Ka'bah, dimasa pra-islam adalah bangunan sebagai tempat penyembahan dimana bertaburan berhala-berhala Quraisy. Risalah Islam yang dibawa baginda Nabi Muhammad S.a.w. menebas habis berhala-berhala tersebut, hingga bangunan ini dijadikan sebagai kiblat di dalam shalat setelah sebelumnya, -tepatnya selama 16 bulan beberapa hari- menghadap Baytul Maqdis kiblat pertama umat Islam yang terletak di Palestina.
Prof. Dr. David A. King (Profesor Mate-Matika & sejarah ilmu pengetahuan, spesialis sejarah Falak-Astronomi masa Dinasti Mamalik) menyebutkan; penentuan arah kiblat dimasa silam -tepatnya diabad pertengahan- pada umumnya adalah melalui penampakan arah munculnya bintang Canopus (najm suhayl) yang kebanyakannya terbit dibagian belahan bumi selatan, dilain tempat, melalui arah terbitnya matahari pada solstice musim panas (inqilab as shayfy), disamping empat pola pergerakan angin yang ada. Dua arah ini, lebih kurangnya tegak lurus pada garis lintang kota Mekah. Dengan cara inilah, dalam kurun seribu tahun lebih kaum muslimin menentukan arah kiblat. Hal ini diperkuat dengan data letak Ka'bah serta gunung-gunung yang meliputinya melalui peta terkini (khara'ith haditsah), serta data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).
Hadits Nabi S.a.w. menyatakan; ( ما بين المشرق والمغرب قبلة ), dalam prakteknya Nabi S.a.w. memang shalat menghadap arah selatan yang berarti tepat menghadap Ka'bah. Dengan standart ini (baca: menghadap arah selatan), kaum muslimin diberbagai wilayah berpatokan pada arah ini sebagai optimisme (tayammunan) terhadap Nabi S.a.w. Generasi pertama-pun (sahabat) berpatokan terhadap standart ini dalam mendirikan masjid di Andalusia (Spanyol) hingga Asia Tengah.
Di Syria dan Palestina patokan arah Selatan menjadi acuan utama arah kiblat, Masjid al Aqsha (berdiri tahun 715 M) dibangun hampir tepat menghadap selatan, bertahan selama beberapa abad. Hingga melalui penelitian-perhitungan praktisi falak (falakiyyun) dengan sumbangsih data Geografi, terbukti arah kiblat di Quds (Palestina) terletak sekitar 45 derajat bujur timur menuju Barat.
Di Mesir, masjid pertama berdiri (Masjid Amru bin 'Ash) yang terletak di Fusthath berpedoman pada arah terbitnya matahari pada solstice musim dingin (inqilab syita'iy), patokan ini bertahan dan berkembang selama kurun abad pertengahan. Setelah berdirinya kota baru "Kairo" diakhir abad 10 M yang berjarak beberapa meter saja dari utara kota Fusthath sekira tegak lurus terhadap terusan Suez yang menghubungkan Sungai Nil dan Laut Merah. Kenyataannya, kota baru ini (baca: Kairo) bersesuaian dengan arah kiblat masjid sahabat yang terletak di Fusthath 27 derajat Lintang Selatan menuju timur. Namun Dinasti Fatimiyah tidak memperhatikan keadaan ini, termasuklah Masjid Al Khalifah al Hakim dan Masjid Al Azhar yang terhitung sebagai masjid pertama yang dibangun pada Dinasti Fatimiyah ternyata melenceng 10 derajat, hingga akhirnya seorang ahli falak Mesir terkenal Ibnu Yunus (w...H) menemukan berdasarkan hitungan Mate-Matika Astronomi-nya bahwa kiblat sebenarnya berada 37 derajat Lintang Selatan menuju timur.
Ditempat lain, di Iraq, masjid-masjid dibangun tepat menghadap arah terbenamnya matahari pada solstice musim dingin, dengan menjadikan searah dengan arah tembok utara-timur tiang Ka'bah, yang jika seseorang berdiri menghadap tiang tersebut, secara persis memandang arah terbenamnya matahari dimusim tersebut. (Lihat gambar II)
Berikutnya lagi dibagian utara-barat Afrika, arah kiblat berpedoman pada terbitnya matahari pada equinox (i'tidalayn/syarq haqiqy). Di Yaman, kiblat ditentukan berdasarkan arah angin utara atau pada arah bintang kutub utara (najm quthby), di Syria berdasarkan terbitnya bintang Canopus, di India pada arah terbenamnya matahari pada equinox (i'tidalayn/gurb haqiqy).
Atas semua fenomena diatas, Prof.Dr.David A. King memandang betapa perlunya penelitian komprehensif terhadap arah kiblat masjid-masjid di penjuru dunia, Ia menyatakan, hingga saat ini belum ada aktifitas memadai seperti dimaksud, yang ada hanya berupa penelitian awal (dirasah tamhidiyyah). Jika proyek ini dapat terealisir sejatinya akan memberi sumbangan berharga terhadap sejarah perkiblatan dijagad raya.
Lain halnya dengan Hagia Sophia di Konstantinopel (sekarang Istanbul), dibangun pada jaman Kaisar Justinian I selama lima tahun dan diresmikan pada tahun 537. Sebuah gereja yang sangat spektakulier keindahan arsitekturnya. Pada tahun 1453 kekaisaran Ottoman menguasai Konstantinopel dan Sultan Mehmed II mengubah gereja Hagia Sophia menjadi sebuah masjid. Seperti diketahui, masjid mempunyai orientasi mutlak menghadap ke arah kiblat yaitu Kabah di Mekah. Karena arah kiblat ini maka umumnya perubahan fungsi bangunan menjadi masjid meminta perubahan orientasi bangunan juga. Hal ini tidak terjadi pada Hagia Sophia. Ditempat bekas altar gereja digantikan oleh mihrab masjid.
Dari beberapa data, bahwa gereja orthodox, seperti Hagia Sophia pada jaman Byzantium, juga dianggap mempunyai kiblat tertentu yaitu kearah Jerusalem, tempat Jesus dilahirkan. Kalau kita pelajari pada peta bumi maka, dari Istanbul, arah Jerusalem dan Mekah hampir segaris kearah yang sama. Wallah a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar