi Undang-Undang Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010).
Masukan serupa tetapi sedikit lebih keras diberikan lagi kepada perwakilan Yayasan Turangga Seta ketika memperkenalkan hipotesanya di Jurusan Tambang ITB pada tanggal 6 Mei 2011 yang dihadiri juga oleh penulis dan Drs. Lutfi Yondri M.Hum. Pernyataan mereka ketika itu cukup tegas bahwa mereka lebih percaya kepada bisikan ghoib atau parallel existence dari pada pertimbangan ilmiah.
Selain peringatan secara langsung, sanggahan melalui media internet dan media cetak dilayangkan juga antara lain oleh Mang Okim (milis IAGI 20 Maret 2011 : Piramida G. Lalakon di Bandung, Akhir Sebuah Harapan), Dr. Ir. Budi Brahmantyo M.Sc. (PR 3 Agustus 2011: Gunung Lalakon, Sebuah Karya Alam), dan lain-lain. Artikel dan tulisan berikut lampiran gambar-gambar yang menjelaskan dan menyanggah hipotesas piramida tersebut dan telah dikutip oleh Google, dipastikan telah dibaca juga oleh Yayasan Turangga Seta.
Selain dari itu, beberapa pakar geologi terkemuka di Indonesia yang pada awalnya mendampingi dan mendukung secara sukarela penelitian mereka, kemudian menarik diri setelah menyadari adanya penyimpangan metode dan arah penelitian mereka dari kaidah-kaidah ilmu kebumian yang baku (pengakuan Dr.Ir.Danny Hilman M.Sc. di Nasional, 4 April 2011, dan bantahan keras Dr.Ir. Andang Bachtiar M.Sc. di FB karena nama dan reputasinya dimanfaatkan secara tidak benar). Dengan adanya sanggahan dan bantahan dari para pakar tersebut, maka sungguh sulit dimengerti bahwa Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana justru terpengaruh dan bahkan mendukung penuh kegiatan eksplorasi dan penggalian arkeologi yang di beberapa lokasi diketahui melanggar ketentuan dan prosedur yang digariskan dalam Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2010 .
Pelajaran berharga bagi kita semua
Gencarnya issue tentang Piramida G. Sadahurip ini , yang oleh masyarakat Garut diartikan sebagai adanya bangunan piramida dan/atau kandungan harta karun di perut G. Sadahurip, membuat aparat Kecamatan Pangatikan dan Desa Sukahurip di Garut menjadi sibuk luar biasa. Selain karena membanjirnya para pengunjung ke puncak G. Sadahurip sejak sekitar 6 bulan terakhir , yang ketika penulis mendaki gunung ini pada tanggal 8 Januari 2012 jumlahnya mencapai lebih dari 200 orang, beberapa instansi terkait dan Pemkab Garut tentunya tak kalah sibuknya melayani permintaan dan pertanyaan para pejabat di Jakarta tentang issue piramida tersebut.
Wisatawan yg penasaran isu piramida melewati lereng Sadahurip dengan lapisan lava andesitis
Hikmah dari semua itu adalah meningkatnya minat masyarakat dan para pelajar untuk mendaki sampai ke puncak G. Sadahurip melalui jalan setapak dan lereng terjal yang tidak ringan. Untuk melayani pengunjung, paling sedikit tiga warung jajanan telah dibangun mendadak oleh penduduk setempat di lereng G. Sadahurip. Hal ini memberikan indikasi bahwa masyarakat sangat mendambakan sarana wisata minat khusus yang sebetulnya bisa diciptakan oleh para pemangku kekuasaan kalau mau.
Sehubungan dengan itu, maka walaupun G. Sadahurip bukan bangunan piramida budaya, alangkah baiknya kalau minat masyarakat khususnya para remaja dan pelajar yang dengan semangat pantang menyerah mendaki sampai ke puncak G. Sadahurip dapat dipertahankan. Dengan anggaran yang tidak seberapa dan bahkan melalui kerja gotong royong, jalan ke puncak G. Sadahurip dapat diatur dengan membuat tangga-tangga sederhana. Pemandangan alam dilihat dari puncak G. Sadahurip sungguh luar biasa antara lain G. Kaledong dan G. Haruman serta beberapa gunung lainnya yang bentuk piramidanya tak kalah indahnya dari G. Sadahurip.
Kerucut Gunung Kaledong dan Gunung Haruman yg merupakan sisa-sisa gunung api purba, juga disangka piramida Segede ituuu???
Dan kepada Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, pesan moral yang kiranya perlu disampaikan adalah agar tidak terjun terlalu jauh dalam masalah-masalah yang sebetulnya dapat dilakukan oleh lembaga dan instansi serta institusi pendidikan terkait. Alangkah ironisnya bahwa hilangnya bangunan sangat penting di puncak G.Sadahurip yaitu beton Trianggulasi T 74 yang dibongkar karena dikira mengandung harta karun, lepas dari perhatian, padahal hukuman bagi pencurinya di zaman kolonial Belanda begitu berat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar