Jumat, 08 Januari 2010

Peta Konsep Pada Mata Pelajaran Geografi

ABSTRAK
Sari, Kurnia, Pipit. 2009. Pengaruh Penggunaan Peta Konsep Terhadap Hasil Belajar
Mata Pelajaran Geografi Siswa Kelas XI Pada Standar Kompetensi Memahami Sumber
Daya Alam (SDA). Skripsi, Jurusan Geografi, FMIPA Universitas Negeri Malang. Pem
bimbing: (I) Dr. Ach. Amirudin, M.Pd. (II) Prof. Dr. Edy Purwanto, M.Pd
Kata kunci: Peta Konsep, hasil belajar.
Proses belajar menghafal sering kita temukan pada siswa. Siswa hanya mengenal katakata
tetapi tidak memahami maksudnya sehingga siswa banyak yang mengalami proses
lupa pada materi pelajaran yang telah diajarkan dan siswa kurang bisa mengaplikasikan
kembali belajarnya. Untuk itu guru harus bisa memvariasikan strategi pembelajaran. Pe
milihan strategi pembelajaran merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadapa
hasil belajar siswa. Pembelajaran geografi membutuhkan strategi untuk mengatasi masal
ah tersebut salah satunya adalah dengan menggunakan peta konsep. Dengan mengguna
kan peta konsep dalam pelajaran geografi siswa akan lebih mudah memahami konsep ge
ografi, ingatan siswa bisa lebih kuat dan siswa bisa mengaplikasikan lagi belajarnya. Pe
mbelajaran ini menekankan pada berbagai ciri pembelajaran secara langsung yaitu siswa
bekerja dalam kelompok kecil untuk berlatih membuat peta konsep.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar antara siswa yang bel
ajar dengan menggunakan peta konsep dengan siswa yang belajar dengan menggunakan
uraian materi di SMA Negeri 3 Bojonegoro. Penelitian ini termasuk jenis penelitian Ek
sperimen Semu (Quasi Eksperiment) dengan mengambil subjek penelitian dua kelas yaii
tu kelas sebagai kelas eksperimen dan kelas sebagai kelas kontrol. Instrumen penelitian
berupa tes untuk prates dan pascates. Teknik analisis yang digunakan adalah uji t denga
n signifikansi 0,05 yang dapat diselesaikan dengan bantuan program Statistical Progra
m for Social Sciences (SPSS) 15.00 for Windows.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai rat
a.rata kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dari hasil analisis data diketahui bahwa hasil
belajar siswa pada kelas eksperimen memiliki rata.rata sebesar 18,53 sedangkan pada ke
las kontrol memiliki rata.rata 9,56 dengan nilai probabilitas (p) 0,000, sehingga ada pen
garuh penggunaan peta konsep terhadap hasil belajar Geografi siswa pada standar komp
etensi memahami sumber daya alam (SDA).
Disarankan bagi guru Geografi hendaknya menggunakan peta konsep sebagai alternatif
dalam pengajaran geografi karena dapat meningkatkan hasil belajar geografi siswa. Bag
i peneliti selanjutnya maka perlu adanya penelitian sejenis dengan pokok bahasan yang
berbeda.

STUDI KOMPARASI HASIL BELAJAR GEOGRAFI

A. Pembelajaran Geografi
Secara sederhana pembelajaran Geografi adalah geografi yang diajarkan
ditingkat sekolah dasar dan menengah. Karena itu penjabaran konsep-konsep,
pokok bahasan dan sub pokok bahasan harus disesuaikan dan diserasikan
dengan tingkat pengalaman dan perkembangan mental anak pada jenjangjenjang
pendidikan yang bersangkutan.
Para pakar geografi pada seminar dan Lokakarya Peningkatan Kualitas
Pengajaran Geografi di Semarang tahun 1988, telah merumuskan konsep
geografi sebagai berikut: “ Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan
dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan,
kewilayahan dalam konteks keruangan”. Konsep Geografi tersebut secara jelas
menegaskan bahwa yang menjadi objek studi geografi tidak lain adalah
geosfer yaitu permukaan bumi yang hakikatnya merupakan bagian dari bumi
yang terdiri atas atmosfer (lapisan udara), litosfer (lapisan batuan), hidrosfer
(lapisan air, perairan), dan biosfer (lapisan kehidupan). Dengan demikian
dapat diketengahkan disini bahwa pengajaran geografi hakikatnya adalah
pengajaran tentang aspek-aspek keruangan permukaan bumi yang merupakan
keseluruhan gejala alam dan kehidupan umat manusia dengan variasi
kewilayahannya (Nursid Sumaatmadja, 1997).
13
Pembelajaran geografi pada hakekatnya juga bukan sekedar pemahaman
tentang konsep-konsep suatu materi tetapi lebih kepada penerapan konsep
yang telah didapat kedalam situasi yang nyata.
Pembelajaran geografi tidak hanya mengandung nilai edukasi yang
bersifat mencerdaskan siswa. Melalui pembelajaran geografi diharapkan
dengan sendirinya para siswa akan cermat dalam melakukan pekerjaan, akan
kritis dan konsisten dalam bersikap, akan jujur dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan pembelajaran geografi guru perlu mengenal dan dapat
melaksanakan dengan baik berbagai pedoman tentang (1) strategi
pembelajaran, (2) pendekatan pembelajaran, (3) metode pembelajaran, serta
(4) teknik pembelajaran (Nursid Sumaatmadja, 1997).
Dalam proses pembelajaran tidak ada satu strategi pembelajaran yang
paling efektif yang dapat diterapkan oleh semua orang (guru dan siswa),
semua materi pokok bahasan dan semua capaian hasil belajar (kognitif,
afektif, psikomotorik), karena proses pembelajaran menyangkut hal-hal yang
situasional, interaktif, dan kondisi subyek dan lingkungan yang berbeda.
Demikian pula untuk pencapaian hasil belajar yang menyangkut pengetahuan,
sikap, nilai dan keterampilan diperlukan starategi pembelajaran yang
bervariasi, yang tentunya telah dikuasai cara pengembangannya oleh para guru
sebagai tenaga professional (Suharyono, 2005).
Melalui model pembelajaran geografi berbasis masalah, siswa diajarkan
untuk menerapkan konsep-konsep yang telah diajarkan untuk memecahkan
persoalan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pembelajaran
14
geografi ini siswa dilatih untuk berpikir kritis dalam memecahkan suatu
masalah. Tujuan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir
kritis diantaranya adalah:
1. Mengembangkan kemampuan menganalisis
2. Mengembangkan kemampuan mengambil kesimpulan yang masuk akal
dari pengamatan
3. Memperbaiki kecakapan menghafal
4. Mengembangkan kecakapan, strategi dan kebiasaan belajar
5. Belajar istilah-istilah dan fakta-fakta
6. Belajar konsep-konsep dan teori (Hasyam Zaini, 2002).
B. Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran secara umum dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang
dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku siswa berubah
kearah yang lebih baik (Max Darsono, 2000).
Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) yaitu suatu
model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu
konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan
pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang
esensial dari materi pelajaran. Pengajaran berbasis masalah digunakan untuk
merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah
(Nurhadi, 2004).
15
Dalam hal ini siswa terlibat dalam penyelidikan untuk pemecahan
masalah yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep dari berbagai isi
materi pelajaran. Pendekatan ini mencakup pengumpulan informasi yang
berkaitan dengan pertanyaan, mensintesa, dan mempresentasikan
penemuannya kepada orang lain (Moffit, 2001 dalam Depdiknas, 2002).
Pengajaran berbasis masalah dikenal dengan nama lain seperti
pembelajaran proyek (Project-based teaching), Pendidikan berdasarkan
pengalaman (Experience-based education), pembelajaran otentik (Authentic
lerning) dan pembelajaran berakar pada kehidupan nyata (Anchored
Instruction). Peran guru dalam pengajaran berbasis masalah adalah
menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan
dan dialog. Pembelajaran ini tidak dapat dilaksanakan jika guru tidak
mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran
ide secara terbuka. Intinya, siswa dihadapkan pada situasi masalah yang
otentik dan bermakna yang dapat menantang siswa untuk memecahkannya.
Dalam buku Nurhadi (2004) dijelaskan tentang ciri-ciri dari
pembelajaran berbasis masalah, antara lain sebagai berikut:
1. Pengajuan pertanyaan atau masalah, dalam pembelajaran berbasis
masalah selain mengorganisasikan prinsip-prinsip atau keterampilan
akademik tertentu, pembelajaran ini juga berpusat pada
pertanyaan/masalah yang secara pribadi bermakna untuk siswa. Mereka
mengajukan situasi kehidupan nyata yang otentik.
16
2. Penyelidikan otentik, dalam pembelajaran berbasis masalah siswa harus
menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis,
dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi,
melakukan eksperimen (jika diperlukan) dan merumuskan kesimpulan
untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah yang nyata.
3. Terintegrasi dengan disiplin ilmu lain, meskipun pengajaran berbasis
masalah berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, Matematika, Ilmuilmu
sosial), tetapi masalah yang akan diseleksi telah dipilih yang benarbenar
nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari
banyak sudut pandang mata pelajaran lain.
4. Menghasilkan produk atau karya dan mempresentasikannya, dalam
pembelajaran berbasis masalah siswa dituntut untuk menghasilkan
produk tertentu dalam bentuk karya nyata untuk menjelaskan atau
mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan.
Pengajaran berbasis masalah dikembangkan terutama untuk membantu
siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah dan
keterampilan intelektual, siswa peran sebagai orang dewasa dengan
melibatkan diri dalam pengalaman nyata atau simulasi dan menjadi
pembelajar yang otonom dan mandiri.
Dalam buku Nurhadi (2004) juga dijelaskan tentang beberapa
keuntungan pembelajaran berbasis masalah, antara lain:
1. Pengajaran berbasis masalah melibatkan siswa dalam penyelidikan
pilihan sendiri, yang memungkinkan siswa menginterpretasikan dan
17
menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun pemahamannya
tentang fenomena tersebut.
2. Pembelajaran berbasis masalah mendorong siswa untuk bekerja sama
dalam menyelesaikan tugas. Karena dalam proses pembelajaran ini
sebagian besar tugas yang ada, harus diselesaikan secara berkelompok.
3. Pengajaran berbasis masalah berusaha membantu siswa menjadi
pembelajar yang otonom dan mandiri.
4. Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa secara bertahap dapat
memahami peran penting aktivitas mental dan belajar yang terjadi di luar
sekolah, karena pembelajaran berbasis masalah memiliki unsur-unsur
belajar magang yang bias mendorong pengamatan dan dialog dengan
orang lain.
Sintaks (alur proses) pembelajaran berbasis masalah biasanya terdiri atas
lima tahap (Nurhadi, 2004), yang secara rinci disajikan pada tabel 1 (halaman
18).
Dalam penerapan pembelajaran berbasis masalah, guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menetapkan topik masalah, walaupun
sebenarnya guru sudah mempersiapkan apa yang harus dibahas. Proses
pembelajaran diarahkan agar siswa mampu menyelesaikan masalah secara
sistematis dan logis.
Dilihat dari aspek psikologi belajar pembelajaran berbasis masalah
berdasarkan kepada psikologi kognitif yang berangkat dari asumsi bahwa
belajar bukan semata-mata menghafal sejumlah fakta, tetapi suatu proses
18
interaksi secara sadar antara individu dengan lingkungannya. Melalui proses
ini sedikit demi sedikit siswa akan berkembang secara utuh. Artinya,
perkembangan siswa tidak hanya terjadi pada aspek kognitif, tetapi juga pada
aspek afektif dan psikomotorik melalui penghayatan secara internal akan
problema yang dihadapi (Sanjaya, 2007).
Tabel 1 . Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah
Tahap Tingkah Laku Guru Tingkah Laku Siswa
Tahap-1
Orientasi siswa pada
masalah
Guru menjelaskan tujuan
pembelajaran, menjelaskan
logistik yang dibutuhkan, siswa
terlibat pada aktivitas relevan
masalah yang dipilihnya.
Siswa secara aktif
terlibat pada aktivitas
relevan masalah yang
dipilihnya
Tahap-2
Mengorganisasikan
siswa untuk belajar
Guru membantu siswa untuk
mengidentifikasi dan
mengorganisasikan tugas belajar
yang berhubungan dengan
masalah tersebut
Siswa secara aktif
mengidentifikasikan dan
mengorganisasikan
tugas belajar yang
berhubungan dengan
masalah tersebut
Tahap-3
Membimbing
penyelidikan
individual maupun
kelompok
Guru mendorong siswa untuk
mengumpulkan informasi yang
sesuai, melaksanakan eksperimen,
untuk mendapatkan penjelasan
Siswa secara aktif
mengumpulkan
informasi yang sesuai,
melaksanakan
eksperimen, untuk
mendapatkan penjelasan
dan pemecahan masalah
Tahap-4
Mengembangkan dan
menyajikan hasil
karya
Guru membantu siswa dalam
merencanakan dan menyiapkan
karya yang sesuai seperti laporan,
video dan model dan membantu
mereka berbagi tugas dengan
temannya
Siswa secara aktif
merencanakan dan
menyiapkan karya yang
sesuai seperti laporan,
video dan model dan
saling membantu
membagi tugas dengan
temannya
Tahap-5
Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk
melakukan refleksi atau evaluasi
terhadap penyelidikan mereka dan
proses-proses yang mereka
gunakan
Siswa secara aktif
melakukan refleksi atau
evaluasi terhadap
penyelidikan dan prosesproses
yang digunakan
19
C. Berpikir Kritis
Dalam Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Singaraja (2001), terdapat
beberapa ahli yang berpendapat tentang definisi berpikir kritis, antara lain
sebagai berikut: Tyler (1949) berpendapat bahwa pengalaman atau
pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk memperoleh
keterampilan dalam pemecahan masalah dapat merangsang keterampilan
berpikir kritis siswa. Menurut Cabrera (1992) berpikir kritis merupakan
aktivitas evaluatif untuk menghasilkan suatu simpulan
Menurut Gerhard (1971) berpikir kritis merupakan suatu proses kompleks
yang melibatkan penerimaan dan penguasaan data, analisis data, dan evaluasi
data dengan mempertimbangkan aspek kualitatif serta melakukan seleksi atau
membuat keputusan berdasarkan hasil evaluasi. Berpikir kritis diperlukan
dalam rangka memecahkan suatu permasalahan sehingga diperoleh keputusan
yang cepat dan tepat.
Penilaian yang kritis terhadap informasi yang ada jarang diajarkan di
sekolah, dimana para siswa biasanya diharapkan akan menerima apa yang
dikatakan kepada mereka sebagai kebenaran, dan mereka jarang dirangsang
untuk mempertanyakan kebijakan yang diterima secara mendalam. Anak harus
diajari berpikir sendiri, dengan menerapkan analisis yang kritis terhadap
pemikiran, pendapat dan usul-usul, tak peduli seberapapun besar kekuasaan
sumbernya (Padji, 1992).
Seperti yang dikemukakan oleh A. Chaedar Alwasialah (1996) dalam
makalahnya yang berjudul “Pendidikan, Penabur Benih Kreativitas”.
20
Menyatakan bahwa. Studi berpikir kritis lazimnya dikaitkan dengan disiplin
psikologi, seni, pendidikan, dan studi akademik lainnya. Tujuan pendidikan
kritis-kreatif adalah terwujudnya generasi yang berpikir terbuka, objektif, dan
memiliki komitmen terhadap kejelasan dan ketepatan aturan dalam menjalani
kehidupan sosial.
Dalam buku Elaine B. Johnson (2007) dikemukakan bahwa berpikir kritis
adalah berpikir dengan baik, dan merenungkan tentang proses berpikir
merupakan bagian dari berpikir dengan baik. Vincent Ruggiero (1988)
mengartikan berpikir sebagai “segala aktivitas mental yang membantu
merumuskan atau memecahkan masalah, membuat keputusan atau memenuhi
keinginan untuk memahami; berpikir adalah sebuah pencarian jawaban,
sebuah pencapaian makna.
Menurut Anuradha A. Gokhle (2002) “Materi tentang pemikiran kritis
yaitu materi yang melibatkan analisa, sintesis, dan evaluasi konsep” (Sugiarti
Henik, 2005). Dalam penggolongan Taksonomi Bloom, pada tugas analisis ini
siswa diminta untuk menganalisis suatu hubungan atau situasi yang kompleks
atas konsep-konsep dasar. Pada sintesis siswa dapat menggabungkan atau
menyusun kembali (reorganize) hal-hal yang spesifik agar dapat
mengembangkan situasi baru. Sedangkan evaluasi konsep untuk mengetahui
sejauh mana siswa mampu menerapkan pengetahuan dan kemampuan yang
telah dimiliki untuk menilai suatu kasus yang diajukan oleh penyusun soal
(Arikunto, 2002).
21
Cara peningkatan keterampilan berpikir kritis menurut Christensen dan
Marthin (1992), bahwa strategi pemecahan masalah dapat mengembangkan
keterampilan berpikir kritis dan kemampuan siswa dalam mengadaptasi situasi
pembelajaran yang baru ( Sugiarti Henik, 2005).
Tujuan dari berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang
mendalam. Pemahaman membuat kita mengerti maksud dari ide yang
mengarahkan hidup kita setiap hari. Pemahaman mengungkapkan makna
dibalik suatu kejadian.
Dalam buku Elaine B. Johnson (2007) juga dikemukakan tentang empat
langkah berpikir kritis untuk memecahkan masalah. Keempat langkah tersebut
disajikan dalam bentuk pertanyaan karena dengan jawaban pertanyaan, para
siswa dilibatkan dalam kegiatan mental yang mereka perlukan untuk
mendapatkan pemahaman yang mendalam.
1. Apa masalahnya?
2. Apa hasil yang saya cari?
3. Solusi apa saja yang mungkin dan apa alasan yang mendukungnya?
4. Apa kesimpulannya?
Langkah pertama dan kedua menentukan apa yang salah dan hasil yang
diinginkan, biasanya digabungkan untuk menentukan masalah. Setelah
menentukan masalah dan menyatakan hasil yang diinginkan, siswa kemudian
meneliti semua kemungkinan solusi yang ada, sekaligus alasan mengapa
setiap solusi tersebut kemungkinan berhasil atau gagal.
22
D. Pembelajaran Konvensional
1. Pengertian pembelajaran konvensional
Menurut Sudaryo (1990) bahwa secara tradisional (konvensional)
mengajar diartikan sebagai upaya penyampaian atau penanaman
pengetahuan pada anak. Dalam pengertian ini nak dipandang sebagai
obyek yang sifatnya pasif, pengajaran berpusat pada guru (teacher
oriented) dan guru memegang peranan utama dalam pembelajaran. Dalam
pengajaran ini guru mengkomunikasikan pengetahuannya kepada siswa
dengan teknik ceramah.
Menurut St. Vembriarto (1990) pengajaran tradisional adalah
pengajaran yang diberikan pada siswa secara bersama-sama. Sedang
menurut Ruseffendi pengajaran tradisional adalah pengajaran yang pada
umumnya biasa kita lakukan sehari-hari (Nining, 2004).
2. Metode Ceramah
Ceramah didefinisikan sebagai usaha guru menyampaikan materi
pelajaran melalui kegiatan berbicara, kadang-kadang diselingi
menggunakan papan tulis dan kapur. Sementara para siswa mendengarkan
dengan tertib dan mencatat (Sudaryo, 1990).
Penerapan metode ceramah dalam buku Sudaryo (1990) adalah
sebagai berikut:
23
Tabel 2. Penerapan Metode Ceramah di Kelas
Guru Siswa
1. Berbicara sepanjang waktu jam
pelajaran tersedia
2. Aktif sendiri sepanjang waktu
pelajaran
3. Mendominasi kelas, guru yang
menentukan semua kegiatan
yang harus dilaksanakan siswa,
4. Menempati suatu tempat
kedudukan yang tetap
(dibelakang meja guru)
5. Komunikasi searah, yaitu guru
kepada siswa
1. Mendengarkan atau mencatat
uraian yang diberikan guru
sepanjang waktu pelajaran yang
tersedia
2. Pasif, dalam arti tidak diberikan
kesempatan untuk bertanya,
mengemukakan pendapat sendiri
atau bergerak dari kursi atau
bangkunya.
3. Mengikuti segala sesuatu yang
ditetapkan guru
4. Menempati tempat duduk yang
tetap sepanjang waktu
5. Komunikasi searah, yaitu hanya
dari guru kepada siswa
Sumber: Sudaryo (1990)
a. Kelebihan metode ceramah
1) Murah biayanya karena media yang digunakan hanya suara guru
2) Mudah mengulangnya kembali kalau diperlukan, sebab guru sudah
menguasai apa yang telah diceramahkan.
24
3) Dengan penguasaan materi yang baik dan persiapan guru yang cermat
bahan dapat disampaikan dengan cara yang sangat menarik, lebih
mudah diterima dan diingat oleh siswa.
4) Memberi peluang kepada siswa untuk melatih pendengaran.
5) Siswa dilatih untuk menyimpulkan pembicaraan yang panjang menjadi
inti.
b. Kekurangan metode ceramah
1) Tidak semua siswa memiliki daya tatangkap yang baik, sehingga akan
menimbulkan verbalisme
2) Agak sulit bagi siswa mencerna atau menganalisis materi yang
diceramahkan bersama-sama dengan kegiatan mendengarkan
penjelasan atau ceramah guru.
3) Tidak memberikan kesempatan siswa untuk apa yang disebut “belajar
dengan berbuat”.
4) Tidak semua guru pandai melaksanakan ceramah sehingga tujuan
pelajaran tidak dapat tercapai.
5) Menimbulkan rasa bosan sehingga materi sulit diterima.
6) Menjadikan siswa malas membaca isi buku, mereka mengandalkan
suara guru saja (Nining, 2004).
E. Hasil Belajar Geografi
Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia
menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2004). Benyamin Bloom dalam
25
Sudjana (2004), membagi hasil belajar menjadi tiga ranah yaitu kognitif,
afektif dan psikomotorik.
1. Ranah Kognitif
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari
enam aspek, yaitu: pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi,
analisis, sintesis, dan evaluasi.
2. Ranah Afektif
Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yaitu
penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
3. Ranah Psikomotorik
Ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan
kemampuan bertindak. Ada enam aspek yaitu gerak reflek, keterampilan
gerakan dasar, kemampuan membedakan secara visual, ketrampilan di
bidang fisik, ketrampilan kompleks dan ketrampilan komunikasi.
Ketiga ranah ini menjadi obyek penilaian hasil belajar. Hasil belajar
kognitif diukur pada awal dan akhir pembelajaran, sedang untuk ranah afektif
dan psikomotorik diukur pada saat proses pembelajaran.
Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Muhibbin
(2001), faktor-faktor yang mempengaruhi dapat dibedakan menjadi tiga
macam, yakni sebagai berikut:
1. Faktor internal
Yaitu faktor yang berasal dari diri siswa terdiri dari dua aspek;
aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah) misalnya kondisi fisik sakit26
sakitan atau cacat pada fisik. Dan aspek psikologis (yang bersifat
rohaniah) misalnya; kecerdasan, bakat, minat, motivasi, dan emosi.
2. Faktor eksternal
Faktor dari luar diri siswa yang mempengaruhi hasil belajar antara
lain kondisi lingkungan di sekitar siswa yang meliputi lingkungan sosial
dan non-sosial. Lingkungan sosial sekolah seperti guru, staf administrasi
dan teman-teman sekolahnya. Sedangkan faktor lingkungan non sosial
misalnya gedung sekolah, alat-alat belajar, keadaan cuaca saat belajar,
tempat tinggal keluarga siswa dan waktu belajar yang digunakan siswa
juga dapat berpengaruh terhadap hasil belajarnya.
3. Faktor pendekatan belajar
Pendekatan belajar merupakan jenis upaya belajar siswa yang
meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan
kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.
Karena faktor-faktor tersebut diatas maka hasil belajar masing-masing
siswa berbeda satu sama lainnya. Dalam hal ini, guru yang profesional harus
dapat mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan munculnya kelompok siswa
yang menunjukkan kegagalan dalam belajar.
Sedangkan geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan
perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan,
kewilayahan dalam konteks keruangan.
Tujuan pendidikan di sekolah menurut Bloom mencakup aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik. Hasil belajar merupakan hasil belajar yang
27
berkaitan dengan aspek kognitif. Hasil belajar geografi dalam penelitian ini
adalah sebagai hasil belajar mata pelajaran geografi, siswa Kelas XI Program
Ilmu Sosial semester 2 pokok bahasan Persebaran Sumber Daya Alam di
Indonesia dan Pemanfaatannya di SMA Negeri 9 Semarang tahun 2006/2007
yang diajar menggunakan pembelajaran berbasis masalah ddan pembelajaran
konvensional.

STUDI KOMPARASI HASIL BELAJAR GEOGRAFI

ABSTRAK
Oktia Fajri Puji Hidayati, 2007. Studi Komparasi Hasil Belajar Geografi
Antara Pembelajaran Berbasis Masalah Dengan Pembelajaran Konvensional
Pada Siswa Kelas XI Program Ilmu Sosial SMA Negeri 9 Semarang Tahun
2006/2007. Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang.
Pembimbing: I. Dra. Eva Banowati, M.Si. II. Drs. Sutardji.
Kata Kunci: Pembelajaran Berbasis Masalah, Pembelajaran Konvensional,
Hasil belajar geografi.
Selama ini pembelajaran geografi yang dilaksanakan cenderung kearah
pembahasan tematik teoritik dan text book oriented, sehingga terkesan bahwa
bidang ini terdiri dari materi hafalan belaka. Berdasarkan observasi awal dan
informasi dari guru mata pelajaran geografi yang bersangkutan, pembelajaran
Geografi yang selama ini dilaksanakan di SMA Negeri 9 Semarang, terutama
pada Kelas XI Program Ilmu Sosial masih disampaikan dengan pembelajaran
konvensional menggunakan metode ceramah. Sementara siswa diharuskan untuk
menerima dan menghafal seluruh materi, sehingga hasil belajar yang diperoleh
kurang memuaskan. Oleh karena itu peneliti menerapkan model pembelajaran
berbasis masalah yang merangsang siswa untuk aktif dan kreatif dalam
memecahkan permasalahan dunia nyata yang pada akhirnya dapat meningkatkan
hasil belajar siswa. Namun, kebenaran dari argument ini perlu dibuktikan melalui
kegiatan penelitian agar diperoleh jawaban yang akurat. Permasalahan yang dikaji
dalam penelitian ini adalah: (1) Adakah perbedaan hasil belajar geografi yang
signifikan antara pembelajaran berbasis masalah dengan pembelajaran
konvensional? (2) Hasil belajar manakah yang lebih baik antara yang
menggunakan pembelajaran berbasis masalah atau pembelajaran konvensional?
(3) Apakah dengan penerapan pembelajaran berbasis masalah siswa dapat
mencapai ketuntasan belajar?. Penelitian ini bertujuan: (1) Untuk mengetahui
adakah perbedaan hasil belajar geografi yang signifikan antara pembelajaran
berbasis masalah dengan pembelajaran konvensional (2) Untuk mengetahui hasil
belajar manakah yang lebih baik antara yang menggunakan pembelajaran berbasis
masalah atau pembelajaran konvensional (3) Untuk mengetahui apakah dengan
penerapan pembelajaran berbasis masalah siswa dapat mencapai ketuntasan
belajar.
Populasi penelitian ini adalah siswa kelas XI Program Ilmu Sosial SMA
Negeri 9 Semarang yang terdiri dari 4 kelas dengan jumlah keseluruhan 169
siswa. Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sample yaitu dengan
mengambil dua kelas yang memiliki nilai rata-rata dan varians yang mendekati
sama. Untuk menentukan kelas kontrol dan eksperimen, dari kedua kelas yang
telah diambil sebagai sampel dilakukan random (acak). Sampel dalam penelitian
ini adalah kelas XI IS 1 sebagai kelas Eksperimen dan kelas XI IS 3 sebagai kelas
kontrol. Variabel penelitian ini, yaitu (1) pembelajaran berbasis masalah,
pembelajaran konvensional, dan (2) hasil belajar mata pelajaran geografi. Alat
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal tes dan lembar
ix
observasi. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dianalisis dengan uji-t dan
teknik diskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar kelompok eksperimen yang
diajar menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dan kelompok kontrol
yang diajar menggunakan model konvensional berbeda secara nyata. Hal ini dapat
dilihat dari hasil penelitian uji perbedaan dua rata-rata data posttes sebesar 2,522
> harga kritik sebesar 1,66 dengan taraf kepercayaan 5% yang artinya rata-rata
hasil belajar kelompok kontrol dan eksperimen berbeda secara signifikan. Hasil
belajar kelompok eksperimen lebih baik daripada kelompok kontrol. Hasil belajar
yang di dapatkan oleh kelompok eksperimen terbukti memberikan kontribusi
terhadap ketuntasan belajar siswa 14,274 >harga kritik 1,68 dan taraf signifikan
5%yang artinya tuntas belajar.
Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa: (1) Ada
perbedaan hasil belajar Geografi antara pembelajaran berbasis masalah dengan
pembelajaran konvensional yang berarti bahwa hipotesis alternative (Ha) yang
diajukan diterima dan Hipotesis nol (Ho) ditolak. (2) Hasil belajar Geografi pada
siswa yang diajar menggunakan pembelajaran berbasis masalah nilai rata-rata
kelasnya lebih baik yaitu 77,62 daripada nilai rata-rata kelas yang diajar dengan
pembelajaran konvensional yaitu 74,67. (3) Pembelajaran berbasis masalah
mampu memberikan kontribusi terhadap ketuntasan belajar siswa. Sehingga
disarankan pembelajaran berbasis masalah perlu dilaksanakan oleh guru. Dalam
pembelajaran, guru perlu melibatkan siswa secara langsung serta dengan
pembelajaran berbasis masalah siswa diharapkan lebih memahami permasalahan
dunia nyata dan diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

PEMANFAATAN MEDIA PENGAJARAN GEOGRAFI

PEMANFAATAN MEDIA PENGAJARAN GEOGRAFI PADA SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KECAMATAN
MARTAPURA KABUPATEN OKU TIMUR SUMATERA SELATAN TAHUN 2005
Oleh: LESTARI
ABSTRAK: Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang jenis-jenis media pengajaran
geografi yang ada, upaya pengadaan media pengajaran geografi, alasan guru-gum untuk memanfaatkan atau tidak
memanfaatkan media pengajaran geografi, dan upaya guru-guru untuk dapat memanfaatkan media pengajaran
geografi di SMA Kecamatan Martapura OKU Timur Sumatera Selatan. Penelitian ini dilaksanakan dengan
menggunakan metode deskriptif yang bersifat eksploratif, dengan menggunakan teknik observasi, wawancara
terstruktur, kuesioner, dan dokumentasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru geografi SMA di
Kecamatan Martapura yang berjumlah delapan orang. Sumber informasi lainnya (informan) adalah siswa yang
berjumlah 95 orang dan kepala sekolah yang berjumlah delapan orang. Data yang terkumpul dimasukkan pada
tabel dan dipersentasekan, dianalisis secara kualitatif, diinterpretasikan, dideskripsikan, dan disimpulkan. Dari hasil
analisis data tersebut dapat disimpulkan bahwa jenis media pengajaran geografi pada SMA di Kecamatan
Martapura, Kabupaten OKU Timur terdiri dari berbagai jenis peta berjumlah 63 buah, dengan kondisi 61 buah
(96,83%) baik 2 buah (3,17%) rusak. Globe berjumlah 10 buah, dengan kondisi 7 buah (70%) baik 3 buah
(30%) rusak. Atlas berjumlah 6 buah, dengan kondisi 5 buah (83%) baik 1 buah (17%) rusak. Gambar berjumlah 4
buah, dengan kondisi 3 buah (75%) baik 1 buah (25%) rusak. Grafik berjumlah 10 buah, dengan kondisi 7 buah
(70%) baik 3 buah (30%) rusak. Diagram berjumlah 8 buah, dengan kondisi 6 buah (75%) baik 2 buah (25%) rusak.
Bagan berjumlah 10 buah, dengan kondisi 8 buah (80%) baik 2 buah
(20%) rusak. Sketsa berjumlah 9 buah, dengan kondisi 8 buah (89%) baik 1 buah (11%) rusak. Dalam hal upaya
pengadaan media pengajaran geografi pada SMA di Kecamatan Martapura, Kabupaten OKU Timur dilakukan oleh
pihak sekolah/yayasan ada 5 orang (62,5%), gum dengan jalan membeli/membuat sendiri ada 1 orang (12,5%), dan
disamping itu gum juga menugaskan siswa untuk membuat media ada 2 orang (25%). Sedangkan pihak Dinas
Pendidikan wilayah Kecamatan Martapura hingga saat ini belum berpartisipasi. Sebagian besar gum geografi pada
SMA di Kecamatan Martapura, Kabupaten OKU Timur (75%) belum memanfaatkan media pengajaran geografi
dengan optimal, mereka mengajar jarang menggunakan media pengajaran. Alasan gum-gum untuk memanfaatkan
media pengajaran geografi adalah untuk mencapai tujuan pengajaran ada 1 orang (12,5%), dan merasa sudah
akrab dengan media tersebut ada 1 orang (12,5%). Sedangkan alasan gum-gum untuk tidak memanfaatkan media
pengajaran
geografi adalah karena latar belakang pendidikan ada 1 orang (12,5%), kurang memahami pengetahuan tentang
pengadaan atau pembuatan media pengajaran ada 1 orang (12,5%), rendahnya kemampuan gum dalam
menggunakan media pengajaran ada 2 orang (25%), dan adanya hambatan pengembangan dan pembelajaran yang
meliputi faktor dana, fasilitas, dan peralatan yang tersedia, serta waktu yang tersedia ada 2 orang (25%). Dari
penelitian ini juga dapat diketahui upaya gum untuk bisa memanfaatkan media pengajaran geografi pada SMA di
Kecamatan Martapura, Kabupaten OKU Timur. Upaya tersebut adalah gum belajar sendiri 3 orang (37,5%),
mengikuti MGMP 3 orang (37,5%) dan mengikuti penataran 2 orang (25%).

PEMBELAJARANGEOGRAFI

PEMBELAJARAN GEOGRAFI DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBERIAN

TUGAS PENDAHULUAN DI RUMAH

  1. Latar Belakang Masalah

Hasil belajar IPS, khususmnya sub bidang studi Geografi ternyata kurang menggembirakan, meskipun adanya anggapan siswa bahwa pelajaran IPS itu sangat mudah dan bersifat hafalan. Hal ini pasti akan menjadi bahan renungan para guru atau calon guru IPS khususnya sub-bidang studi Geografi.

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama khususnya sub-bidang studi Geografi bertujuan agar siswa mampu memahami gejala lingkungan alam dan kehidupan di muka bumi, ciri khas satuan wilayah serta permasalahan yang dihadapi sebagai akibat adanya saling pengaruh antara manusia dengan lingkungan (Depdikbud 1994: Kurikulum Pendidikan Dasar Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial). Untuk mewujudkan maka siswa harus dilibatkan secara aktif dalam proses belajar.

Keberhasilan tujuan tersebut tidak lepas juga pada guru pembimbing dan pembina di lapangan. Dengan demikian peran dan tugas guru menjadi semakin penting sejalan dengan tuntutan pembangunan nasional di bidang pendidikan. Seperti yang telah ditetapkan dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. II/MPR/1998 tentang GBHN menyatakan: Pendidikan Nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa dan kualitas sumber daya manusia, mengembangkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi luhur, memiliki pengetahuan, keahlian dan ketrampilan.

Dalam kegiatan belajar mengajar Geografi juga harusmemperhatikan tingkat perkembangan intelektual dan perkembangan mental siswa, oleh karena itu harus disesuaikan bahan ajar apa yang hendak diajarkan serta bagaimana cara mengajarkannya. Sebagai guru geografi tentunya harus mengetahui konsep-konsep tersebut.

Selain menguasai konsep-konsep Geografi dan metode mengajar, guru Geografi juga harus menguasai teori-teori belajar agar apa yang disampaikan dapat dipahami dengan mudah oleh siswa. Sebelum memasuki pelajaran Geografi, siswa sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan pengajaran Gegrafi. Pengetahuan dan pengalaman ini membentuk pra-konsep, terjadi pra-konsep tersebut belum tentu benar kadang bertentangan dengan hasilnya. Di sinilah terjadi konflik kognitif, barulah konsep lama dan baru dipadukan maka untuk mewujudkan pengajaran Geografi harus diperhatikan hal-hal di atas.

Upaya untuk menghubungkan pra-konsep dengan konsep baru dalam pengajaran Geografi perlu digunakan suatu pengaturan awal dengan maksud agar terbentuk susunan materi yang terstruktur dalam kognitif siswa seperti yang yang dirasakan oleh David Ausubel, maksudnya menurut Dadid Ausubel yang mempengaruhi belajar adalah apa yang telah dikuasai siswa. Walaupun David Ausubel tidak menyediakan model pengatur awal itu sendiri. Untuk itu penulis mengajukan model pemberian tugas pendahuluan yang diberikan sebagai tugas individu di rumah.

  1. Definisi operasional

Untuk menghindari salah pengertian, dalam makalah ini perlu penulis berikan batasan tentang:

  1. Pemberian tugas adalah suatu metode mengajar yang diterapkan guru dalam proses belajar mengajar.

  2. Tugas pendahuluan di rumah adalah tugas yang diberikan oleh guru sebagai tugas individu untuk dikerjakan di rumah dalam bentuk menjawab pertanyaan soal-soal essay tentang materi pokok bahasan pertemuan berikutnya.

    BAB II

C. Hakekat Belajar

Beberapa definisi tentang belajar antara lain:

    1. Menurut Bagne seperti yang dikutip oleh M. Purwanto ( 1990 : 84)menyatakan bahwa: “ Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa hingga perbuatannya berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi “.

    2. M Morgan menyatakan: “ Belajar adalah setiap perubahan yang telatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman “. (Purwanto, 1990:84 )

    3. Slameto ( 1988 : 4 ) berpendapat bahwa: “ Belajar andalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu ini sendiri dalam interaksi dengan lingkungan”.

Dari definisi-definisi di atas walau agak berbeda dalam merumuskan definisi belajar , dapat dikemukakan adanya persamaan bahwa belajar itu senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan sebagai suatu proses intreaksi antara diri manusia dengan lingkungannya yang mungkin berwujud pribadi , fakta,konsep ataupun teori. Namun tidak semua perubahan tingkah laku merupakan hasil belajar.

Ada beberapa perubahan yang tidak termasuk ketegori belajar antara lain:

  1. Perubahan akibat kelelahan

  1. Perubahan akibat pengaruh obat

  1. Perubahan akibat penyakit dan sebagainya.

Adapun perubahan yang terjadi pada individu dalam pengertian belajar mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Perubahan yang terjadi secara sadar

  1. Perubahan yang terjadi secara kontinyu aktif dan fungsional

  1. Perubahan dalam belajar yang bersifat aktif dan positif

  1. Perubahan dalam belajar yang bukan bersifat sementara

  1. Perubahan dalam belajar yang bertujuan serta terarah

  1. Perubahan yangmencakup semua aspek tingkah laku

Belajar merupakan mencakup semua aspek tingkah laku dilihat dengan nyata, proses yang tidak dapat dilihat dengan nyata, proses itu terjadi dalam diri seseorang yang sedang mengalami belajar. Jadi belajar bukan merupakan tingkah laku yang nampak tetapi merupakan proses yang terjadi secara internal dalam diri individu dalam usahanya memperoleh hubungan yang baru. Hubungan baru dapat berupa antara reaksi-reaksi, perangsangan-perangansangan dan reaksi.

Prinsip – prinsip Belajar

Dari uraian tentang belajar di atas, dapat kita ambil kesimpulan betapa pentingnya proses belajar dan kehidupan manusia. Untuk itu perlu kiranya kita menyusun sendiri prinsip-prinsip belajar. Dalam hal ini Slameto (19991:27-28) mengemukakan prinsip-prinsip belajar, sebagai berikut:

  1. Dalam belajar setiap siswa harus diusahakan berpartisipasi aktif meningkatkan minat dan membimbing untuk mencapai tujuan instruksional.

  2. Belajar bersifat keseluruhan dan materi itu memiliki struktur, penyajian yang sederhana sehingga siswa mudah menangkap pengertiannya.

  3. Belajar harus dapat menimbulkan reinforcement dan motivasi yang kuat pada siswa untuk mencapai tujuan instruksional.

  4. Belajar itu proses kontinyu maka harus tahap demi tahap menurut discovery;

  5. Belajar adalah proses organisasi, adaptasi, eksplorasi dan discovery;

  6. Belajar harus dapat mengembangkan kemampuan tertentu sesuai dengan tujuan intruksional yang harus dicapai;

  7. Belajar memerlukan saran yang cukup,sehingga siswa dapat belajar dengan tenang;

  8. Belajar perlu lingkungan yang menantang, dimana anak dapat mengembangkan kemampuannya ber-eksplorasi dan belajar dengan efektif;

  9. Belajar perlu ada interaksi siswa dengan lingkungannya;

  1. Belajar adalah proses kontinyuitas,sehinggamendapatkan pengertian yang diharapkan. Menimbulkan respon yang diharapkan ;

  2. Repetisi dalam proses belajar perlu ulangan berkali-kali agar pengertian atau ketrampilan/sikap itu mendalam pada siswa (Slameto, 1991:27-28).

Dari prinsip yang telah dikemukakan di atas dapat dipakai sebagai acuan bagi kita untuk menyusun prinsip-prinsip belajar yang lebih sesuai.

    D. Hasil Belajar

Belajar sangat erat hubungannya dengan prestasi belajar.Karena prestasi itu sendiri merupakan hasil belajar itu biasanya dinyatakan dengan nilai. Menurut Winarno Surahmad ( 1997 : 88 )sebagai berikut:

Hasil belajar adalah hasil dimana guru melihat bentuk akhir dari pengalaman interaksi edukatif yang diperhatikan adalah menempatkan tingkah laku”.

Dapat diartikan bahwa hasil belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau Perubahan diri seseorang yang dinyatakan dengan cara bertingkah laku baru berkatpengalaman baru.

Dalam kaitannya dengan kegiatan belajar, maka hasil belajar merupakan hasil kegiatan belajar sedangkan belajar sendiri lebih menekankan pada proses kegiatannya, selain pada hasil kegiatannya.

Hasil belajar merupakan hasil yang menunjukkan kemampuan seseorang siswa dalam menguasai bahan pelajarannya. Hasil belajar dapat diuji melalui test;sehingga dapat digunakan untuk mengetahui keefektifan pengajaran dan keberhasilan siswa atau guru dalam proses belajar mengajar.

Hasil belajar merupakan hasil dari proses kompleks.Hal ini disebabkan banyakFaktor yang terkandung di dalamnya baik yang berasal dari faktor intern maupun faktor ekstern.

Adapun faktor intern yang mempengaruhi hasil belajar yaitu:

  1. Faktor fisiologi seperti kondisi fisik dan kondisi indera.

  2. Faktor Psikologi meliputi bakat,minat,kecerdasan motivasi, kemampuan kognitif.

  3. Sedangkan faktor ekstern yang mempengaruhi hasil belajar adalah :

  1. Lingkungan

Yang termasuk faktor lingkungan adalah alam,masyarakat/keluarga .

  1. Faktor Instrumental

Faktor ini terdiri dari kurikulum/bahan pengajaran sarana dan fasilitas.

    E. Pemberian Tugas

  1. Pengertian Pemberian Tugas

Yang dimaksud dengan pemberian tugas dalam penelitian ini adalah merupakan suatu metode mengajar yang diterapkan dalam proses belajar mengajar, yang biasa disebut dengan metode pemberian tugas. Biasanya guru memberikan tugas itu sebagai pekerjaan rumah. Akan tetapi sebenarnya ada perbedaan antara pekerjaan rumah dan pemberian tugas seperti halnya yang dikemukakan : Roestiyah dalam bukunya “Didaktik Metodik” yang mengatakan :

Untuk pekerjaan rumah, guru menyuruh membaca dari buku dirumah, dua hari lagi memberikan pertanyaan dikelas. Tetapi dalam pemberian tugas guru menyuruh membaca. Juga juga menambah tugas (1),cari buku lain untuk membedakan(2), pelajari keadaan orangnya”(roestiyah, 1996 : 75 )

Dengan pengertian lain tugas ini jauh lebih luas dari pekerjaan rumah karena metode pemberian tugas dari guru kepada siswa untuk diselesaikan dan dipertanggung jawabkan. Siswa dapat menyelesaikan di sekolah, atau dirumah atau di tempat lain yang kiranya dapat menunjang penyelesaian tugas tersebut,naik secara individu atau kelompok.

Tujuannya untuk melatih atau menunjang terhadap materi yang diberikan dalam kegiatan intra kurikuler, juga melatih tanggung jawab akan tugas yang diberikan. Lingkup kegiatannya adalah tugas guru bidang studi di luar jam pelajaran tatap muka. Tugas ditetapkan batas waktunya, dikumpulkan,diperiksa, dinilai dan dibahas tentang hasilnya. Dalam memberikan tugas keadaan siswa, guru harus memperhatikan hal-hal berikut ini :

  1. Memberikan penjelasan mengenai

  1. Tujuan penugasan

  1. Bentuk pelaksanaan tugas

  1. Manfaat tugas

  1. Bentuk Pekerjaan

  1. Tempat dan waktu penyelesaian tugas

  1. Memberikan bimbingan dan dorongan

  2. Memberikan penilaian

Adapun jenis-jenis tugas yang dapat diberikan kepada siswa yang dapat membantu berlangsungnya proses belajar mengajar :

  1. Tugas membuat rangkuman

  2. Tugas membuat makalah

  3. Menyelesaikan soal

  4. Tugas mengadakan observasi

  5. Tugas mempraktekkan sesuatu

  6. Tugasmendemonstrasikan observasi

Adapun dalam penelitian ini tugas yang diberikan adalah pemberiantugas pendahuluan yang berbentuk pertanyaan yang harus diselesaikan siswa mengenai materi pokok bahasan pertemuan berikutnya.

  1. Kelebihan dan Kelemahan Pemberian Tugas

Metode pemberian tugas ini dalam pelaksanaannya memiliki beberapa kelebihan disamping juga mempunyai beberapa kelemahan.

Adapun kelebihan metode pemberian tugas :

  1. Metode ini merupakan aplikasi pengajaran modern disebut juga azas

aktivitas dalam mengajar yaitu guru mengajar harus merangsang

siswa agar melakukan berbagai aktivitas sehubungan dengan apa yang dipelajari.

  1. Dapat memupuk rasa percaya diri sendiri

  2. Dapat membina kebiasaan siswa untuk mencari, mengolah menginformasikan dan dan mengkomunikasikan sendiri.

  3. Dapat mendorong belajar, sehingga tidak cepat bosan

  4. Dapat membina tanggung jawab dan disiplin siswa

  5. Dapat mengembangkan kreativitas siswa

  6. Dapat mengembangkan pola berfikir dan ketrampilan anak.

Adapun kelemahan metode pemberian tugas

  1. Tugas tersebut sulit dikontrol guru kemungkinan tugas itu dikerjakan oleh orang lain yang lebih ahli dari siswa.

  2. Sulit untuk dapat memenuhi pemberian tugas

  3. Pemberian tugas terlalu sering dan banyak, akan dapat menimbulkan keluhan siswa,

  4. Dapat menurunkan minat belajar siswa kalau tugas terlalu sulit

  5. Pemberian tugas yangmonoton dapat menimbulkan kebosanan siswa apabila terlalu sering.

  6. Khusus tugas kelompok juga sulit untuk dinilai siapa yang aktif.

    3. Pemberian Tugas Pendahuluan

Tugas pendahuluan adalah tugas yang diberikan kepada siswa dalam bentuk tugas individu. Tugas itu diberikan kepada siswa dalam bentuk soal-soal essay yang harusdijawabnya, setelah mempelajari materi-materi pelajaran yang akan dibahas pada pertemuan berikutnya. Dengan tugas pendahuluan ini diharapkan sebelum menerima pelajaran dari guru, dalam diri siswa telah terbentuk struktur kognotif yang diperoleh dari tugas pendahuluan tersebut. Dengan demikian diharapkan ketika masuk kelas, siswa sudah siap dari rumah tentang konsep-konsep yang akan diberikan oleh guru. Keadaan ini diharapkan dapat membantu sisa dalam memahami konsep-konsep geografi.

Pemberian tugas pendahuluan ini sesuai dengan anjuran Ausubel yang mengatakan bahwa yang paling penting yang mempengaruhi belajar adalah apa yang diketahui oleh siswa ( Dahar, 1989: 117 ). Dengan tugas pendahuluan ini akan terbentuk struktur kognitif siswa.

Struktur kognitif inilah yang diharapkan untuk dapat meningkatkan kebermaknaan suatu pembelajaran sehingga siswa lebih mudah memahami pelajaran.Agar terjadi belajar bermakna maka konsep baru harus dikaitkan dengan konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Ausubel menerapkan suatu pengatur awal agar terjadi belajar bermakna.

Sehubungan dengan penelitian menggunakan metode pemberian tugas pendahuluan sebagai pengatur awal.

    4. Pengaruh Pemberian Tugas Pendahuluan Terhadap Hasil Belajar Dalam Pelajaran Geografi.

Tugas pendahuluan ini diberikan kepada siswa sebelum diberi pelajaran oleh guru, supaya dalam diri siswa telah terbentuk struktur kognitif. Struktur kognitif adalah fakta-fakta, konsep-konsep yang telah dipelajari dan dingat oleh siswa, sehingga dengan konsep-konsep yang sudah ada pada diri siswa akan diasimilasikan dengan konsep-konsep yang sudah diberikan guru. Dengan hal tersebut diharapkan dapat membantu siswa dalam memahami konsep-konsep Geografi, juga akan terwujudlah belajar bermakna seperti yang dikatakan Ausubel. Menurut faktor yang penting mempengaruhi belajar ialah apa yang telah diketahui siswa. Hal ini akan bermakna apabila konsep baru dikaitkan dengan konsep yang sudah ada dalam diri siswa.

    F. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

  1. Pemberian tugas pendahuluan memungkinkan siswa memiliki persiapan (kemampuan awal) sehingga memudahkan mereka untuk menerima materi yang disampaikan di kelas saat proses belajar mengajar.

  2. Pemberian tugas pendahuluan, dapat meningkatkan efisiensi waktu KBM

    (Dari berbagai sumber)