DI TELUK LAMPUNG
Armen Yasir dan Buchori Asyik
I PENDAHULUAN
Ditinjau dari geopolitik dan geostrategi, Daerah Propinsi Lampung memiliki posisi penting dan menguntungkan. Wilayahnya sebagian besar dikelilingi laut, yakni laut Jawa, Selat Sunda hingga Samudera Hindia. Meningkatnya frekunesi lalu lintas pelayaran lewat Selat Malaka, Selat Karimata menuju Laut Jawa dan Selat Sunda telah menempatkan Lampung sebagai salah satu kawasan jalur komunikasi lintas laut strategis yang pada hekikatnya mengandung keuntungan sekaligus kerawanan dalam mendinamisasikan pembangunan di Propinsi Lampung terutama Di Daerah Kota Bandar Lampung.
Daerah Kota Bandar Lampung memiliki luas 19.218 Ha. Dengan luas wilayah terbangun sebesar lebih kurang 54,93 km2/5493 Ha. Dari data itu nampak bahwa terdapat cukup luas kawasan yang tidak terbangun yang dapat dimanfaatkan bagi berbagai aktifitas perkotaan.
Potensi alam yang terdapat di Kota Bandar Lampung terdapat kekhasan morfologi tersendiri baik dari pegunungan, perbukitan, daratan hingga pantai yang terletak di bagian dalam Teluk Lampung. Kondisi ini seharusnya menjadikan Kota Bandar Lampung sangat potensial untuk dikunjungi wisatawan, sebab citra endegonik laut dan gunung tersebut merupakan potensi keindahan dan daya tarik tersendiri bagi Kota Bandar Lampung.
Pantai Bandar Lampung memiliki keistimewaan tersendiri, yaitu terletak disuatu teluk yang sangat nyaman dengan keindahan panorama laut dan beberapa gugus pulau kecil di tengah laut. Letak pantai tidak jauh dari pusat kota. Fisiotrafi tersebut memanjang dari Tarahan, Panjang, Way Lunik, Teluk Betung, Pesawahan sampai kearah Lempasing. Begitu juga Perbukitan yang terletak di pusat dan bagian kota lainnya, merupakan potensi alam yang secara khas dimiliki oleh Bandar Lampung. Selain berfungsi lindung bagi pelestarian tata air dan konservasi tanah, perbukitan dengan tanaman hijau lainnya akan berfungsi sebagai paru-paru kota. Pemanfaatan yang terbatas dapat diselaraskan dengan pengembangan wisata hutan raya.
Potensi alam yang digambarkan diatas sekarang sudah cukup memprihatinkan karena cukup banyak bukit/gunung yang dibuat perhotelan, perumahan dan bahkan diruntuhkan untuk mengambil tanahnya dan ditimbunkan ke daerah pesisir/laut. Dalam pengembangan kota pantai di Kota Bandar Lampung telah banyak dilaksanakan reklamasi pantai oleh pihak swasta (dengan izin atau kebijaksanaan Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung) yang seluruhnya diperkirakan mencapai lebih dari 350 ha.
Sepanjang pesisir Teluk Lampung selama ini (selain Pelabuhan Kapal Daerah Panjang) hanya terdapat perkampungan nelayan dan wilayah pesisir teluk lampung adalah tempat para nelayan itu mencari ikan, baik nelayan laut dangkal maupun nelayan laut dalam, namun sekarang disepanjang pesisir teluk lampung telah dikeliling oleh sejumlah kegiatann ekonomi; seperti industri, hotel, rumah makan dan tempat hiburan lainnya.
Hasil Evaluasi dan Rencana Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung, Laporan Fakta analisa tahun 2003 menyatakan bahwa; telah terjadi pencemaran Teluk Lampung yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain buruknya kondisi sungai muara, adanya kegiatan ekonomi disepanjang wilayah pesisir, serta struktur bangunan gedung yang dibangun di wilayah pesisir.
Merupakan suatu fakta pembangunan gedung, industri di wilayah pesisir Teluk Lampung (di daerah Sukaraja dan Kota karang) sudah tidak mentaati garis sempadan pantai yang diawali dengan melakukan penimbunan pantai dengan tanah yang diambil dari bukit atau gunung yang ada di Daerah Kota Bandar Lampung yang dilaksanakan atas izin atau kebijaksanaan Pemerintah Kota Bandar Lampung, yang sudah dimulai dilakukan sejak tahun 1980. Padahal diketahui bahwa kesinambungan perkembangan dan kelestarian kawasan pantai sangat penting untuk menghindari terjadinya bencana alam seperti badai/tsunami lebih-lebih lampung merupakan daerah patahan bumi seharusnya batas garis sempadan pantai ditaati. Bila mengikuti standar internasional sejauh 2 mil/3,4 km dari garis pantai terluar atau titik surut terjauh hingga kearah daratan atau standar nasional adalah 100 m dari titik pasang tertinggi kearah darat, dan di daerah areal tersebut tidak boleh dilakukan kegiatan pembangunan struktur bangunan gedung.
Penimbunan Wilayah pesisir selain memiliki dampak terhadap pencemaran laut dan merusak biota laut serta terumbu karang terutama karena sedimentasi, tentunya berdampak bagi kehidupan nelayan yang menggantungkan hidupnya kepada laut terutama dilihat dari sisi sosial, ekonomi. Guna membuktikan asumsi di atas dilakukan Penelitian dan atau survey pada masyarakat nelayan di wilayah pesisir Teluk Lampung.
II PEMBANGUNAN DAN KEBIJAKAN LINGKUNGAN
Apabila pembangunan diartikan sebagai proses berlangsungnya perubahan-perubahan dan hukum (dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan) dijadikan sebagai sarana yang dapat digunakan untuk melakukan perubahan dalam masyarakat, maka hukum merupakan serangkaian alat yang ada pada pemerintah untuk merealisasikan kebijaksanaan. Pembuat kebijaksanaan mempunyai alat yang dapat di pakai untuk mempengaruhi aktivitas pemegang peran, yaitu peraturan yang ia buat.
Merujuk pada pendapat Thomas R Day (1981;3), maka kebijaksanaan pemerintah secara umum dapat diartikan sebagai serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau orientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Dengan demikian semua kebijaksanaan pemerintah apapun bentuknya, dimaksudkan untuk mempengaruhi dan mengontrol manusia sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan pemerintah.
Berdasarkan pandangan di atas, berbagai kebijaksanaan pemerintah yang tertuang dan berkaitan dengan lingkungan hidup atau sumberdaya alam, haruslah bertujuan untuk mengendalikan, mencegah kerusakan, memulihkan kondisi yang sudah rusak atau kondisi kritis maupun pencemaran.
Demokrasi modern mengajarkan bahwa kebijaksanaan publik tidaklah semata-mata berisi cetusan pikiran/pendapat dari pejabat negara yang mewakili rakyat, akan tetapi pendapat dan opini publik juga mempunyai arti dan porsi yang sama besarnya yang dapat tercermin dalam kebijaksanaan publik itu.
A. Hoogerwerf (dalam Esmi Warasih, 1990; 45) menyatakan bahwa tujuan-tujuan penting kebijaksanaan pemerintah pada umumnya adalah ; (1) memelihara ketertiban umum, (2) memajukan perkembangan masyarakat, (3) memperpadukan berbagai aktivitas, dan (4) menunjuk dan membagi berbagai benda material dan non material.
Lingkungan hidup dan sumberdaya alam sebagai ekosisitem terdiri atas berbagai subsitem yang mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi dan geografi dengan corak ragam yang berbeda yang mengakibatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang berlainan, oleh karena itu kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakatnya.
Pada banyak kasus lingkungan, misalnya industri, pengembangan kotadan lain sebagainya; yang setiap kegiatannya sering menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan atau sumberdaya alam sebagaimana dapat dilihat dalam pembangunan yang dilakukan pada saat sekarang, pada hal berbagai instrumen (misalnya AMDAL) telah dibuat, namun ia hanya merupakan suatu dokumen belaka yang diperuntukkan guna mendapatkan izin setelah itu tidak/jarang dijadikan pedoman dalam kegiatan yang dilakukan.
Apabila ditinjau dari sisi lingkungan, kegiatan industri dan pembangunan lainnya cendrung mengarah kepada kegiatan produksi, yaitu terjadinya proses pengubahan kondisi, apakah itu bahan baku menjadi bahan jadi atau setengah jadi dengan menggunakan energi atau mengubah kondisi lahan yang tidak terbangun menjadi terbangun tanpa memperhatikan ekosistem lingkungan sehingga memberikan sisa-sisa produksi, atau akibat perubahan lahan menimbulkan pencemaran lingkungan atau perusakan lingkungan beserta ekosisitemnya dan akhirnya bedampak pada kehidupan ekonomi-sosial masyarakat.
III GAMBARAN UMUM KARAKTERISTIK WILAYAH PESISIR
DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG
Kota Bandar Lampung merupakan ibu kota Propinsi Lampung yang menjadi pusat kegiatan pemerintahan, sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan kebudayaan. Pertumbuhan investasi serta perkembangan aktivitas perkotaan telah mendorong munculnya pusat-pusat pertumbuhan baru di Kota Bandar Lampung sehingga dilakukan pemekaran wilayah administratif wilayah kecamatan pada pada tahun 2002 dari 9 wilayah kecamatan menjadi 13 kecamatan.
Topografi Kota Bandar Lampung sangatlah beragam, mulai dari daratan, pantai sampai kawasan perbukitan hingga bergunung, dengan ketinggian permukaan antara 0 sampai 500 m. Daerah dengan topografi perbukitan hingga bergunung membentang dari arah barat ke timur dengan puncak tertinggi pada Gunung Betung dab Gunung Dibalau serta perbukitan Batu Serampok disebelah Timur. Topografi tiap-tiap wilayah di Kota Bandar Lampung adalah sebagai berikut :
§ Wilayah pantai terdapat disekitar Teluk Betung dan Panjang dan Pulau di bagian selatan.
§ Wilayah landai/daratan terdapat disekitar Kedaton dan Sukarame dibagian utara.
§ Wilayah perbukitan terdapat disekitar TelukBetung bagian utara.
§ Wilayah daratan tinggi da sedikit bergunung terdapat disekitar Tanjung Karang Bagian Barat yaitu wilayah Gunung Betung, dan Gunung Dibalau serta perbukitan Batu Serampok di bagian timur.
Penduduk Kota Bandar Lampung berdasarkan sensus kependudukan tahun 2004 mencapai 742.749 jiwa. Penyebaran penduduk di wilayah Kota Bandar Lampung, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua (2) bagian, yaitu; (1) penyebaran penduduk di Daerah Perkotaan, (2) Penyebaran Penduduk di Daerah Pedesaan/pinggiran pusat kota.
Berdasarkan penyebaran penduduk, sebagian besar berada di daerah perkotaan, hal ini dikarenakan daerah perkotaan merupakan pusat pemerintahan, industri, perdagangan dan jasa. Di samping itu, faktor kemudahan sarana transportasi dan komunikasi yang memadai serta adanya berbagai fasilitas sosial ekonomi yang lebih baik, menyebabkan sebagian besar penduduk terkonsentrasi di daerah perkotaan. Penyebaran penduduk di daerah pinggiran pusat kota pada umumnya mengikuti jaringan jalan yang ada. Kecendrungan inipun disebabkan oleh faktor kemudahan transfortasi, tersedianya air minum dan pemanfaatan tanah yang subur untuk usaha pertanian.
Penyebaran penduduk Kota Bandar Lampung terkonsentrasi di 3 Kecamatan yakni Kedaton mencapai 10,6 % dari Total Penduduk, Kecamatan Teluk Betung Barat mencapai 11,3 % dan Kecamatan Teluk Betung Selatan mencapai 11,92 % dari total penduduk.
Secara keseluruhan kondisi penggunaan lahan di Kota Bandar Lampung dikelompokkan dalam kawasan terbangun dan ruang terbuka. Kawasan terbangun terdiri dari lahan pekarangan, perkantoran, perdagangan, jasa dan industri. Sedangkan ruang terbuka berupa tegalan, kebun, hutan, kuburan, lapangan dan lain-lain. Kawasan terbangun di Kota Bandar Lampung mencapai sekitar 34 % dari wilayah kota selebihnya merupakan lahan tidak berbangun (terbuka).
Kondisi lahan yang berkembang disekitar Pantai Teluk Lampung meliputi beberapa karakteristik. Fungsi ruang terbuka biasanya digunakan sebagai kebun tanaman maupun tanah yang tidak jelas pengelolaannya. Sedangkan lingkungan terbangun diwilayah pesisir Teluk Lampung yang terbentang dari pelabuhan Panjang hingga Teluk Betung, Kota Karang; memiliki karakteristik penggunaan lahan sebagai pengudangan dan industri, perhotelan, tempat-tempat hiburan, pemukinan, dan kawasan industri.
Kondisi tanah di kawasan pantai Teluk Betung umumnya memiliki karakteristik yang relatif seragam. Tanah di kawasan ini termasuk dalam kategori gradasi sedang. Hasil penjaringan yang dilakukan oleh Pihak Universitas Lampung, di mana 50 % sample uji lolos saringan 0,42 mm.
Di daerah kawasan Pantai Teluk Betung Bandar Lampung memiliki pasang surut tipe semi diurnal, di mana terdapat dua kali pasang dan dua kali surrut dalam setiap harinya. Dalam setiap harinya, pasang pertama akan berbeda dengan pasang kedua, begitu juga dengan keadaan surutnya. Hal ini berarti terdapat ketidak samaan harian. Dalam setiap bulannya terjadi dua kali pasang tinggi dan dua kali pasang rendah. Kisaran pasang surut di kawasan pantai Teluk Bentung sebesar 143,8 cm dengan amplitudo sekitar 76,9 cm.
Sedimen pantai Teluk Lampung didominasi oleh pasir, batu, krikil dan lumpur. Karakteristik sedimen dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sedimen yang berasal dari laut dan sedimen yang berasal dari sungai yang bermuara ke Teluk Lampung. Karakteristik sedimen yang berasal dari sungai umumnya berupa lumpur yang mengendap dan membentuk tanah tumbuh. Diberbagai tempat seperti pantai Kelurahan Bumi Waras dan Pantai Kelurahan Kangkung sedimen selain dari lumpur juga berupa pasir dan batu krikil dengan diameter beragam. Disekitar muara sungai, endapan yang terbentuk berupa sampah buangan rumah tangga. Sampah ini mendominasi beberapa bagian pantai sehingga menimbulkan pembusukan dan pencemaran air laut.
Terdapat lebih dari 14 Perusahaan yang berdiri di wilayah pantai lampung, diantaranya PT. Bina Bumi Sagara, PT. Way Kunyit Indah Pratama, PT. Bangun Lampung Semesta, CV Wangsa Jaya Abadi, Sucipto, PT. Kartika Hotel. PT Roda Sakti Permai . PT Tanjung Jati, PT. BAS. PT. Jaka Utama. PT Roda Sakti Permai, PT. Pantai Gading. PT. Andatu. PT. Han Jung, PT. Greasia Wood Industrial, PT. Lampung MN dan sebagainya.
Bangunan rata-rata merupakan bangunan permanen yang mempengaruhi wajah kota, sedangkan ruang-ruang antara bangunan gudang, maupun tanah-tanah penduduk digunakan sebagai pemukiman informal. Bangunan dilingkungan informal tersebut dibangun dengan bahan bangunan sederhanan (non permanen) beranjak menjadi permanen tergantung dengan peningkatkan kondisi ekonomi penghuninya.
Kondisi sanitasi lingkungan pada kawasan perencanaan berkembang tanpa struktur dan tidak bersifat terpadu. Infrastruktur dibangun secara parsial bergantung kepada kebutuhan masing-masing persil bangunan. Pada kawasan pemukinan kondisi sanitasi sangat buruk, dengan penggunaan air sumur yang potensial mengalami instrusi air laut.
Penggunaan Lahan di kawasan pesisir Teluk Lampung menimbulkan berbagai permasalahan misalnya pencemaran air laut, rendahanya penataan dan penegakan hukum terutama pelanggaran terhadap proses AMDAL dalam pengembangan pantai, belum adanya penataan ruang wilayah pesisir, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, ancaman instrusi air laut dan langkanya air bersih, degradasi habitat wilayah pesisir karena reklamasi pantai, pencemaran pesisir oleh limbah industri dan sampah rumah tangga yang terbawa melalui sungai, reklamasi pantai yang menyebabkan sedimentasi dan menurunnya kualitas perairan serta parawisata massal cendrung tidak ramah lingkungan.
IV DISKRIPSI KONDISI EKONOMI-SOSIAL MASYARAKAT NELAYAN
4.1 Keberadaan Nelayan di pesisir Bandar Lampung
Umumnya nelayan di daerah pesisir Daerah Kota Bandar Lampung merupakan nelayan turun temurun yang terdiri dari berbagai etnis, walupun kelompok etnis dominan tetap ada seperti di kota karang didominasi oleh etnis Bugis, sedangkan di Sukaraja didominasi oleh kelompok etnis Serang Jaseng. Kelompok Nelayan di Kota karang telah berada dipesisir itu sejak tahun lima puluhan (50), sedangkan kelompok Nelayan di Sukaraja sudah berada di pesisir panjang sejak tahun enam puluhan (60).
Berdasarkan hasil FGD jumlah nelayan juragan (merupakan nelayan pemilik modal yang menyediakan segala macam keperluan anak buahnya) diperkirakan 40 orang dengan memiliki setiap juragan 5 sampai 6 motor/bagan tangkap ikan; jumlah motor tangkap/bagan diperkirakan sekitar 240 dan setiap motor/bagan terdiri dari 9 sampai 10 nelayan, ini berarti jumlah nelayan di Daerah Kota karang diperkirakan berjumlah sekitar 2160 sampai 2400 nelayan atau dengan ditambah jumlah jiwa dalam keluarga nelayan sekitar lebih kurang 10.200 jiwa. Sedangkan di Sukaraja, juragan Kepayang besar 20 orang masing-masing satu kepayang 11 orang nelayan, juragan kepayang sedang 4 orang dan masing-masing satu kepayang sedang 7 orang nelayan dan 2 orang pemilik kepayang kecil. 42 orang nelayan jaring dan 7 orang nelayan bubu; sehingga jumlah nelayan di Sukaraja diperkirakan sekitar 301 nelayan atau dengan ditambah jumlah jiwa dalam keluarga nelayan sekitar lebih kurang 1.635 jiwa.
Karakteristik nelayan di Kota karang adalah nelayan laut dalam dan nelayan laut dangkal dengan menggunakan bagan, sedangkan Di Sukaraja nelayan laut dangkal umumnya menggunakan perahu dayung dan motor ukurang kecil dengan menggunakan jaring atau menggunakan kepayang dan bubu dipinggir pantai.
Kondisi lingkungan sosial (rumah) Di Kota Karang relatif baik, namun di Sukaraja cukup kumuh lebih-lebih disekitar perumahan nelayan sering terjadi timbunan sampah. Status lahan di pesisir Kota Karang hampir seluruhnya dimiliki oleh nelayan dengan bukti akte tanah dan sertifikat, sedangkan di Sukaraja hingga sekarang tidak jelas atau tidak dimiliki bukti kepemilikan lahan, walaupun mereka sudah berada di daerah itu sekitar lebih kurang 45 tahun.
Kondisi lingkungan ditempat tinggal sekarang (di Kota Karang) pada saat mereka menetap untuk pertama kalinya masih terdapat hutan bakau, terumbu karang yang baik rawa payau sedangkan di Sukaraja hanya terdapat rawa payau dan terumbu karang, demikian juga jenis ikan yang ada masih beranekaragam dan cukup banyak, sehingga untuk mencari ikan terisi, simba, baronang, selar, pape, tongkol dan kerapu, tanjam serta teri tidak terlalu sulit, karena tempat menangkap relatif cukup dekat dengan tempat tinggal mereka. Alat tangkap yang paling poluper pada waktu adalah bagan yang dibuat dari bambu, jaring dan pancing. Pada saat itu kondisi lingkungan memberikan dukungan terhadap penghidupan kepada nelayan di bawah tahun delapan puluhan (80) sangat menjanjikan, karena hasil tangkapan pada bulan-bulan tertentu (bulan 8 dan 9) ketika terjadi musim selatan, dapat mencapai 9 ton ikan tangkapan (setiap bagan) atau satu sampai dua mobil bagi nelayan kepayang dan minimal 10 sampai 20 kg bagi nelayan jaring setiap mengangkat jaring dan bagi nelayan bubu dalam satu malam dapat mengangkat bubu menghasilkan ikan mencapai 5 kg.
Fenomena yang digambarkan ditahun delapan puluhan tersebut kini tinggal kenangan, sejak tahun delapan puluhan, adanya perusahanan (PT Tanjung Jati) dengan menggunakan pukat harimau, jaring lempar dasar berdampak pada penurunan produksi ikan di wilayah tangkapan nelayan di teluk lampung.
4.2 Dampak Reklamasi Terhadap Kondisi Ekonomi –Sosial Nelayan
Dampak yang dilihat terutama dampak fisik dan sosial ekonomi dari nelayan yang sudah nampak sejak sepuluh tahun terakhir, yaitu tahun 1990 hingga sekarang. Kehidupan para nelayan di Lokasi penelitian semakin hari semakin suram, terutama dampak dari canggihnya alat tangkap yang digunakan oleh para pemodal dan adanya penimbunan pantai sejak 1990 dan masih terus berjalan hingga sekarang. Akibatnya bagi nelayan yang menggunakan perahu motor daerah tangkapan menjadi jauh yaitu dengan menggunakan perjalanan 3-4 jam ke arah Kabupaten Kalianda Lampung Selatan, bahkan hingga daerah banten, hasil tangkapan tidak menentu, sedangkan bagi nelayan bagan harus menarik bagannya jauh ketengah laut dengan hasil yang tidak memadai dan bagi nelayan bubu sudah tamat riwayatnya karena hasil tangkapan tidak ada bahkan bubunya hilang di bawa atau tertimbun lumpur.
Bagi nelayan bagan biaya operasional sekali melaut untuk minyak motor diperlukan biaya Rp 2.00.000, oleh karena itu tidak setiap nelayan dapat turun kelaut, kecuali ada informasi dari nelayan yang sedang melaut ada ikan yang banyak, baru mereka turun, hal ini sebagai strategi untuk menghemat biaya operasional dan bertahan hidup. Dampak tidak langsung dari kondisi tersebut, para nelayan memilih strategi bertahan hidup dengan cara migrasi ke Jakarta, berusaha dibidang lain atau menjadi buruh pabrik di tempat lain.
Sejak maraknya reklamasi pantai di teluk Lampung (di Kota Karang) disekitar tahun 80-an, semula belum sangat dirasakan oleh para nelayan dalam hasil tangkapan, yang sangat dirasakan oleh para nelayan adalah tekanan dari pengusaha agar pindah dari lokasi tersebut dengan segala cara. pengusiran dan pemindahan oleh pengusaha pada waktu itu (seperti kedaerah Sukamaju dan Lempasing). Selain pengusiran dan pemindahan oleh pengusaha waktu itu sebagai dampak lansung dari reklamasi pantai, dampak kumulatif baru dirasakan setelah 10 tahun (tahun 90-an) kemudian, yaitu mulai dirasakannya turun hasil tangkapan ikan oleh nelayan. Kalau dibandingkan dengan tahun 80-an ke bawah hasil tangkapan nelayan masih cukup menguntungkan para nelayan dan jenis ikan masih dapat dipilih, salah satu indikator keberhasilan nelayan pada waktu itu adalah banyaknya nelayan yang dapat menunaikan ibadah haji dari hasil tangkapan ikan, akan tetapi sekarang untuk mencukupi biaya untuk sekolah anak dirasakan sangat sulit.
Dampak yang juga dirasakan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir oleh nelayan Kota Karang adalah semakin banyaknya limbah yang ada di laut, berupa plastik, air kotor, kayu-kayu, dan sampah lainnya. Sumber limbah menurut masyarakat setempat adalah berasal dari limbah rumah tangga karena semakin banyaknya jumlah penduduk, dan limbah tersebut dibuang langsung ke laut. Sumber limbah di laut bukan semata dari masyarakat akan tetapi di bawa oleh arus laut dari daerah lain terutama daerah kota yang di bawa oleh sungai Way Sukamaju dan Belau, sehingga laut semakin kotor. Keadaan ini menganggu kenyamanan nelayan menangkap ikan dan hasil yang diperoleh serta pemukiman tidak layak lagi karena sempitnya lahan. Dampak turunan dari keadaan ini terhadap kesehatan khususnya jenis penyakit yang dirasakan oleh penduduk adalah seringnya timbul penyakit malaria (menurut persepsi penduduk) hal ini disebabkan adanya jalan tembok yang dibangun di bawahnya ada gorong-gorong yang menjadi sumber nyamuk. Timbulnya penyakit muntaber, hal ini diduga karena lingkungan yang semakin kumuh tidak sehat sehingga berdampak terhadap munculnya penyakit ini.
Di Daerah Sukaraja menurut para tokoh nelayan di sana dibawah tahun 1990 untuk mencari ikan di Teluk Lampung-Sukaraja sangat mudah, artinya dengan modal perahu dan jaring serta waktu layar tidak jauh dari pantai dapat menghasilkan ikan untuk dijual serta dimakan untuk keperluan sehari-hari. Oleh karena itu dari dahulu hidup menjadi nelayan menjadi pekerjaan yang tidak dapat digantikan dengan pekerjaan lain.
Di Sukaraja Dampak kumulatif secara langsung maupun tidak langsung dari perubahan kondisi pantai akibat penimbunan pantai terhadap nelayan setempat sekarang sudah sangat terasa. Dampak fisik yang sangat terasa terhadap nelayan terutama akibat adanya sedimentasi yang tidak terkendali. Menurut pengalaman nelayan yang menggunakan “bubu” sebagai alat tangkap mencari ikan yang biasanya dipasang di pesisir laut selama dua hari dapat menghasilkan ikan, akan tetapi yang terjadi adalah “bubu nya terkubur oleh lumpur”. Akibatnya nelayan yang menggunakan jenis alat tangkap ini tidak dapat digunakan lagi, sehingga salah satu sumber penghasilan tertutup dan berdampak terhadap pendapatan nelayan. Dampak lain adalah terjadinya banjir terutama air pasang dan turun hujan. Bajir ini disebabkan saluran air yang dahulu 3 dijadikan satu saluran, dan oleh penimbunan pantai yang menjorok ke laut mengakibatkan arus laut menjadi sempit masuk ke pemukiman penduduk.
Ruang gerak nelayan di Sukaraja sekarang semakin sempit terutama di laut dangkal, sehingga nelayan kesulitan mencari ikan seperti rebon, kerapan dan teri. Jenis biota laut yang kecil-kecil ini yang hidup di laut dangkal ruang gerak dan tempat berkembang biaknya (karang laut) telah tertimbun oleh lumpur akibat sedimentasi sehingga jumlahnya berkurang. Hal ini terasa sekali oleh nelayan yang menggunakan jaring dan bubu hasil tangkapnya menjadi berkurang bahkan tidak mendapatkan hasil tangkapan. Wilayah tangkapan yang masih memungkinkan dan terbatas yaitu tempat-tempt ijo di jalur kapal, akan tetapi tempat ini mempunyai keterbatasan bila jalur kapal digunakan. Sedangkan untuk mencari ikan di laut yang agak dalam dan jauh dari pantai kelompok nelayan terbentur kepada masalah modal terutama motor tangkap ikan.
Dampak sosial yang sangat dirasakan oleh nelayan Kota Karang adalah bidang pendidikan, sejak hasil tangkapan mulai menurun akibat dari reklamasi pantai yaitu jauhnya wilayah tangkap dan turunnya hasil tangkapan, berkaitan langsung dengan penghasilan yang diperoleh para nelayan, dan ini berpengaruh langsung dengan biaya pendidikan anak-anak. Dibandingkan dengan 15-20 tahun yang lalu pendidikan anak-anak belum dirasakan berat karena dari hasil tangkapan dapat membiaya sekolah anak-anak sampai ke Perguruan Tinggi, hal ini dibuktikan dengan banyaknya anak nelayan di wilayah ini yang sudah berpendidikan sarjana. Akan tetapi sekarang, akibat tidak dapat membiayai anak-anak sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, pendidikan yang paling tinggi hanya sekolah pada SLTA. Bahkan ada kesan sekarang di masyarakat nelayan buat apa sekolah tinggi-tinggi, karena lulusan perguruan tinggi banyak yang tidak bekerja (kasus anak-anak nelayan yang tamat PT tidak bekerja di sektor formal), dan akhirnya menjadi nelayan juga.
Di Sukaraja dampak turunan selanjutnya terhadap kehidupan sosial nelayan semakin terasa terutama dalam mencukupi kehidupan sehari-hari, apalagi untuk membiayai pendidikan anak-anak. Sementara biaya pendidikan dirasakan sangat berat apalagi kalau sekolah jauh dari tempat tinggal. Fenomena yang ada (penuturan dari tokoh masyarakat) pendidikan anak-anak nelayan paling banyak hanya berpendidikan sekolah dasar, karena untuk menyekolahkan anak ke tempat yang lebih jauh tidak memiliki biaya yang cukup. Keterpurukan nelayan dalam bidang ekonomipun dapat dilihat dari status tempat tinggal mereka. Status tempat tinggal yang mereka tempati sekarang tidak ada surat yang legal (sertifikat, SKT) akan tetapi yang dimiliki hanya surat keterangan dari Kelurahan dan sebagai tanda bukti pemilikan hanya sebatas kwitansi.
Beberapa orang dari nelayan di Sukaraja, untuk melangsungkan hidup dengan cara migrasi ke daerah lain, tempat yang dituju adalah Daerah Way Kambas, Padang Cermin dan Pulau Bangka. Di wilayah itu menurut penuturan Tokoh masyarakat disana mereka masih tetap sebagai nelayan, sedangkan yang lainnya, usaha lain selain dari nelayan tidak banyak dilakukan, sebagai usaha sampingan kalau tidak melaut karena musim angin barat mereka menjadi tukang beca, dagang keil-kecilan di pasar (khusus kaum perempuan) dan atau menjadi buruh di pasar.
Di Kota Karang Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, secara langsung sebenarnya tidak ada dampak langsung kepada masyarakat, dampak kumulatif dari reklamasi pantai dapat dilihat dari banyaknya tumbuh permukiman baru khususnya beberapa perumahan dengan gaya hidup yang kontras dengan kehidupan masyarakat nelayan. Sebagai tempat pertumbuhan baru suasana Kota Karang menjadi ramai dan penjualan narkoba/alkohol menjadi lebih dekat dan mudah dijangkau, akibatnya barang tersebut mudah didapat. Menurut informasi pengaruh minuman alkohol/narkoba ini sudah banyak dikonsumsi oleh para pemuda di wilayah ini sejak tahun 80-an ke atas. Untuk mengatasi masalah ini khususnya penjualan bir atau minuman keras ada larangan dari tokoh masyarakat yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum. Selain itu akibat intensifnya interaksi sosial dengan berbagai kultur yang ada di lingkungan yang tumbuh dengan pesat semakin terbukanya masyarakat terhadap budaya yang lain, hal ini dapat dilihat dari kecenderungan terjadinya perkawinan antar kelompok ethnis (terutama dalam 10 tahun terakhir) yang sebelumnya kelompok ethnis bugis agak tertutup untuk melakukan perkawinan silang dengan kelompok ethnis yang lain. Walaupun demikian hubungan kelompok masyarakat ini dengan daerah asal (Sulawesi Selatan-Bone) masih cukup intensif, terutama dalam hari-hari besar Islam atau pada waktu acara yang berkaitan dengan pelaksanaan adat.
Di Sukaraja dampak komulatif dari penimbunan pantai banyaknya tumbuh hotel, tempat hiburan gudang dan sebagainya yang secara sosial cukup mempengaruhi hidupan masyarakat terutama pemuda terutama alkohol dan narkoba untuk mengatasi hal tersebut nelayan di sana hanya mampu melalui jalur pengajian rutin dan majelis taklim.
Untuk memperkokoh hubungan silaturrahmi antar warga, kegiatan rutin dilaksnakan adalah pengajian bulanan yang diadakan oleh tokoh agama dan melibatkan pemuda, orang tua. Pengisi materi pengajian diambill dari tokoh agama setempat dan diselingi dengan tokoh agama dari daerah lain, terutama pada hari-hari besar Islam. Menurut tokoh masyarakat di dua tempat ini kegiatan yang dilakukan beperan untuk mengantisipasi pengaruh buruk dari pesatnya perkembangan yang mengarah kepada maksiat (Nakoba/Alkohol). Selain pengajian juga diadakan arisian yang hasilnya lebih banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga dan anak sekolah.
Disamping kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial di atas, pihak perempuan juga mempunyai peran ekonomis, yakni menjual hasil tangkapan ikan ke pasar yang diperoleh oleh suaminya melaut atau mereka membeli dari nelayan dan menjualnya kembali kepasar, sehingga dirasakan sangat membantu kehidupan ekonomi rumah tangga.
Tanggapan masyarakat terhadap rencana pemerintah untuk membangun teluk lampunng baik di daerah Kota Karang dan Sukaraja adalah :
1. Sosialisasikan rencana tersebut kepada masyarakat secara jelas, sehingga masyarakat dapat membantu dan sekaligus dapat bersiap mental untuk menerima rencana tersebut.
2. Kalau ada konpensasi terhadap harta benda, tidak lagi menggunakan ganti rugi, akan tetapi ganti untung, maksudnya masyarakat yang terkena dampak dapat hidup layak setelah adanya konpensasi.
3. Profesi nelayan diperhatikan dengan memindahkan secara “bedol desa” ke tempat lain yang mendukung profesi nelayan, seperti di Padang Cermin (harapan nelayan sukaraja).
4. Mencarikan tempat yang mendukung profesi nelayan seperti : wilayah tangkap yang jelas, pemasaran yang mudah dan dekat dengan pusat-pusat pertumbuhan, adanya galangan kapal.
5. Memberikan bantuan yang tepat sasaran kepada nelayan, seperti : peralatan, penyuluhan, bahan bakar.
V KESIMPULAN
Reklamasi pantai yang dilaksanakan pada awal tahun 1980-an dan berlangsung sampai sekarang telah berdampak negatif langsung terhadap nelayan yang wilayah usahanya pada laut dangkal (Sukaraja) maupun nelayan di Dusun Cangkeng –Kotakarang. Dampak yang dirasakan oleh nelayan laut dangkal hilangnya beberapa jenis ikan tangkapan seperti rebun, teri, dan kerapan, semakin jauhnya wilayah tangkapan, terumbu karang tersedimentasi oleh lumpur, dan usaha menangkap ikan dengan bubu tidak dapat dilakukan lagi. Akibat dari hal tersebut menurunkan hasil tangkap nelayan yang akhirnya berdampak terhadap kesejahteraan nelayan
Harapan-harapan dari nelayan agar dapat mensosialisasikan program pembangunan kepada nelayan agar dapat difahami dengan baik, adanya konpensasi terhadap kekayaan nelayan akibat sebuah pembangunan dengan tidak merugikan nelayan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar