Kiblat adalah bangunan berbentuk kubus terletak dijantung kota Mekah merupakan tempat yang dituju kaum muslimin didalam shalat. Menghadap kiblat adalah satu kemestian (syarat) untuk sahnya shalat. Kiblat (al Qiblah) secara bahasa bermakna menghadap atau berhadapan (al muqabalah).
Firman Allah S.w.t. QS. Al Baqarah: 150;
ومن حيث خرجت فولَ وجهك شطر المسجد الحرام وحيث ما كنتم فولَوا وجوهكم شطره
Menyatakan wajibnya menghadap baytullah (kiblat) didalam shalat. Namun ulama berbeda pendapat tentang detil menghadap yang dimaksud dalam ayat tersebut. Sementara ulama berpendapat yang diwajibkan adalah menghadap benda/bangunan ('ain) Ka'bah, sebagian ulama lagi menyatakan arah (jihah/ishabah) Ka'bah saja.
Terhadap ayat diatas, Imam Al Qurthuby (w.671 H) mengomentari ayat tersebut dengan lima kesimpulan;
1.) Kata syathr dapat bermakna nahiyah (penjuru/area), dan kalimat "al masjid al haram" berarti
Ka'bah. Hadits Nabi S.a.w. menyatakan;
البيت قبلة لأهل المسجد والمسجد قبلة لأهل الحرم والحرم قبلة لأهل الأرض فى مشارقها ومغاربها من أمتي
2.) Ayat "syathr al masjid al haram" mengandung kemungkinan makna antara nahiyah dan jihah (area dan arah), kata "syathr" itu sendiri merupakan keterangan tempat (zharf al makan) yang menempati posisi obyek kalimat (maf'ul bih) yang dapat pula bermakna setengah (nisf), seperti tersebut dalam hadits Nabi S.a.w.; (( at Thahur[u] syathr al iman ))
3.) Satu kesepakatan bahwa Ka'bah adalah kiblat dari semua penjuru, kemestian terhadap orang yang mampu melihatnya menghadap secara persis, jika tidak, shalatnya.tidak sah. Namun jika tidak terlihat cukuplah dengan nahiyah, jihah dan tilqa'-nya (area, arah dan serta-merta menghadap). Jika sama sekali tidak terlihat (sangat jauh), memadai menghadap dengan sarana yang memungkinkan seperti pergerakan bintang-bintang, angin, gunung, dll.
4.) Terdapat perdebatan –tentang tidak terlihatnya Ka'bah– antara kewajiban menghadap benda atau arah saja. Diantara ulama berpendapat pada yang pertama (menghadap 'ain Ka'bah), yang lain lagi cukup menghadap arah saja dengan tiga alasan, Pertama; ini yang paling memungkinkan untuk dilakukan. Kedua; Menghadap arah-lah yang diperintah ayat, baik berada di belahan bumi Timur maupun Barat. Ketiga; Ulama berargumen pada barisan shalat (shaf) yang panjang, tentulah sulit memandang Ka'bah.
5.) Ayat menyatakan secara jelas -sebagai disepakati oleh Imam Malik- bahwa seseorang yang sedang shalat hanya diharuskan menghadap kedepan bukan ketempat sujud, berbeda dengan as Tsawry, Abu Hanifah, as Syafi'i dan al Hasan bin al Hayy yang tetap menganjurkan (yustahab) menghadap tempat sujudnya. Wallah a'lam
Secara umum, Jumhur -terkecuali Syafi'iyah- berpandangan jika seseorang berada jauh dari Mekah, diharuskan menghadap arah ka'bah, namun jika berada di Mekah atau sekitarnya mestilah menghadap bangunan Ka'bah. Sementara Syafi'iyah menyatakan meski berada jauh dari Mekah tetap diwajibkan mengarahkan ke bangunan Ka'bah, dengan alasan Firman Allah S.w.t.;
وحيثما كنتم فولَوا وجوهكم شطره
Lebih jauh Syafi'iyah menyatakan berpalingnya arah kiblat meski sedikit saja (al inhiraf al yasir) membawa konsekusensi pada batalnya shalat.
Sementara itu, ulama sedikit berbeda-beda lagi tentang kriteria dan urutan penentuan arah kiblat yang berada jauh (persis tidak terlihat) dari Ka'bah, dengan kesimpulan sbb.;
Hanafiyah menetapkan;
1.) Berpatokan pada masjid-masjid (mihrab) kuno yang pernah dibangun oleh sahabat dan Tabi'in (seperti Masjid Bani Umayyah di Damaskus-Syria, Masjid Amr bin Ash di Kairo-Mesir, dll.).
2.) Bertanya pada orang lain, dengan urutan; Bertanya pada yang terdekat (penduduk setempat), yang ditanya (al mas'ul) mengerti arah kiblat, kesaksian yang ditanya legal (bukan kafir, fasiq dan anak-anak).
3.) Jika dua cara diatas tidak ada, shalatlah dengan apa adanya (zhan).
Malikiyah menetapkan;
1. Berpatokan pada masjid-masjid (mihrab) kuno yang ada, seperti; Mihrab Masjid Nabi S.a.w., Mihrab Masjid Bani Umayyah, Mihrab Masjid 'Amr bin 'Ash, Mihrab Masjid Qairwan, dll.
2. Mencari/meneliti (taharra) -jika mampu melakukannya- tanpa boleh bertanya pada orang lain.
3. Bertanya pada orang lain dalam ketiada-mampuan dan ketiada-tersediaan alat untuk menentukan.
Syafi'iyah menentapkan;
1. Mencari/menetapkan sendiri tanpa bertanya pada orang lain.
2. Bertanya pada orang yang dapat dipercaya (tsiqah) lagi ahli dalam menentukan arah kiblat
3. Ber-ijtihad
4. Mengikut orang berijtihad dalam menentukan arah kiblat (taqlid al mujtahid).
Hanabilah menetapkan;
1. Berpatokan pada masjid-masjid (mihrab) kuno yang ada.
2. Bertanya pada orang adil, jika orang yang memberi informasi (mukhbir) mengetahui secara pasti, wajiblah mengikutinya, dan jika hanya dugaan kuat (zhan) saja, bolehlah mengikutinya dengan syarat jika waktu shalat telah mendesak (sempit) namun jika waktu shalat masih lapang diharuskan mencari tahu lebih dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar