A. Pembelajaran Geografi
Secara sederhana pembelajaran Geografi adalah geografi yang diajarkan
ditingkat sekolah dasar dan menengah. Karena itu penjabaran konsep-konsep,
pokok bahasan dan sub pokok bahasan harus disesuaikan dan diserasikan
dengan tingkat pengalaman dan perkembangan mental anak pada jenjangjenjang
pendidikan yang bersangkutan.
Para pakar geografi pada seminar dan Lokakarya Peningkatan Kualitas
Pengajaran Geografi di Semarang tahun 1988, telah merumuskan konsep
geografi sebagai berikut: “ Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan
dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan,
kewilayahan dalam konteks keruangan”. Konsep Geografi tersebut secara jelas
menegaskan bahwa yang menjadi objek studi geografi tidak lain adalah
geosfer yaitu permukaan bumi yang hakikatnya merupakan bagian dari bumi
yang terdiri atas atmosfer (lapisan udara), litosfer (lapisan batuan), hidrosfer
(lapisan air, perairan), dan biosfer (lapisan kehidupan). Dengan demikian
dapat diketengahkan disini bahwa pengajaran geografi hakikatnya adalah
pengajaran tentang aspek-aspek keruangan permukaan bumi yang merupakan
keseluruhan gejala alam dan kehidupan umat manusia dengan variasi
kewilayahannya (Nursid Sumaatmadja, 1997).
13
Pembelajaran geografi pada hakekatnya juga bukan sekedar pemahaman
tentang konsep-konsep suatu materi tetapi lebih kepada penerapan konsep
yang telah didapat kedalam situasi yang nyata.
Pembelajaran geografi tidak hanya mengandung nilai edukasi yang
bersifat mencerdaskan siswa. Melalui pembelajaran geografi diharapkan
dengan sendirinya para siswa akan cermat dalam melakukan pekerjaan, akan
kritis dan konsisten dalam bersikap, akan jujur dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan pembelajaran geografi guru perlu mengenal dan dapat
melaksanakan dengan baik berbagai pedoman tentang (1) strategi
pembelajaran, (2) pendekatan pembelajaran, (3) metode pembelajaran, serta
(4) teknik pembelajaran (Nursid Sumaatmadja, 1997).
Dalam proses pembelajaran tidak ada satu strategi pembelajaran yang
paling efektif yang dapat diterapkan oleh semua orang (guru dan siswa),
semua materi pokok bahasan dan semua capaian hasil belajar (kognitif,
afektif, psikomotorik), karena proses pembelajaran menyangkut hal-hal yang
situasional, interaktif, dan kondisi subyek dan lingkungan yang berbeda.
Demikian pula untuk pencapaian hasil belajar yang menyangkut pengetahuan,
sikap, nilai dan keterampilan diperlukan starategi pembelajaran yang
bervariasi, yang tentunya telah dikuasai cara pengembangannya oleh para guru
sebagai tenaga professional (Suharyono, 2005).
Melalui model pembelajaran geografi berbasis masalah, siswa diajarkan
untuk menerapkan konsep-konsep yang telah diajarkan untuk memecahkan
persoalan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pembelajaran
14
geografi ini siswa dilatih untuk berpikir kritis dalam memecahkan suatu
masalah. Tujuan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir
kritis diantaranya adalah:
1. Mengembangkan kemampuan menganalisis
2. Mengembangkan kemampuan mengambil kesimpulan yang masuk akal
dari pengamatan
3. Memperbaiki kecakapan menghafal
4. Mengembangkan kecakapan, strategi dan kebiasaan belajar
5. Belajar istilah-istilah dan fakta-fakta
6. Belajar konsep-konsep dan teori (Hasyam Zaini, 2002).
B. Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran secara umum dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang
dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku siswa berubah
kearah yang lebih baik (Max Darsono, 2000).
Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) yaitu suatu
model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu
konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan
pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang
esensial dari materi pelajaran. Pengajaran berbasis masalah digunakan untuk
merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah
(Nurhadi, 2004).
15
Dalam hal ini siswa terlibat dalam penyelidikan untuk pemecahan
masalah yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep dari berbagai isi
materi pelajaran. Pendekatan ini mencakup pengumpulan informasi yang
berkaitan dengan pertanyaan, mensintesa, dan mempresentasikan
penemuannya kepada orang lain (Moffit, 2001 dalam Depdiknas, 2002).
Pengajaran berbasis masalah dikenal dengan nama lain seperti
pembelajaran proyek (Project-based teaching), Pendidikan berdasarkan
pengalaman (Experience-based education), pembelajaran otentik (Authentic
lerning) dan pembelajaran berakar pada kehidupan nyata (Anchored
Instruction). Peran guru dalam pengajaran berbasis masalah adalah
menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan
dan dialog. Pembelajaran ini tidak dapat dilaksanakan jika guru tidak
mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran
ide secara terbuka. Intinya, siswa dihadapkan pada situasi masalah yang
otentik dan bermakna yang dapat menantang siswa untuk memecahkannya.
Dalam buku Nurhadi (2004) dijelaskan tentang ciri-ciri dari
pembelajaran berbasis masalah, antara lain sebagai berikut:
1. Pengajuan pertanyaan atau masalah, dalam pembelajaran berbasis
masalah selain mengorganisasikan prinsip-prinsip atau keterampilan
akademik tertentu, pembelajaran ini juga berpusat pada
pertanyaan/masalah yang secara pribadi bermakna untuk siswa. Mereka
mengajukan situasi kehidupan nyata yang otentik.
16
2. Penyelidikan otentik, dalam pembelajaran berbasis masalah siswa harus
menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis,
dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi,
melakukan eksperimen (jika diperlukan) dan merumuskan kesimpulan
untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah yang nyata.
3. Terintegrasi dengan disiplin ilmu lain, meskipun pengajaran berbasis
masalah berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, Matematika, Ilmuilmu
sosial), tetapi masalah yang akan diseleksi telah dipilih yang benarbenar
nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari
banyak sudut pandang mata pelajaran lain.
4. Menghasilkan produk atau karya dan mempresentasikannya, dalam
pembelajaran berbasis masalah siswa dituntut untuk menghasilkan
produk tertentu dalam bentuk karya nyata untuk menjelaskan atau
mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan.
Pengajaran berbasis masalah dikembangkan terutama untuk membantu
siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah dan
keterampilan intelektual, siswa peran sebagai orang dewasa dengan
melibatkan diri dalam pengalaman nyata atau simulasi dan menjadi
pembelajar yang otonom dan mandiri.
Dalam buku Nurhadi (2004) juga dijelaskan tentang beberapa
keuntungan pembelajaran berbasis masalah, antara lain:
1. Pengajaran berbasis masalah melibatkan siswa dalam penyelidikan
pilihan sendiri, yang memungkinkan siswa menginterpretasikan dan
17
menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun pemahamannya
tentang fenomena tersebut.
2. Pembelajaran berbasis masalah mendorong siswa untuk bekerja sama
dalam menyelesaikan tugas. Karena dalam proses pembelajaran ini
sebagian besar tugas yang ada, harus diselesaikan secara berkelompok.
3. Pengajaran berbasis masalah berusaha membantu siswa menjadi
pembelajar yang otonom dan mandiri.
4. Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa secara bertahap dapat
memahami peran penting aktivitas mental dan belajar yang terjadi di luar
sekolah, karena pembelajaran berbasis masalah memiliki unsur-unsur
belajar magang yang bias mendorong pengamatan dan dialog dengan
orang lain.
Sintaks (alur proses) pembelajaran berbasis masalah biasanya terdiri atas
lima tahap (Nurhadi, 2004), yang secara rinci disajikan pada tabel 1 (halaman
18).
Dalam penerapan pembelajaran berbasis masalah, guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menetapkan topik masalah, walaupun
sebenarnya guru sudah mempersiapkan apa yang harus dibahas. Proses
pembelajaran diarahkan agar siswa mampu menyelesaikan masalah secara
sistematis dan logis.
Dilihat dari aspek psikologi belajar pembelajaran berbasis masalah
berdasarkan kepada psikologi kognitif yang berangkat dari asumsi bahwa
belajar bukan semata-mata menghafal sejumlah fakta, tetapi suatu proses
18
interaksi secara sadar antara individu dengan lingkungannya. Melalui proses
ini sedikit demi sedikit siswa akan berkembang secara utuh. Artinya,
perkembangan siswa tidak hanya terjadi pada aspek kognitif, tetapi juga pada
aspek afektif dan psikomotorik melalui penghayatan secara internal akan
problema yang dihadapi (Sanjaya, 2007).
Tabel 1 . Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah
Tahap Tingkah Laku Guru Tingkah Laku Siswa
Tahap-1
Orientasi siswa pada
masalah
Guru menjelaskan tujuan
pembelajaran, menjelaskan
logistik yang dibutuhkan, siswa
terlibat pada aktivitas relevan
masalah yang dipilihnya.
Siswa secara aktif
terlibat pada aktivitas
relevan masalah yang
dipilihnya
Tahap-2
Mengorganisasikan
siswa untuk belajar
Guru membantu siswa untuk
mengidentifikasi dan
mengorganisasikan tugas belajar
yang berhubungan dengan
masalah tersebut
Siswa secara aktif
mengidentifikasikan dan
mengorganisasikan
tugas belajar yang
berhubungan dengan
masalah tersebut
Tahap-3
Membimbing
penyelidikan
individual maupun
kelompok
Guru mendorong siswa untuk
mengumpulkan informasi yang
sesuai, melaksanakan eksperimen,
untuk mendapatkan penjelasan
Siswa secara aktif
mengumpulkan
informasi yang sesuai,
melaksanakan
eksperimen, untuk
mendapatkan penjelasan
dan pemecahan masalah
Tahap-4
Mengembangkan dan
menyajikan hasil
karya
Guru membantu siswa dalam
merencanakan dan menyiapkan
karya yang sesuai seperti laporan,
video dan model dan membantu
mereka berbagi tugas dengan
temannya
Siswa secara aktif
merencanakan dan
menyiapkan karya yang
sesuai seperti laporan,
video dan model dan
saling membantu
membagi tugas dengan
temannya
Tahap-5
Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk
melakukan refleksi atau evaluasi
terhadap penyelidikan mereka dan
proses-proses yang mereka
gunakan
Siswa secara aktif
melakukan refleksi atau
evaluasi terhadap
penyelidikan dan prosesproses
yang digunakan
19
C. Berpikir Kritis
Dalam Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Singaraja (2001), terdapat
beberapa ahli yang berpendapat tentang definisi berpikir kritis, antara lain
sebagai berikut: Tyler (1949) berpendapat bahwa pengalaman atau
pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk memperoleh
keterampilan dalam pemecahan masalah dapat merangsang keterampilan
berpikir kritis siswa. Menurut Cabrera (1992) berpikir kritis merupakan
aktivitas evaluatif untuk menghasilkan suatu simpulan
Menurut Gerhard (1971) berpikir kritis merupakan suatu proses kompleks
yang melibatkan penerimaan dan penguasaan data, analisis data, dan evaluasi
data dengan mempertimbangkan aspek kualitatif serta melakukan seleksi atau
membuat keputusan berdasarkan hasil evaluasi. Berpikir kritis diperlukan
dalam rangka memecahkan suatu permasalahan sehingga diperoleh keputusan
yang cepat dan tepat.
Penilaian yang kritis terhadap informasi yang ada jarang diajarkan di
sekolah, dimana para siswa biasanya diharapkan akan menerima apa yang
dikatakan kepada mereka sebagai kebenaran, dan mereka jarang dirangsang
untuk mempertanyakan kebijakan yang diterima secara mendalam. Anak harus
diajari berpikir sendiri, dengan menerapkan analisis yang kritis terhadap
pemikiran, pendapat dan usul-usul, tak peduli seberapapun besar kekuasaan
sumbernya (Padji, 1992).
Seperti yang dikemukakan oleh A. Chaedar Alwasialah (1996) dalam
makalahnya yang berjudul “Pendidikan, Penabur Benih Kreativitas”.
20
Menyatakan bahwa. Studi berpikir kritis lazimnya dikaitkan dengan disiplin
psikologi, seni, pendidikan, dan studi akademik lainnya. Tujuan pendidikan
kritis-kreatif adalah terwujudnya generasi yang berpikir terbuka, objektif, dan
memiliki komitmen terhadap kejelasan dan ketepatan aturan dalam menjalani
kehidupan sosial.
Dalam buku Elaine B. Johnson (2007) dikemukakan bahwa berpikir kritis
adalah berpikir dengan baik, dan merenungkan tentang proses berpikir
merupakan bagian dari berpikir dengan baik. Vincent Ruggiero (1988)
mengartikan berpikir sebagai “segala aktivitas mental yang membantu
merumuskan atau memecahkan masalah, membuat keputusan atau memenuhi
keinginan untuk memahami; berpikir adalah sebuah pencarian jawaban,
sebuah pencapaian makna.
Menurut Anuradha A. Gokhle (2002) “Materi tentang pemikiran kritis
yaitu materi yang melibatkan analisa, sintesis, dan evaluasi konsep” (Sugiarti
Henik, 2005). Dalam penggolongan Taksonomi Bloom, pada tugas analisis ini
siswa diminta untuk menganalisis suatu hubungan atau situasi yang kompleks
atas konsep-konsep dasar. Pada sintesis siswa dapat menggabungkan atau
menyusun kembali (reorganize) hal-hal yang spesifik agar dapat
mengembangkan situasi baru. Sedangkan evaluasi konsep untuk mengetahui
sejauh mana siswa mampu menerapkan pengetahuan dan kemampuan yang
telah dimiliki untuk menilai suatu kasus yang diajukan oleh penyusun soal
(Arikunto, 2002).
21
Cara peningkatan keterampilan berpikir kritis menurut Christensen dan
Marthin (1992), bahwa strategi pemecahan masalah dapat mengembangkan
keterampilan berpikir kritis dan kemampuan siswa dalam mengadaptasi situasi
pembelajaran yang baru ( Sugiarti Henik, 2005).
Tujuan dari berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang
mendalam. Pemahaman membuat kita mengerti maksud dari ide yang
mengarahkan hidup kita setiap hari. Pemahaman mengungkapkan makna
dibalik suatu kejadian.
Dalam buku Elaine B. Johnson (2007) juga dikemukakan tentang empat
langkah berpikir kritis untuk memecahkan masalah. Keempat langkah tersebut
disajikan dalam bentuk pertanyaan karena dengan jawaban pertanyaan, para
siswa dilibatkan dalam kegiatan mental yang mereka perlukan untuk
mendapatkan pemahaman yang mendalam.
1. Apa masalahnya?
2. Apa hasil yang saya cari?
3. Solusi apa saja yang mungkin dan apa alasan yang mendukungnya?
4. Apa kesimpulannya?
Langkah pertama dan kedua menentukan apa yang salah dan hasil yang
diinginkan, biasanya digabungkan untuk menentukan masalah. Setelah
menentukan masalah dan menyatakan hasil yang diinginkan, siswa kemudian
meneliti semua kemungkinan solusi yang ada, sekaligus alasan mengapa
setiap solusi tersebut kemungkinan berhasil atau gagal.
22
D. Pembelajaran Konvensional
1. Pengertian pembelajaran konvensional
Menurut Sudaryo (1990) bahwa secara tradisional (konvensional)
mengajar diartikan sebagai upaya penyampaian atau penanaman
pengetahuan pada anak. Dalam pengertian ini nak dipandang sebagai
obyek yang sifatnya pasif, pengajaran berpusat pada guru (teacher
oriented) dan guru memegang peranan utama dalam pembelajaran. Dalam
pengajaran ini guru mengkomunikasikan pengetahuannya kepada siswa
dengan teknik ceramah.
Menurut St. Vembriarto (1990) pengajaran tradisional adalah
pengajaran yang diberikan pada siswa secara bersama-sama. Sedang
menurut Ruseffendi pengajaran tradisional adalah pengajaran yang pada
umumnya biasa kita lakukan sehari-hari (Nining, 2004).
2. Metode Ceramah
Ceramah didefinisikan sebagai usaha guru menyampaikan materi
pelajaran melalui kegiatan berbicara, kadang-kadang diselingi
menggunakan papan tulis dan kapur. Sementara para siswa mendengarkan
dengan tertib dan mencatat (Sudaryo, 1990).
Penerapan metode ceramah dalam buku Sudaryo (1990) adalah
sebagai berikut:
23
Tabel 2. Penerapan Metode Ceramah di Kelas
Guru Siswa
1. Berbicara sepanjang waktu jam
pelajaran tersedia
2. Aktif sendiri sepanjang waktu
pelajaran
3. Mendominasi kelas, guru yang
menentukan semua kegiatan
yang harus dilaksanakan siswa,
4. Menempati suatu tempat
kedudukan yang tetap
(dibelakang meja guru)
5. Komunikasi searah, yaitu guru
kepada siswa
1. Mendengarkan atau mencatat
uraian yang diberikan guru
sepanjang waktu pelajaran yang
tersedia
2. Pasif, dalam arti tidak diberikan
kesempatan untuk bertanya,
mengemukakan pendapat sendiri
atau bergerak dari kursi atau
bangkunya.
3. Mengikuti segala sesuatu yang
ditetapkan guru
4. Menempati tempat duduk yang
tetap sepanjang waktu
5. Komunikasi searah, yaitu hanya
dari guru kepada siswa
Sumber: Sudaryo (1990)
a. Kelebihan metode ceramah
1) Murah biayanya karena media yang digunakan hanya suara guru
2) Mudah mengulangnya kembali kalau diperlukan, sebab guru sudah
menguasai apa yang telah diceramahkan.
24
3) Dengan penguasaan materi yang baik dan persiapan guru yang cermat
bahan dapat disampaikan dengan cara yang sangat menarik, lebih
mudah diterima dan diingat oleh siswa.
4) Memberi peluang kepada siswa untuk melatih pendengaran.
5) Siswa dilatih untuk menyimpulkan pembicaraan yang panjang menjadi
inti.
b. Kekurangan metode ceramah
1) Tidak semua siswa memiliki daya tatangkap yang baik, sehingga akan
menimbulkan verbalisme
2) Agak sulit bagi siswa mencerna atau menganalisis materi yang
diceramahkan bersama-sama dengan kegiatan mendengarkan
penjelasan atau ceramah guru.
3) Tidak memberikan kesempatan siswa untuk apa yang disebut “belajar
dengan berbuat”.
4) Tidak semua guru pandai melaksanakan ceramah sehingga tujuan
pelajaran tidak dapat tercapai.
5) Menimbulkan rasa bosan sehingga materi sulit diterima.
6) Menjadikan siswa malas membaca isi buku, mereka mengandalkan
suara guru saja (Nining, 2004).
E. Hasil Belajar Geografi
Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia
menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2004). Benyamin Bloom dalam
25
Sudjana (2004), membagi hasil belajar menjadi tiga ranah yaitu kognitif,
afektif dan psikomotorik.
1. Ranah Kognitif
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari
enam aspek, yaitu: pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi,
analisis, sintesis, dan evaluasi.
2. Ranah Afektif
Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yaitu
penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
3. Ranah Psikomotorik
Ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan
kemampuan bertindak. Ada enam aspek yaitu gerak reflek, keterampilan
gerakan dasar, kemampuan membedakan secara visual, ketrampilan di
bidang fisik, ketrampilan kompleks dan ketrampilan komunikasi.
Ketiga ranah ini menjadi obyek penilaian hasil belajar. Hasil belajar
kognitif diukur pada awal dan akhir pembelajaran, sedang untuk ranah afektif
dan psikomotorik diukur pada saat proses pembelajaran.
Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Muhibbin
(2001), faktor-faktor yang mempengaruhi dapat dibedakan menjadi tiga
macam, yakni sebagai berikut:
1. Faktor internal
Yaitu faktor yang berasal dari diri siswa terdiri dari dua aspek;
aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah) misalnya kondisi fisik sakit26
sakitan atau cacat pada fisik. Dan aspek psikologis (yang bersifat
rohaniah) misalnya; kecerdasan, bakat, minat, motivasi, dan emosi.
2. Faktor eksternal
Faktor dari luar diri siswa yang mempengaruhi hasil belajar antara
lain kondisi lingkungan di sekitar siswa yang meliputi lingkungan sosial
dan non-sosial. Lingkungan sosial sekolah seperti guru, staf administrasi
dan teman-teman sekolahnya. Sedangkan faktor lingkungan non sosial
misalnya gedung sekolah, alat-alat belajar, keadaan cuaca saat belajar,
tempat tinggal keluarga siswa dan waktu belajar yang digunakan siswa
juga dapat berpengaruh terhadap hasil belajarnya.
3. Faktor pendekatan belajar
Pendekatan belajar merupakan jenis upaya belajar siswa yang
meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan
kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.
Karena faktor-faktor tersebut diatas maka hasil belajar masing-masing
siswa berbeda satu sama lainnya. Dalam hal ini, guru yang profesional harus
dapat mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan munculnya kelompok siswa
yang menunjukkan kegagalan dalam belajar.
Sedangkan geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan
perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan,
kewilayahan dalam konteks keruangan.
Tujuan pendidikan di sekolah menurut Bloom mencakup aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik. Hasil belajar merupakan hasil belajar yang
27
berkaitan dengan aspek kognitif. Hasil belajar geografi dalam penelitian ini
adalah sebagai hasil belajar mata pelajaran geografi, siswa Kelas XI Program
Ilmu Sosial semester 2 pokok bahasan Persebaran Sumber Daya Alam di
Indonesia dan Pemanfaatannya di SMA Negeri 9 Semarang tahun 2006/2007
yang diajar menggunakan pembelajaran berbasis masalah ddan pembelajaran
konvensional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar