Kamis, 21 Januari 2010

Geografi : Ilmu Ruang Yg Kehilangan Ruang

MOMON SUDARMA

Sepanjang geografi dimaknai sebagai sebuah disiplin ilmu yang memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial atau ilmu eksakta lainnya, maka mau tidak mau geografi mesti memiliki kompetensi yang khas pula.

Tuntutan ini, merupakan sebuah konsekuensi logis dari identitas keilmuannya sendiri. Dengan kata lain, manakala geografi (dalam hal ini, ahli geografi) tidak mampu memberikan rumusan tentang kompetensi yang khas dari geografi, atau tidak mampu meyakinkan masyarakat tentang kompetensi khusus dari geografi, maka ilmu ini akan kehilangan identitas diri. Kasus ’cairnya’ identitas geografi ini sangat terasa di lingkungan lembaga pendidikan.
Selama tahun 1995-2002, elit pendidikan geografi digoncang oleh berbagai isu yang sangat mengagetkan nurani-akademiknya. Bahkan, tidak jarang dengan terpaan isu tersebut, mahasiswa geografi merasa gundah gulana dibuatnya.
Pertama, tahun 1997-an, ada isu sejumlah pokok bahasan dalam geografi di SMU akan dialihposisikan (transplacement) atau migrasi pokok bahasan. Melalui suplemen kurikulum tahun 1999, isu ini menjadi satu kenyataan. Guru Geografi di SMU pasca suplement 1999, tidak akan menemukan pokok bahasan bola langit, tenaga geologi, atau litosfera. Pokok bahasan tersebut, dialihposisikan menjadi bagian dari bahasan Fisika di rumpun IPA SMU. Perlu ditegaskan di sini, alihpokok bahasan ini bukan berarti bahwa geografi ada di program IPA, melainkan pokok bahasannya dititipkan ke IPA dan diajarkan oleh guru Fisika.
Kebijakan ini membuat hentakan yang sangat keras bagi mahasiswa, atau guru geografi di lapangan. Sisi tertentu, kebijakan ini dianggap sebagai satu keuntungan. Pada sisi yang lain, dianggapnya sebagai satu kerugian besar bagi geografi. Mereka yang merasa kesulitan mengajar tema-tema tersebut, menyebutnya sebagai satu keuntungan. Dua pokok bahasan utama, yang berbau matematis dan eksakta, dihukumi sebagai pokok bahasan yang tersulit di geografi, dan kini telah keluar dari kurikulum geografi, serta menjadi bagian dari pelajaran fisika. Sedangkan bagi kelompok yang mendambakan tantangan dan pemikiran serta pengetahuan teknis dan praktis, menganggap bahwa pemindahan pokok bahasan ini menjadi awal dari kehancuran identitas geografi yang sesungguhnya. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang berkaki di dua kutub (eksakta dan sosial), maka kajian tentang astronomi dan geologi adalah pendukung kuat untuk membentuk identitas geografi sebagai ilmu sintesis antara sosial dan eksakta, sebagaimana yang dibayangkan oleh Haggets. Dengan kata lain, jika geografi di SMU kehilangan pokok bahasan ini, menggambarkan bahwa geografi kehilangan ‘sisi eksakta’ geografi. Bahkan, lebih lanjutnya lagi, geografi akan menjadi mandul atau tidak memiliki jenis kelamin yang jelas.
Kedua, pengeluaran pokok bahasan tersebut, bisa jadi dilandasi oleh alasan tertentu. Misalnya saja, adanya overlap bahasan antara Fisika dan Geografi, ketidakrelevanan bahasan eksakta di struktur bahasan geografi yang cenderung dianggap sosial. Namun demikian, pro kontra tentang pemikiran ini, sangat jelas memberikan sebuah gambaran bahwa elit geografi di Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK), dan di struktur Dinas Pendidikan Nasional, khususnya di bidang Pusat Pengembangan Kurikulum, belum memiliki kepastian dan kejelasan tentang identitas geografi. Di kedua lembaga ini, masih memendam sikap ambivalensi tentang jenis kelamin geografi. Status sosialitas atau eksaktaisnya geografi, belum dapat meyakinkan mereka semua. Menurut penulis, fenomena ini menggambarkan ada gejala kesalahan persepsi dari para perumus kurikulum di tingkat pusat terhadap identitas geografi. Dalam batas tertentu, Geografi di SMU (juga di SLTP) mereka anggap dan diposisikan sebagai bidang studi sosial.
Pada sisi struktur keilmuan, khusus untuk konteks Indonesia, disiplin ilmu geografi ini memang membingungkan. Dari tiga perguruan tinggi nasional di Indonesia ini, geografi memiliki keanekaragaman jenis kelamin. Di Universitas Indonesia (UI) geografi merupakan bagian dari MIPA, di Universitas Gadjah Mada (UGM) geografi menjadi satu fakultas khusus (berbeda dengan Ilmu Sosial), sementara di Univeristas Pendidikan Indonesia (UPI) pendidikan geografi ada di bawah Fakultas Pendidikan IPS. Bagi Forbes (1986:48), di akhir abad XIX, geografi lebih dekat dengan ilmu alam ketimbang sosiologi atau antrologi. Hanya karena ada pengembangan kajian pada geografi pembangunan, geografi manusia dan sejenisnya kemudian identitas ini mulai meluas .
Perbedaan struktur keilmuan ini, bukan hanya terjadi pada soal kebijakan universitas semata, tetapi juga dalam kebijakan nasional dalam proses memasuki jenjang pendidikan tersebut di atas. Mahasiswa yang mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi, secara alamiah tidak akan mampu menembus (sebelum diberlakukannya SPMB tahun 2002) jurusan tersebut secara bebas. Siswa IPS lulusan SMU saat itu, tidak dapat mendaftarkan diri menjadi peserta seleksi calon mahasiswa geografi di UI maupun UGM atau ITB (ada jurusan Geologi atau ilmu Kebumian), sebab struktur geografi di lembaga pendidikan tinggi ini berada di bawah induk jenis pengetahuan alam. Sementara di UPI ada di bawah induk jenis pengetahuan sosial. Hal ini, mengindikasikan bahwa geografi saat itu memiliki dua jenis kelamin yang berbeda. Geografi saat itu, kendatipun memiliki nama yang sama, namun memiliki “lubang depan dan lubang belakang” yang berbeda pula.
Ketiga, tahun 2002, guru geografi diguncang lagi dengan isu bahwa di SMU kelas II, tidak akan ada pelajaran geografi. Pada tingkat ini, mata-pokok ajaran geografi hanyalah akan menjadi suplemen (bahasan titipan) bagi pelajaran-pelajaran yang lainnya. Misalnya saja pada pelajaran fisika, biologi atau mata pelajaran lain yang memiliki pokok bahasan yang erat kaitannya dengan geografi saat ini.
Dengan mengkerdilkan mata pelajaran, dan mengkuruskan posisi jam ajaran di SMU menjadi hanya di kelas I, merupakan indikator yang sangat mengkhawatirkan dalam lingkungan pendidikan geografi.
Kebijakan ini merupakan penegasan tentang lemahnya apresiasi perumus Kurikulum pendidikan di tingkat pusat terhadap peran geografi dalam membangun kepribadian generasi muda Indonesia, sehingga mereka memposisikan geografi di SMU pada tingkat tertentu, hanyalah menjadi suplemen saja. Kebijakan ini, pada dasarnya merupakan pengerucutan ulang dari kurikulum sebelumnya, yang memposisikan geografi ada di kelas I dan II. Pada waktu yang lalu, geografi tidak diajarkan di kelas III, karena dianggap bukan bagian dari IPA, juga tidak jelas ke-IPS-annya. Dan saat ini, geografi “diwacanakan” hanya diberi porsi jam pada kelas I saja. Peran geografi yang kerdil ini, sejajar dengan peran mata pelajaran Kesenian atau muatan lokal lainnya.
Adanya ketidakmampuan elit geografi di kalangan Kampus (khususnya kampus pendidikan) untuk meyakinkan elit birokrat pendidikan tentang peran geografi dalam membangun kepribadian generasi muda. Lemahnya bargaining-position ini, terbukti dengan ketiadaannya kemampuan dalam mempengaruhi birokrat dalam merumuskan kurikulum geografi.
Berdasarkan kasus-kasus di atas, ada satu hal yang penting untuk diperhatikan, yaitu adanya gejala krisis identitas dan peran geografi. Krisis inilah yang membuat, orang non-geografi, memandang dengan sebelah mata. Di kalangan IPS -atau istilah Immanuel Wallerstein- geografi menjadi salah satu bidang studi yang tidak dijadikan komponen utama dalam pengembangan ilmu sosial. Geografi hanyalah bidang studi yang marginal dalam peta penggunaan ilmu sosial. Sementara di rumpun IPA, geografi belum diakui secara utuh. Kaitannya dengan identitas geografi ini, secara tegas Wallerstein mengatakan :
Geografi, seperti ilmu sejarah, merupakan sebuah praktek yang sudah ada sejak zaman kuno. Para akhir abad kesembilanbelas, geografi merekonstruksi dirinya sebagai sebuah disiplin baru, terutama di universitas-universitas Jerman, yang membantu mengilhami berbagai perkembangan di tempat-tempat lain. Kendatipun perhatian utama geografi adalah apa yang juga menjadi perhatian ilmu sosial, tetapi ia menolak kategorisasi. Ia mencoba menjembatani jurang dengan ilmu-ilmu alam melalui perhatiannya terhadap geografi fisik; sedangkan dengan ilmu-ilmu kemanusiaan melalui perhatiannya terhadap apa yang disebut geografi manusia (yang dalam beberapa hal sama dengan apa yang dilakukan para antropolog, meskipuin dengan tekanan pada pengaruh-pengaruh lingkungan). Selanjutnya, geografi merupakan satu disiplin dalam periode sebelum 1945, yang dalam prakteknya secara sadar berusaha sungguh-sungguh mencakup seluruh dunia dalam istilah-istilah subject-matter-nya. Inilah kelebihannya dan boleh jadi juga kelemahannya. Karena studi tentang realitas sosial pada akhir abad kesembilan-belas menjadi semakin terkompartementalisasikan ke dalam disiplin-disiplin yang terpisah-pisah, dengan pembagian kerja yang jelas, geografi tampak anakronistis dengan kecenderungan-kecenderungannya yang generalis, sintesis, non-analitis.
Kritikan terhadap geografi ini, dikemukakan pula Ton Diets. Dalam bukunya tentang “Kontur Geogarfi Lingkungan Politik”, ia mengatakan :

Jika uraian Johnston tentang geografi Anglo Saxon pasca perang bisa dipercaya, maka minat geografi dalam masalah lingkungan hidup, tentang pola-pola hubungan antar manusia dengan sumber daya alam, dapat dipastikan masih sangat kecil. Ketika pakar geografi Amerika mensponsori satu satuan tugas Lingkungan menyusul suatu debat publik tentang krisis lingkungan di Amerika Serikat pada akhir tahun 1960-an, mereka tidak mampu menarik minat kalangan akademis.

Dua kritikan ini, menjadi satu bukti tentang ketidakpercayaan sejumlah pemikir terhadap ilmu geografi itu sendiri. Bahkan, dengan pernyataan-pernyataan tersebut, semakin meneguhkan ambivalensinya pemikir geograf di tingkat akademik saat itu.
Realitas ketidakjelasan sikap dan jenis kelamin geografi ini, dapat dimaknai dalam beberapa konteks. Pertama, diartikan sebagai masa transisi ilmiah, yang sudah terjebak oleh polarisasi ilmu eksakta dan ilmu sosial. Kedua, transisi rekonstruksi keilmuan geografi yang memiliki obsesi sebagai jembatan ilmu antara dua kutub tersebut. Ketiga, adanya “ruang kosong” pemikiran yang belum dihuni oleh imajinasi keilmuan, yang perlu dijadikan peluang dalam mengembangkan ilmu sintetik ini. Keempat, inilah saatnya untuk meneguhkan peran dan posisi geografi dalam konteks kehidupan nyata di Indonesia.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada sekelompok pihak yang mengatakan bahwa “justru di sinilah letak peran geografi yang sebenarnya, yaitu menjembatani antara ilmu eksakta dan ilmu sosial, sekaligus juga mensintetisir disiplin ilmu yang terpecah belah”.

Kecerdasan dan keterampilan manusia dalam memanfaatkan ruang, akan memberikan arah bagaimana alam dimodifikasi untuk kelangsungan hidupnya. Geografer membangun jembatan antara natural science dan social science dan mengkaji secara utuh human-earth ecosystem.

Pernyataan ini, penting dan patut untuk direspon dengan baik. Minimalnya bagi penulis, pemecahan terhadap masalah ini, akan mampu mengajak kepada semua pihak yang terkait dengan masalah ini, untuk mentafakuri tentang identitas dan posisi geografi itu sendiri. Klaim terhadap posisi dan peran tersebut di atas, perlu diperjelas kembali. Khususnya terkait dengan kemampuannya sebagai sebuah disiplin ilmu dalam memberikan sumbangan pemikiran terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Sebab, jika klaim hanya tinggal klaim tanpa ada bukti nyata dalam kiprahnya di masyarakat, maka geografi akan menjadi satu disiplin ilmu keruangan yang kehilangan ruang.

GEO


PERUBAHAN PERMUKIMAN PERDESAAN PESISIR KABUPATEN GUNUNG KIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 1996-2003

PERUBAHAN PERMUKIMAN PERDESAAN PESISIR KABUPATEN
GUNUNG KIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 1996-2003
Change of Coastal Rural Settlement Gunungkidul Regency
Yogyakarta Special Region in 1996-2003
oleh:
Su Ritohardoyo
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada,

PENDAHULUAN
Hakekat perkembangan permukiman
desa di setiap wilayah adalah perubahan,
yang dapat terjadi secara terencana maupun
secara tidak terencana. Hal ini berakibat
pada perkembangan kuantitas dan kualitas
permukiman bervariasi secara keruangan.
Beberapa masalah perdesaan yang berkaitan
dengan ruang wilayah antara lain belum
serasinya perkembangan dan keterkaitan
aktifitas pertanian dengan sektor lain dalam
pengembangan wilayah sebagai satu
kesatuan, masih banyaknya kerusakan
lingkungan akibat konversi lahan, dan
masih kurang layaknya kondisi lingkungan
perumahan dan permukiman berserta
sarana dan prasarana permukiman penduduknya
(Pascione, 1984; Riyadi, 2000).
Oleh karena itu, dalam usaha pengembangan
permukiman desa perlu kajian
variasi keruangan perubahan permukiman
dan faktor-faktor pendukungnya.
Perubahan Permukiman Perdesaan Pesisir Kabupaten Gunung Kidul ... (Su Ritohardoyo) 79
Hal tersebut sejalan dengan kebijakan
pengembangan permukiman di Indonesia
yang menekankan dua prioritas (Dirjen
Perumahan dan Permukiman, 2002).
Pertama prioritas jenis kegiatan antara lain
pembangunan dan pemeliharaan prasarana
dan sarana pendukung permukiman, dan
prioritas kedua adalah lokasi antara lain
pembangunan di pulau-pulau kecil, dan
pengembangan kualitas permukiman di
wilayah perdesaan pesisir. Kebijakan pengembangan
permukiman tersebut mendasari
pentingnya penelitian tentang perkembangan
permukiman, khususnya perkembangan
permukiman perdesaan kepesisiran.
Hal ini mengingat peran wilayah
kepesisiran bagi kesejahteraan penduduk
menurut sebagai ruang tempat kehidupan
penduduk, baik kehidupan sosial-budaya
maupun kehidupan sosial-ekonomi.
Manning and Sweet (1993) berpendapat
bahwa di balik peran wilayah pesisir
sebagai ruang tempat kehidupan sosial ekonomi
dan sosial budaya penduduk, dalam
pengembangan potensi wilayah kepesisiran
sering terjadi tumpang tindih. Kehidupan sosial
budaya penduduk pesisir dengan berbagai
kegiatannya, di satu sisi memanfaatkan lahan
permukiman dan sarana-prasarana fisik kegiatannya,
di sisi lain memanfaatkan lahan
untuk penghasil bahan pangan, tidak jarang
menjadi masalah dalam pengelolaan wilayah
kepesisiran. Dua kebutuhan sumberdaya lahan
bagi penduduk ini selalu berbenturan, ketika
salah satu pemenuhan kebutuhan lahan
lebih dominan dari pada kebutuhan lahan
lainnya (Mather, 1986). Kebutuhan lahan
berkaitan erat dengan lingkungan wilayah
setempat, baik bersifat saling bergantung,
maupun bersifat saling berpengaruh.
Keterkaitan antara kebutuhan dan
pemanfaatan lahan dengan aspek wilayah
pesisir (Ritohardoyo, 1991) tampak dalam
aplikasinya untuk konservasi lahan, dan
dasar pengembangan wilayah. Pemenuhan
kebutuhan lahan yang tidak mengindahkan
norma pelestarian, dapat berakibat pada
terjadinya kerusakan ekosistem pesisir,
yang sangat merugikan kehidupan
penduduk. Oleh karenanya, pengembangan
perdesaan pesisir merupakan usaha yang
bersifat strategis yang sangat diperlukan.
Pengembangan perdesaan pesisir sebagai
permukiman penduduk berkaitan erat
dengan pemecahan masalah-masalah
perdesaan saat kini dan masa mendatang,
memerlukan dasar informasi dan data
perkembangan setiap desa.
Uraian di atas mendasari perlunya penelitian
perubahan permukiman perdesaan di
wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul
Daerah Istimewa Yogyakarta, yang memiliki
karakteristik wilayah pesisir antara lain (Tim
Fak.Geografi UGM, 2003): (1) secara fisik
seluruh daerahnya bertopografi karst; (2)
dalam dua dasa warsa terakhir pemanfaatan
sebagian ekosistem wilayah pesisir dikembangkan
sebagai obyek-obyek wisata dan
tempat usaha perikanan laut. Hal itu telah
berdampak pada aktifitas sebagian penduduk,
salah satunya pergeseran matapencaharian
dari petani ke nelayan (Ritohardoyo, 2002).
Pengembangan itu berperan besar terhadap
perubahan-perubahan permukiman maupun
pertanian yang sudah sejak lama berada di
kawasan ini. Oleh karena itu, penelitian dilaksanakan
dengan tekanan tujuan mengungkap
(1) perubahan permukiman desa di wilayah
pesisir dari tahun 1996 hingga 2003, baik luas
lahan permukiman, jumlah bangunan rumah,
maupun fasilitas permukiman; (2) pola
persebaran perubahan permukiman di
wilayah pesisir; dan (3) besarnya pengaruh
perubahan setiap komponen wilayah terhadap
perubahan permukiman desa pesisir.
80 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 78 - 92
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriptif
analitis menggunakan metode analisis data
sekunder. Untuk memperoleh fenomena
persebaran, digunakan pendekatan analisis
keruangan. Satuan administratif desa
pesisir adalah desa yang berbatasan langsung
dengan Samudera Hindia digunakan
sebagai unit analisis, sebanyak 20 desa yang
merupakan bagian-bagian dari 6 daerah
kecamatan. Variabel dan data penelitian
secara umum terdiri dari tujuh bagian, yaitu
aspek geografi, demografi, penggunaan
lahan, fisik lahan, pertanian, ekonomi, dan
kebijakan pembangunan. Sebagian besar
data sekunder diperoleh dari Potensi Desa
(PODES) tahun 1996 dan 2003 dan dari
instansi setempat. Di samping itu juga
dilakukan pengumpulan primer dari
observasi lapangan.
Analisa data menggunakan cara
penilaian berbagai komponen pembentuk
permukiman desa pesisir, berdasar prinsip
teknik analisis kuantitatif dan kuantifikasi
data kualitatif. Teknik kuantifikasi data
kualitatif menekankan pada penilaian data
untuk memperoleh nilai indeks komposit.
Potensi desa tahun 1996 dan tahun 2003,
dianalisis besarnya nilai indeks komposit
beberapa potensi sumberdaya fisik, sumberdaya
biotik, dan potensi sumberdaya budaya
penduduk. Analisis tingkat perkembangan
setiap potensi sumberdaya setiap
desa pesisir; dengan cara menghitung selisih
nilai-nilai indeks komposit. Hasil pengurangan
data periode tahun 2003 dengan
data tahun 1996 dapat memberikan kemungkinan
nilai negatip dan positip, yang
bermakna perkembangan menurun atau
meningkat.
Setiap perkembangan baik peningkatan
ataupun penurunan nilai perkembangan
dianalisis secara spasial, sehingga
dapat ditunjukkan pola persebaran setiap
gejala pola perkembangan baik bersifat
negatip dan positip. Pengaruh tingkat perkembangan
faktor-faktor wilayah terhadap
tingkat perkembangan permukiman desa
pesisir, dianalisis berdasar uji statistik regresi
ganda dari variabel yang telah dinilai secara
kuantitatif berwujud indeks komposit.
Analisis hasil komprehensif keterkaitan
antara variabel penelitian dengan konteks
regional, termasuk kebijakan pembangunan
dan prediksi perkembangannya, menggunakan
analisis deskriptif kualitaif.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Kondisi Wilayah Permukiman Desa
Pesisir
Wilayah pesisir Kabupaten Gunung
Kidul secara keruangan terletak di
Pegunungan Sewu, secara administratif
terdiri atas 20 desa yang merupakan bagianbagian
daerah dari enam kecamatan. Luas
daerah secara keseluruhan sebesar 33.306,7
hektar atau 333,07 km2, yang terbagi
menjadi 493 Rukun Warga (RW) atau 1.049
Rukun Tetangga (RT). Bentuk wilayah
memanjang pantai dari Desa Girijati hingga
Desa Songbanyu (Tabel 1; Lampiran
Gambar 1.). Sebagian besar daerah ini
memiliki elevasi antara 0 – 500 meter dari
permukaan laut (mdpal), namun keberadaan
pedusunan pada ketinggian antara
200 – 500 mdpal (BPS. Kab. Gunungkidul,
2004). Kemiringan lereng daerah sebagian
besar curam (> 20 %) dan sebagian lagi
landai (< 20 %). Hal ini berkaitan erat
dengan kondisi geomorfologis wilayah yang
merupakan pantai dengan topografi Karst.
Sebagian besar perdesaan pesisir ini
termasuk daerah Inti Karst, dengan pantai
Perubahan Permukiman Perdesaan Pesisir Kabupaten Gunung Kidul ... (Su Ritohardoyo) 81
Tabel.1. Beberapa Parameter Pendukung Wilayah Permukiman Desa Pesisir Kabupaten Gunung Kidul
No Kecamatan Desa Luas Curah Hujan* Akses**
(Ha)
Juml
RW
Juml
RT
Tinggi
(mdpal)
Genetik
pantai Rata2 Tipe Q Skor Klas
Sumur
(m)
1. Purwosari 1. Girijati 765,2 9 27 200 Inti Karst 2224 Q=0,5/C 6 S 10
2. Giricahyo 1.561,5 17 37 200 Inti Karst 2224 Q=0,5/C 6 S 0
3. Giriapurwo 2.557,5 47 100 200 Inti Karst 2224 Q=0,5/C 7 S 20
2. Panggang 4. Giriwungu 1.123,0 14 30 300 Inti Karst 2224 Q=0,5/C 8 T 12
5. Girimulyo 1.629,7 19 49 250 Inti Karst 2224 Q=0,5/C 7 S 12
6. Girikarto 1.393,7 17 35 200 Inti Karst 2224 Q=0,5/C 6 S 17
3. Saptosari 7. Krambilsawit 1.479,0 19 39 500 Inti Karst 1910 Q=0,4/C 4 R 0
8. Kanigoro 2.488,0 21 44 310 Inti Karst 1910 Q=0,4/C 7 S 0
9. Planjan 1.248,0 27 65 507 Inti Karst 1910 Q=0,4/C 7 S 0
4. Tanjungsari 10. Kemadang 1.928,5 29 58 250 Inti Karst 2176 Q=0,5/C 8 T 10
11. Banjarejo 1.664,9 40 80 350 Inti Karst 2176 Q=0,5/C 8 T 11
12. Ngestirejo 1.344,9 26 59 300 Inti Karst 2176 Q=0,5/C 8 T 9
5. Tepus 13. Sidoharjo 1.604,3 22 52 300 Inti Karst 2985 Q=0,8/A 9 T 7
14. Tepus 2.855,4 48 85 155 Volc Karst 2985 Q=0,8A 6 S 15
15. Purwodadi 2.169,5 32 74 360 Volc Karst 2985 Q=0,8/A 4 R 15
6. Girisubo 16. Balong 1.093,6 22 45 300 Volc Karst 1910 Q=0,4/C 5 R 0
17. Jepitu 1.673,4 19 38 300 Volc Karst 1910 Q=0,4/C 7 S 0
18. Tileng 1.699,8 25 50 300 Sesar Karst 1910 Q=0,4/C 7 S 0
19. Pucung 1.442,6 14 30 350 Sesar Karst 1910 Q=0,4/C 6 S 0
20. Songbanyu 1.584,2 26 52 200 Sesar Karst 1910 Q=0,4/C 6 S 0
Jumlah 20 33.306,7 493 1049 292 2205 138
* Curah hujan rata-rata selama 10 tahun dalam mm/tahun; Tipe curah hujan dihitung dari nilai Q berdasar pada Schmidt & Ferguson (1951).
** Skor aksesebilitas: nilai indeks komposit dari ranking proporsi jumlah RT memiliki mobil dan motor per jumlah RT total/desa; jarak
desa ke kantor kecamatan, dan jarak desa ke kantor kabupaten. Klas aksesebilitas: T = Tinggi; S = Sedang; R = rendah
Sumber: BPS, 2003; Tim Fak. Geografi UGM, 2003; Analisis Data Sekunder, 2005.
82 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 78 - 92
yang secara tipologis terdiri dari tipe pantai
struktural dan tipe pantai erosi gelombang
(King, 1972 dalam Raharjo, 2003). Pantai
tipe struktural berkembang akibat pengaruh
erosi daratan diikuti oleh proses inundasi,
yang mencakup 13 desa di sebagian Daerah
Kecamatan Purwosari, Panggang, Saptosari,
Tanjungsari, dan Tepus; (Tabel 1.).
Sebagian lagi (7 desa) termasuk daerah Non
Karst, terutama di Kecamatan Girisubo;
dimana sebagian material batuannya adalah
Volcanic-Karst, dan Sesar-Karst.
Ditinjau dari aspek klimatologis
wilayah ini menghadapi kendala, dimana
curah hujan tahunan rata-rata di setiap desa
bervariasi, antara 1910 mm/tahun (rendah)
di perdesaan Kecamatan Girisubo dan
Saptosari, hingga 2985 mm/tahun (tinggi)
di perdesaan Kecamatan Tepus. Tipe curah
hujan (Q) berdasarkan pada Schmidt-
Ferguson (1951) daerah ini didominasi tipe
C, kecuali di Kecamatan Tepus termasuk
tipe A (Tabel 1.). Meskipun curah hujan
tahunan rata-rata relatif tinggi (2205 mm/
tahun), namun tidak tersebar merata
sepanjang tahun, sehingga sebagian besar
desa sering mengalami bencana kekeringan.
Keberadaan air telaga (danau karst)
bersifat terbatas pada musim kemarau
kering; dan kualitas air kurang memenuhi
baku mutu air bersih. Meskipun terdukung
oleh curah hujan, air hujan yang jatuh meresap
melalui rongga-rongga dan membentuk
sungai bawah tanah (McDonald & Partners
(1984). Hal ini menyebabkan air
permukaan di perdesaan pesisir sulit
ditemukan, sehingga telaga yang berair
musiman dimanfaatkan penduduk secara
multi purpose. Potensi airtanah cukup besar,
tetapi keberadaannya sangat dalam. Di
antara 20 desa pesisir di daerah penelitian
hampir separuh tidak memiliki sumur
(Tabel 1.). Di beberapa desa yang memiliki
sumur kedalamannya lebih dari 15 meter.
Artinya, untuk memperoleh air di daerah
ini menghadapi kendala fisik dan kendala
ekonomi untuk biaya teknologi.
Meskipun seluruh desa pesisir berada
pada topografi Karst yang ekstrim dengan
berbagai kendala fisik yang dihadapi,
namun hubungan baik antar desa, kecamatan,
kabupaten, bahkan antar propinsi
cukup lancar. Di antara 20 desa pesisir ini
sebagian besar (12 desa) memiliki tingkat
aksesebilitas sedang, 5 desa pada tingkat
tinggi, dan hanya 3 desa dengan aksesebilitas
rendah (Tabel 1.). Hal ini menurut
Mut’ali (2003) ketersediaan jaringan jalan
penghubung wilayah perdesaan pesisir karst
dengan daerah lain berakibat pada hubungan
tingkat lokal dan tingkat regional makin
lancar. Tingkat aksesebilitas ini mendukung
dinamika penduduk dan permukimannya.
2. Perubahan Permukiman Perdesaan
Pesisir
2.1 Perubahan Luas Lahan Permukiman
Kondisi lahan Pegunungan Karst
Kabupaten Gunungkidul sudah sejak lama
mengalami perubahan. Hal ini dapat ditunjukkan
dari aspek bentuk penggunaan
lahan, seperti yang dilaporkan Junghun
(1857) dan Nibbering (1990) mengungkap
bahwa sejak adanya okupasi penduduk di
daerah ini baik bermukim maupun bercocoktanam
pertanian, Gunung Sewu yang
dahulunya merupakan mixed evergreen rain
forest, telah mengalami banyak perubahan
biofisik. Perubahan terjadi pada luas lahan
hutan dan keragaman serta jenis tumbuhan
hutan baik di bagian pedalaman maupun
di pesisir. Artinya, sejak keberadaan permukiman
penduduk menempati sebagian
Perubahan Permukiman Perdesaan Pesisir Kabupaten Gunung Kidul ... (Su Ritohardoyo) 83
lahan kawasan karst, perubahan di daerah
pesisir mulai terjadi perubahan penggunaan
lahan baik untuk permukiman dan
pertanian.
Lahan perdesaan pesisir dewasa ini
terdiri terdiri dari (1) dataran aluvial, karst,
dan lembah karst, hanya sesuai untuk
tanaman musiman; dan (2) perbukitan
karst, kompleks doline dan kubah karst, tidak
sesuai untuk usaha produksi pertanian
(Tim Fak. Geografi UGM, 2003). Kenyataanmya,
perbukitan dan kubah karst telah
dimanfaatkan penduduk untuk pertanian
sehingga menjadi ‘gundhul’. Perubahan setiap
penggunaan lahan antar desa bervariasi,
baik ukuran luas, sifat perubahannya,
serta akibat pada luasnya lahan kritis (Tabel
2.). Perubahan luas pekarangan dan bangunan
ada yang meningkat, namun juga
terdapat desa dengan luas pekarangan dan
bangunan relatif tetap, bahkan ada yang
mengalami pengurangan. Perluasan pekarangan
dan bangunan terbesar terjadi di
Desa Girijati (3,35%), akibat pengaruh
perkembangan obyek wisata Parangtritis,
dimana lahan-lahan perbukitan yang
berbatasan langsung dengan obyek wisata
tersebut, banyak dimanfaatkan untuk
penginapan dan permukiman.
Perluasan pekarangan di Desa Sidoharjo
sebagai akibat fungsi desa tersebut
sebagai pusat ibukota Kecamatan Tepus.
Selain itu, jumlah penduduk datang lebih
banyak dari pada yang pergi di beberapa
desa setelah tahun 1999 sebagai dampak
krisis ekonomi. Sebagian migran yang kembali
ke desa-desa tersebut ketika krisis
ekonomi terjadi membangun rumah.
Berkurangnya luas perkarangan selama
lima tahun terakhir, terjadi sebagai akibat
ditinggalkan sebagian penduduk pindah ke
kampung lain, dan yang lebih banyak
migrasi ke luar kabupaten dan transmigrasi.
Antara tahun 1996–1998 pengiriman
transmigran dari Desa Pucung, Jepitu, dan
Balong sekitar 145 rumahtangga; sedangkan
di Giriwungu dan Ngestiharjo sekitar
79 rumahtangga. Lahan pekarangan dan
bangunan mereka jual, oleh pembelinya
dimanfaatkan sebagai lahan pertanian tegal
atau kebun campuran.
Akibat perubahan penggunaan lahan
di setiap desa tersebut terjadi perubahan
luas lahan kritis. Peningkatan luas lahan
kritis di antara 20 desa pesisir hanya terjadi
di Desa Giricahyo dan Giriwungu sebesar
1,6% dan 5,06% dari seluruh luas desa.
Lahan kritis di sebagian besar desa semakin
sempit, seperti di desa-desa Krambilsawit
dan Pucung mengalami pengurangan lahan
kritis hampir 40 persen dari luas setiap desa.
Semakin luas pengurangan lahan kritis di
sebagian besar desa peisisir, merupakan
salah satu indikator bahwa kondisi
permukiman desa-desa tersebut berubah
semakin baik.
2.2. Perubahan Kondisi Perumahan
Tingkat perkembangan rata-rata
persentase jumlah bangunan rumah
permanen sebesar 42,97 persen selama 6
tahun atau 7,16 persen per tahun. Peningkatan
kualitas bangunan rumah secara
keruangan antar desa bervariasi, peningkatan
yang melebihi 50 persen selama 6
tahun terjadi di sembilan desa, lima desa
berada di perdesaan pesisir selatan bagian
barat; sedangkan empat desa pesisir lainnya
berada di bagian timur daerah penelitian
(Tabel 2. dan Lampiran Gambar .2.). Lokasi
perkembangan bangunan rumah perdesaan
pesisir tersebut, tampaknya berkaitan
dengan perkembangan daerah secara
umum, baik pengembangan pemekaran
daerah administratif, obyek-obyek wisata
84 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 78 - 92
Tabel 2. Perubahan Beberapa Komponen dan Hirarki Permukiman Perdesaan Pesisir di Kabupaten Gunungkidul Tahun 1996 – 2003
Desa
Perub Luas
Pekarang
Perub Lahan
Kritis
Rank
PLP
Perub Jum
Rumah
Rank
PJR
Perub
RTlistrik
Rank
PRT
Perub Fas
Eko
Rank
PFE
Perub
Fas Sos
Rank
PSF
Total
Rank
Perkemb
Hirarki
1. Girijati 3,35 -1,31 20 7,57 2 22,34 17 1,9 13 2,03 14 66 3 3
2. Giricahyo 0,42 1,60 18 55,34 14 29,49 19 2,09 17 1,37 10 78 3 4
3. Giripurwo 0,22 -8,93 13 52,53 12 16,78 14 1,7 12 1,59 13 64 3 4
4. Giriwungu -0,28 5,06 3 70,31 18 -10,47 1 2,43 18 1,17 7 47 2 4
5. Girimulyo 0,33 -6,15 16 63,59 16 -6,43 3 1,01 5 1,4 11 51 2 4
6. Girikarto 0,11 -2,83 11 58,47 15 2,15 7 0,29 2 0,68 2 37 1 4
7. Krambilsawit 0,29 -43,77 15 2,25 1 19,4 15 1,1 9 1,53 12 52 2 4
8. Kanigoro 0,24 -8,51 14 13,8 5 1,26 6 1,05 7 3,37 18 50 2 4
9. Planjan 0,34 -15,41 17 12,26 3 27,27 16 1,2 10 0,96 5 51 2 4
10. Kemadang 0,01 -0,10 8 41,38 9 7,43 9 2,04 15 2,17 15 56 3 3
11. Banjarejo 0,12 -1,44 12 12,78 4 -8,08 2 2,8 19 0,77 3 40 1 4
12. Ngestirejo -0,01 -0,74 5 24,03 6 6,46 8 1,09 8 0,92 4 31 1 4
13. Sidoharjo 0,59 -1,06 19 32,01 7 21,7 16 2,07 16 3,46 19 77 3 3
14. Tepus 0,0 -4,41 6,5 53,58 13 11,52 11 2,02 14 2,31 16 60,5 2 4
15. Purwodadi 0,06 -0,92 10 34,43 8 -0,14 5 1,6 11 4,3 20 54 2 3
16. Balong -0,1 -0,91 4 66,38 17 -3,22 4 3,03 20 1,1 6 51 2 4
17. Jepitu -0,39 -5,99 2 43,05 10 16,69 13 1 4 1,35 9 38 1 4
18. Tileng 0,02 -10,00 9 47,29 11 8,97 10 1,03 6 0,21 1 37 1 4
19. Pucung -0,52 -38,23 1 88,87 20 44,74 20 0,3 3 2,38 17 61 2 4
20. Songbanyu 0,0 -5,33 6,5 79,52 19 13,31 12 0,03 1 1,32 8 46,5 1 4
Keterangan: Perkembangan = 3 : Kategori tinggi; Perkembangan = 2 : Kategori Cukup; Perkembangan = 1 : Kategori Rendah.
Hirarki = 3 : Kategori Tinggi khusus untuk di daerah ini; Hirarki = 4 : Kategori Rendah khusus untuk di daerah ini.
Sumber: Hasil Analisis Data Podes 1996 dan 2003 (BPS, 1996; BPS, 2003).
Perubahan Permukiman Perdesaan Pesisir Kabupaten Gunung Kidul ... (Su Ritohardoyo) 85
pantai, maupun daerah asal migran yang
relatif kritis secara fisik.
Pemekaran daerah administratif yang
tadinya satu kecamatan menjadi dua
(Panggang dan Kecamatan Purwosari; Paliyan
dan Saptosari; Tepus dan Tanjungsari;
Rongkop dan Gerbosari); telah berakibat
pada pertambahan jumlah bangunan perkantoran
dan fasilitas jasa, maupun bangunan
rumah permanen di perdesaan
pesisir. Selain itu, pengembangan beberapa
obyek wisata dan perikanan laut beserta
fasilitasnya di beberapa desa telah diikuti
oleh peningkatan jumlah bangunan rumah
permanen penduduk di setiap desa maupun
kualitas penerangan.
Sebagian besar desa pesisir sebagai
daerah asal migran yang relatif kritis secara
fisik, justru mampu meningkatkan jumlah
dan kualitas bangunan rumah di daerah
asal. Secara umum sebagian besar migran
baik yang kembali ke kampung halaman,
maupun yang masih tinggal di perkotaan
di Pulau Jawa dan di luar Jawa; cenderung
membangun rumah tempat tinggal di kampung
asal mereka, dengan meningkatkan
kualitas fisik bangunan rumah, ataupun
membangun rumah baru dengan kualitas
fisik bangunan rumah permanen.
2.3. Perubahan Fasilitas Permukiman
Desa Pesisir
Jumlah fasilitas fisik pelengkap suatu
permukiman sangat menentukan luas lahan
permukiman. Perubahan jumlah unit fasilitas
permukiman antara dua periode tahun
1996 dan 2003 mencakup perubahan fasilitas
ekonomi dan sosial kebudayaan. Hasil
penelitian ini menunjukkan, bahwa selama
tahun 1996 hingga 2003 peningkatan
ketersediaan fasilitas ekonomi baru 1,4
persen. Secara keruangan peningkatan
ketersediaan fasilitas ekonomi tertinggi
terjadi di Desa Balong (3,03%), sedangkan
yang terendah di Desa Songbanyu (0,03%).
Artinya, bahwa perubahan ketersediaan
fasilitas ekonomi untuk mendukung perkembangan
permukiman relatif kecil.
Beberapa desa pesisir yang menjadi pusat
pemerintahan kecamatan atau dekat
obyek-obyek wisata, memiliki tingkat
ketersediaan fasilitas ekonomi lebih tinggi
dari pada desa lainnya. Namun demikian,
peningkatan ketersediaan fasilitas ekonomi
di desa-desa tersebut relatif rendah. Hal itu
disebabkan sejak tahun 1996 ketersediaan
fasilitas memang lebih tinggi dari pada
beberapa desa pesisir lainnya.
Peningkatan ketersediaan fasilitas
sosial dan kebudayaan secara keruangan,
tertinggi di Desa Purwodadi (4,3%),
sedangkan peningkatan yang terendah
terjadi di Desa Tileng (0,21%). Hal itu
berkaitann dengan pengembangan pusat
kegiatan sosial dan kebudayaan yang juga
berpengaruh terhadap penggunaan tenaga
listrik antar desa selama tahun 1996-2003.
Selama periode tersebut peningkatan pengguna
tenaga listrik meningkat dari 50,79
persen menjadi 61,85 persen rumahtangga
(11,06%). Namun demikian proporsi
rumahtangga pengguna tenaga listrik di
beberapa desa ada yang mengalami penurunan.
Hal ini disebabkan beberapa warga
masyarakat pengguna tenaga listrik illegal
pada tahun 1996 tercatat sebagai pelanggan
listrik, namun setelah penertiban pengguna
tenaga listrik yang tercatat tahun 2003
makin sedikit.
Dalam kaitannya dengan berbagai
fasilitas di setiap desa ini di dalamnya terdapat
fasilitas pendukung aktifitas pariwisata
pantai dan karst. Peningkatan
pemanfaatan kawasan pantai dan karst
86 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 78 - 92
sebagai obyek pariwisata, di samping
perikanan laut mendorong perkembangan
permukiman pesisir. Peningkatan ketersediaan
fasilitas ini merupakan salah satu indikator
peningkatan budaya masyarakat,
yang mampu menunjukkan tingkat kemajuan
kehidupan secara umum di setiap desa
pesisir tersebut.
3. Persebaran Perubahan Permukiman
Wilayah Pesisir
Indikator perkembangan permukiman
antara lain perubahan luas pekarangan,
jumlah bangunan rumah, proporsi
rumahtangga pengguna listrik, ketersediaan
fasilitas ekonomi, dan ketersediaan fasilitas
sosial budaya di setiap desa pesisir. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perkembangan
desa pesisir bervariasi. Perkembangan
permukiman desa pesisir pada
kategori tinggi selama tahun 1996 –2003
lebih banyak terjadi di perdesaan pesisir
bagian barat, akibat pengembangan kawasan
wisata Parangtritis. Di bagian timur
hanya satu desa yang tingkat perkembangannya
tinggi, yang sejak lama telah menjadi
pusat ibukota kecamatan Tepus. Tingkat
perkembangan beberapa desa pesisir
kategori rendah sebagian besar berada di
bagian timur (Lampiran Gambar 2.).
Semakin lengkap ketersediaan
fasilitas di suatu desa pesisir, maka semakin
banyak fungsi pelayanan yang disediakan,
dan menunjukkan tingkat hirarki permukiman
semakin tinggi. Pada Tabel 2. ditunjukkan
juga di antara duapuluh desa pesisir,
empat desa memiliki hirarki tiga, enambelas
desa pada hirarki empat. Desa-desa pesisir
yang memiliki hirarki tiga merupakan
permukiman yang berkembang dan mampu
melayani fasilitas sosial ataupun ekonomi
dengan distribusi fungsi pelayanan lebih
dari 25 persen, pada radius pelayanan
lingkup satu kecamatan. Desa-desa pesisir
lainnya (16 desa) memiliki hirarki empat,
merupakan permukiman yang memiliki
distribusi fungsi pelayanan kurang dari 25
persen, dengan radius pelayanan hanya
pada tingkat desa.
Secara umum desa-desa pesisir yang
memiliki fasilitas sosial ekonomi lebih tinggi
dari pada desa-desa pesisir lainnya menduduki
hirarki lebih tinggi. Meski demikian
di desa hirarki lebih tinggi dari pada desa
pesisir lainnya, belum tentu diikuti perkembangan
secara cepat. Di antara empat desa
pesisir yang memiliki hirarki 3 dari,
terdapat satu desa dengan perkembangan
termasuk kategori cukup. Sebaliknya, di
antara lima desa yang memiliki tingkat
perkembangan tinggi, terdapat dua desa
dengan hirarki rendah (hirarki 4). Di
samping itu, desa-desa dengan hirarki dan
perkembangan permukimannya tinggi,
belum tentu diikuti oleh konsentrasi
penduduk yang padat.
4. Pengaruh Faktor Wilayah terhadap
Perubahan Permukiman Desa
pesisir
Perubahan permukiman desa pesisir
diukur dari gabungan nilai perubahan
komponen pembentuk permukiman, baik
perubahan luas pekarangan, perubahan
jumlah bangunan rumah, dan perubahan
jumlah bangunan rumah berpenerangan
listrik. Hasil penelitian (Tabel 3.). menunjukkan
bahwa tigabelas faktor wilayah
secara bersama-sama berkorelasi positip
kuat dengan perubahan permukiman
perdesaan pesisir di Kabupaten Gungkidul
( R=0,95; nilai F reg. = 2,860; signif. F
=0,05). Maknanya, bahwa semakin tinggi
nilai perubahan empatbelas faktor fisik
wilayah, maka semakin tinggi nilai perubahan
permukiman desa pesisir.
Perubahan Permukiman Perdesaan Pesisir Kabupaten Gunung Kidul ... (Su Ritohardoyo) 87
Besarnya sumbangan pengaruh
ketigabelas faktor wilayah terhadap variasi
faktor perubahan permukiman desa pesisir
cukup besar, yakni 90,3 persen (R2 =
0,903). Kesimpulannya, bahwa terjadinya
variasi perubahan permukiman desa pesisir
di Kabupaten Gunungkidul, sebesar 90,3
persen dipengaruhi oleh variasi faktor (1)
tingkat aksesebilitas, (2) rata-rata tinggi
tempat, (3) rata-rata curah hujan tahunan,
(4) jumlah sumur, (5) proporsi luas lahan
pertanian, (6) perubahan persentase luas
lahan kritis, (7) perubahan fasilitas ekonomi,
(8) perubahan fasilitas sosial, (9) kepadatan
penduduk, (10) kepadatan rumahtangga,
(11) pertumbuhan jumlah penduduk,
(12) pertumbuhan jumlah rumahtangga,
dan (13) perubahan persentase jumlah
rumahtangga petani. Sisanya, sebesar 9,7
persen diduga dipengaruhi faktor wilayah
lainnya, baik kondisi fisik seperti geologi,
jenis tanah dan kebijakan pemerintah di
daerah penelitian.
Di antara ketiga belas faktor wilayah,
yang berpengaruh secara signifikan
terhadap perubahan permukiman desa
pesisir hanya lima faktor (Tabel 4.). Urutan
besarnya pengaruh setiap faktor dari yang
paling besar adalah tinggi tempat tempat
(Beta = -1,536; T = -4,222; Sig. T = 0,013);
jumlah sumur (Beta = 2,794; T = 4,086; Sig.
T = 0,015); proporsi luas lahan pertanian
(Beta = 1,594; T = 3,337; Sig. T = 0,029);
kepadatan rumahtangga (Beta = 2,138; T
= 3,104; Sig. T = 0,036); dan kepadatan
penduduk (Beta = 1,320; T = 2,939; Sig. T
= 0,042). Dengan demikian dapat ditarik
beberapa makna konklusif bahwa:
a. Semakin besar ketinggian tempat maka
perubahan permukiman desa pesisir
semakin rendah, dalam arti perkembangan
permukiman desa pesisir lebih
dominan di daerah-daerah dengan
ketinggian rendah.
b. Semakin besar jumlah keberadaan
sumur di suatu desa pesisir, maka perubahan
permukiman desa pesisir semakin
meningkat, dalam arti perkembangan
permukiman desa pesisir lebih
dominan di daerah-daerah yang yang
mudah memperoleh airtanah.
Tabel 3. Koefisien Korelasi antara Empatbelas Faktor Wilayah dengan Perubahan
Permukiman Desa Pesisir Kabupaten Gunungkidul
R R2 R2 Tersesuaikan
Simpangan
baku
Perubahan
R2
Perubahan
F Db Df2 Perubahan
Signif. F
0,950 0,903 0,587 65,1687 0,903 2,860 16 4 0,05
Anova
Model a Jumlah
Kuadrat Db Rata-rata kuadrat F Signif. F
Regresi 157875,915 16 12144,301 2,860 0,05(a)
Sisa 16987,863 4 4246,966
Jumlah n 174863,778 20
Prediktor: % RT TANI, % PER FASEK, JML SUMUR, KPDT PEND, AKSES , % PER FASOS,
PERTAM RT, TINGGI TEMP, HUJAN, PERTAM PEND, % LHN KRITIS, % LHN PERT,
KPDT RT
Variable terikat: PERKEMBANGAN PERMUKIMAN
Sumber: Diolah dari BPS, 1996; 2003.
88 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 78 - 92
c. Semakin besar proporsi luas lahan
pertanian di suatu desa pesisir, maka
perubahan permukiman desa pesisir
semakin meningkat, dalam arti
perkembangan permukiman desa pesisir
lebih dominan di daerah-daerah yang
lahan pertanianya yang luas.
d. Semakin besar kepadatan rumahtangga
penduduk di suatu desa pesisir, maka
perubahan permukiman desa pesisir
semakin meningkat, dalam arti perkembangan
permukiman desa pesisir lebih
dominan di daerah-daerah dengan
kepadatan rumahtangga yang tinggi.
e. Semakin besar kepadatan penduduk di
suatu desa pesisir, maka perubahan permukiman
desa pesisir semakin meningkat,
dalam arti perkembangan permukiman
desa pesisir lebih dominan di
daerah-daerah yang berpenduduk padat.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Perkembangan permukiman desa
pesisir baik ditinjau dari luas lahan,
jumlah bangunan rumah, maupun
jumlah fasilitas permukiman secara
keruangan bervariasi. Perkembangan
permukiman desa pesisir pada kategori
tinggi, lebih banyak terjadi di perdesaan
pesisir yang berdekatan ataupun berfungsi
sebagai obyek wisata, dan atau
berfungsi sebagai pusat kegiatan pelayanan
pemerintahan. Hal ini berkaitan
dengan kelengkapan fisilitas sosial
ekonomi mapun fasilitas sosial budaya.
Tabel 4. Koefisien Regresi Setiap Faktor Wilayah yang Berpengaruh terhadap
Perubahan Permukiman Desa Pesisir Kabupaten Gunungkidul
Koef. Reg. tdk Terbakukan Koef. Reg.
Model b Terbakukan
B Simpangan Baku Beta
T Sig. T
KONSTANTA -349,442 565,762 -,618 0,570
AKSES 36,011 30,957 0,487 1,163 0,309
TINGGI TEMP -1,672 0,396 -1,536 -4,222 0,013
HUJAN 0,248 0,103 0,942 2,411 0,073
SUMUR 39,662 9,706 2,794 4,086 0,015
%LHN PERT 9,644E-02 0,029 1,594 3,337 0,029
%LHN KRITIS -4,747E-02 0,028 -0,605 -1,672 0,170
%PERFASEK -0388 0,206 -0,374 -1,882 0,133
%PERFASOS -1,009 0,484 -1,011 -2,085 0,105
KPDT PEND 1,666 0,567 1,320 2,939 0,042
KPDT RT 12,779 4,118 2,138 3,104 0,036
PERTAM PEND 0,306 0,171 0,706 1,794 0,147
PERTAM RT 0,119 0,160 0,221 0,747 0,496
%RT TANI 1,367 3,942 0,081 0,347 0,746
Variable terikat: PERUBAHAN PERMUK
Sumber: Diolah dari BPS, 1996; 2003.
Perubahan Permukiman Perdesaan Pesisir Kabupaten Gunung Kidul ... (Su Ritohardoyo) 89
Oleh karena itu dalam pengembangan
permukiman daerah ini, perlu diprioritaskan
pada desa-desa pesisir yang
berlokasi relatif jauh dari obyek wisata
maupun pusat pemerintahan, sehingga
pembangunan lebih merata sesuai
dengan masalah yang dihadapi dan
kebutuhan penduduk setempat.
2. Semakin lengkap ketersediaan fasilitas
di suatu desa pesisir, maka semakin
banyak fungsi pelayanan yang tersedia,
sehingga tingkat hirarki permukiman
semakin tinggi. Secara hirarkis sebagian
besar jumlah desa pesisir masih pada
tingkat hirarki empat, sedangkan sebagian
kecil jumlah desa pesisir pada
hirarki tiga. Artinya pola perkembangan
permukiman desa pesisir belum terjadi
secara maksimal, sehingga untuk pengembangan
lebih lanjut perlu ditingkatkan
jumlah fasilitas fisik untuk
kegiatan ekonomi maupun unutk
kegiatan sosial budaya masyarakat.
3. Perkembangan permukiman desa
pesisir di pegunungan karst sangat
ditentukan oleh komponen fisik wilayah,
terutama ketinggian tempat,
ketersediaan air, dan ketersediaan luas
lahan untuk pertanian. Di samping itu,
perkembangan ditentukan oleh kepadatan
rumah tangga dan kepadatan
penduduk, yang mencerminkan kepadatan
bangunan fisik rumah tempat
tinggal. Dengan demikian disarankan
untuk pengembangan daerah perdesaan
pesisir perlu diprioritaskan pada daerah
yang relatif datar, dengan ketersediaan
air dan lahan usaha untuk pertanian
yang mudah diperoleh. Harapannya
penduduk desa pesisir dapat bermukim
dengan ‘krasan’ sehingga tidak terjadi
depopulasi.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 1996. Potensi Desa Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1996. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
BPS. 2003. Potensi Desa Daerah Istimewa YogyakartaTahun 2003. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
BPS. Kab. Gunungkidul. 2004. Kabupaten Gunungkidul Dalam Angka. Wonosari: BPS.
Kabupaten Gunungkidul.
Dirjen. Perumahan dan Permukiman. 2002. Repeta 2003 Departemen Permukiman Dan
Prasarana Wilayah. Jakarta: Direktorat Jendral Perumahan dan Permukiman.
Junghun, A.M. 1857. Java: It’s Form, Vegetation Cover and Inner Architecture. Germany: Leipig.
Manning, E.W. and Sweet, M.F. 1993. Environmental Evaluation: Apractical Means of Relating
Biophysical Functions to Socioeconomic Values. Canada: Foundation for International
Training. Don Mils, Ontario.
Mather, A.S. 1986. Land Use. Hongkong: Longman Group United Kingdom Limited.
McDonald & Partners. 1984. Greater Yogyakarta Groundwater Resources Study, Vol 1 and Vol 3
c: Main Report. Yogyakarta: Directorate General of Water Resources Development
Project (P2AT).
90 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 78 - 92
Mut’ali, Lutfi. 2003. Studi Penentuan Desa-desa Pusat Pertumbuhan di Propinsi DI
Yogyakarta, dalam Majalah Geografi Indonesia, Vol 17, No 1, Maret 2003. Yogyakarta:
Fak Geografi UGM. Hal: 33-51.
Nibbering. J.W. 1990. Deforestation in the Gunungkidul, Some Historical Evidentce, Text
Presented at the Faculty of Forestry UGM. Yogyakarta: Fak. Kehutanan UGM.
Pascione, Michael. 1984. Rural Geography. London: Harper & Row, Publisher.
Raharjo, Noorhadi. 2003. Sebaran Tipe Pantai dan Karakteristik Lingkungan di Pantai Selatan
Jawa, dalam Majalah Geografi Indonesia, Vol 17, No 2, September 2003. Yogyakarta:
Fak Geografi UGM. Hal: 129-145.
Ritohardoyo, Su. 1991. Pengantar Perencanaan Penggunaan Lahan. Bahan Kuliah Penggunaan
Lahan. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
Ritohardoyo, Su. 2002. Perubahan Pekerjaan dari Petani ke Nelayan (Kasus Perdesaan Pantai
Kabupaten Gunungkidul), dalam Forum Geografi, Vol 16, No 1., Juli 2007. Surakarta:
Fakultas Geografi UMS.
Riyadi, Dodi Slamet. 2000. Konsep Dasar Penataan Ruang Wilayah Perdesaan, dalam
Pengembangan Wilayah Perdesaan dan Kawasan Tertentu. Jakarta: Direktorat Kebijaksanaan
Teknologi untuk Pengembangan Wilayah, Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi.
Schmidt, F.H. and Ferguson, J.H.A. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period Ratios for
Indonesia with W.N. Guinea. Verh. 42. Jakarta: Kem. Perhu-bungan R.I.
Tim Fak.Geografi UGM. 2003. Kajian Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Karst di Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: BAPEDALDA D.I. Yogyakarta dan Fak.
Geografi UGM.
Perubahan Permukiman Perdesaan Pesisir Kabupaten Gunung Kidul ... (Su Ritohardoyo) 91
92 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 78 - 92

ANALISIS KARAKTERISTIK PERMUKIMAN DESA-DESA PESISIR DI KABUPATEN KULONPROGO

ANALISIS KARAKTERISTIK PERMUKIMAN DESA-DESA PESISIR
DI KABUPATEN KULONPROGO
The Analysis of Rural Settlement Characteristics on The Coastal Area
in District of Kulonporogo
oleh:
Djaka Marwasta
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada,
Kuswaji Dwi Priyono
Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta

PENDAHULUAN
Kejadian bencana gempa bumi yang
diikuti tsunami di Aceh, Nias, Pangandaran,
serta beberapa bagian wilayah Indonesia
telah menyadarkan sebagian besar penduduk
Indonesia akan resiko bencana di
kawasan pesisir dan pantai. Banyak sekali
fenomena yang menunjukkan bahwa penduduk
di daerah pesisir mengalami “trauma”
atau “pobhia” terhadap kejadian gempa
dan tsunami. Fenomena ini menunjukkan
58 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 57 - 68
bahwa perlu adanya sosialisasi mengenai
tingkat bahaya yang mungkin terjadi di
daerah-daerah permukiman di sepanjang
pantai dan pesisir, terutama pada pantai
yang berhadapan langsung dengan zona
tumbukan lempeng tektonik.
Permukiman merupakan daerah
yang paling penting dalam kegiatan mitigasi
bencana alam, karena merupakan tempat
tinggal dan tempat berkumpulnya penduduk
(Katayama, 2000). Kerugian terbesar
akibat bencana umumnya terdapat pada
daerah permukiman penduduk. Dengan demikian
identifikasi karakteristik permukiman
perlu dilakukan untuk dapat mengenali
tingkat resiko bencana yang mungkin
terjadi.
Secara umum penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi karaktersitik permukiman
desa-desa pesisir sepanjang Pantai
Selatan Jawa di Kabupaten Kulonprogo.
Pemilihan Kabupaten Kulonprogo sebagai
daerah penelitian didasari pertimbangan
bahwa di Kabupaten ini memiliki pantai
yang berhadapan dengan Samudera Indonesia
dan umumnya morfologi pantainya
cenderung landai. Sebagaimana diketahui
bahwa di Samudera Indonesia terdapat
pertemuan lempeng tektonik Australia dan
Euro-Asia sehingga kemungkinan terjadinya
tsunami relatif besar. Dengan morfologi
pantai yang landai, maka apabila terjadi
gelombang pasang menyebabkan air akan
masuk ke daratan relatif jauh sehingga
daerah luapan airnya sangat luas.
Obyek penelitian ini ialah karakteristik
permukiman, lingkungan fisik, dan
kondisi sosial ekonomi desa pesisir. Lokasi
Penelitian adalah desa-desa yang memiliki
pantai di Samudera Indonesia yang termasuk
dalam Wilayah Kabupaten Kulonprogo.
Secara umum penelitian ini bertujuan
untuk: (1) mengidentifikasi karakteristik
permukiman, kondisi sosial- ekonomi dan
fisik lingkungan permukiman desa-desa
pesisir sepanjang Pantai Selatan Jawa di
Kabupaten Kulonprogo; (2) mengkaji keterkaitan
antara karakteristik permukiman
dengan kondisi sosial-ekonomi dan fisik
lingkungan permukiman desa-desa pesisir
sepanjang Pantai Selatan Jawa di Kabupaten
Kulonprogo; serta (3) pemintakatan
bahaya bencana gelombang pasang..
METODE PENELITIAN
Secara umum penelitian bersifat
deskriptif-evaluatif dengan menggunakan
dua pendekatan yaitu pendekatan Morphological
Approach dan Behaviour Approach
(Neer, 1999). Pendekatan pertama berkaitan
dengan kajian aspek setting geografis
dan lingkungan dari eksistensi dan karakteristik
permukiman. Pendekatan kedua
berkaitan dengan kajian proses memukimi
oleh penduduk, “survival strategy” yang dimiliki
oleh penduduk yang dimanifestasikan
dalam kondisi sosio-ekonomiknya.
Kedua pendekatan tersebut dioperasionalisasikan
dengan comparative perspective,
yaitu dengan membandingkan eksistensi
permukiman yang disaring melalui mekanisme
penentuan tipologi permukiman dan
tipologi pantai
Data yang digunakan dalam penelitian
ini diperoleh dari interpretasi citra
Landsat ETM tahun 2004 (http://
www.Landsat.org) (http://www.usgs.gov/
pubprod/satellitedata), peta-peta tematik,
data PODES 2005, dan hasil wawancara
terhadap responden secara indepth interview.
Untuk penentuan responden di dalam
kegiatan indepth interview digunakan
teknik quota sampling. Sebanyak 30 KK
Analisis Karakteristik Permukiman Desa-Desa ... (Djaka Marwasta dan Kuswaji Dwi P.) 59
diambil sebagai responden, dimana masingmasing
desa diwakili oleh 3 orang kepala
rumah tangga sebagai responden. Pemilihan
responden dilakukan secara acak
untuk masing-masing desa, dan orang yang
dijadikan responden adalah kepala keluarga.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan
perangkat lunak SIG berbasis vektor
(Arcview versi 3.3) dan raster (ENVI versi
4.0), dan perangkat lunak analisis statistik
SPSS versi 12. Teknik analisis yang digunakan
adalah analisis spasial dan analisis
statistik deskriptif (tabel frekuensi maupun
tabel silang).
Dalam studi ini, digunakan unit
analisis desa pesisir. Obyek yang dikaji pada
masing-masing unit analisis adalah: (1)
karakteristik permukiman meliputi: (a) pola
sebaran permukiman; (b) kepadatan permukiman;
dan (c) permanensi bangunan;
(2) karakteristik sosial ekonomi penduduk
meliputi: (a) jenis pekerjaan; (b) tingkat
ekonomi; dan (c) tingkat pendidikan; (3)
karaktersitik fisik lingkungan meliputi: (a)
morfologi pantai; (b) bentuk lahan; dan (c)
aksesibilitas fisik.
Hasil identifikasi karakterisitik permukiman
dan kondisi sosio-ekonomi
diwujudkan dalam bentuk peta karakteristik
permukiman dan kondisi sosio-ekonomi
penduduk daerah penelitian. Disamping itu
juga dilakukan pemetaan kondisi fisik
lingkungan daerah penelitian, yang didasarkan
pada interpretasi citra Landsat ETM
maupun peta hasil penelitian/publikasi dan
atau turunan dari peta Rupa Bumi Indonesia.
Keseluruhan peta selanjutnya dianalisis
dengan SIG untuk menghasilkan model
keterkaitan antar faktor. Dari hasil analisis
SIG selanjutnya dianalisis secara statistik
(analisis frekuensi dan tabel silang). Dari
hasil analisis SIG juga dapat diturunkan
output penelitian berupa pemintakatan
bahaya bencana gelombang pasang daerah
permukiman di desa-desa pesisir dengan
teknik overlay dan model iterasi sederhana.
HASIL PENELITIAN
Secara adminstratif daerah penelitian
meliputi 10 desa dari 4 kecamatan. Desadesa
tersebut meliputi Jangkaran, Sindutan,
Palihan dan Glagah yang termasuk wilayah
administrasi Kecamatan Temon. Desa
Karang Wuni termasuk wilayah administrasi
Kecamatan Wates, sedangkan Desa
Garongan, Pleret, dan Bugel, termasuk
wilayah Kecamatan Panjatan, serta Karangsewu
dan Banaran termasuk wilayah
Kecamatan Galur.
Secara geomorfologis, berdasarkan
asal proses utamanya, fenomena bentanglahan
di daerah penelitian dapat dikelompokkan
ke dalam 2 satuan geomorfologi,
yaitu: satuan geomorfologi asal proses marin
dan asal proses eolian (lihat Gambar 1).
Satuan gemorfologi yang terbentuk akibat
proses marin (aktivitas gelombang laut)
yang ada di daerah penelitian dapat dikelompokkan
menjadi 2, yaitu satuan gisik
(beach) dan beting gisik (beting gisik). Gisik
di daerah penelitian merupakan zona yang
relatif sempit di sepanjang pantai, dengan
lebar antara 25 hingga 50 meter, secara
spesifik berada di sekitar muara Sungai
Serang.
Satuan geomorfologi asal proses
aktivitas angin (eolian) adalah gumuk pasir
(sand dunes). Di daerah penelitian kompleks
gumuk pasir ini berselang-seling dengan
Swale, yaitu suatu bentanglahan yang
berupa cekungan di antara dua gumuk pasir,
yang dapat berperan sebagai ledok drainase.
Kompleks gumuk pasir dan swale secara
60 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 57 - 68
keseluruhan membentuk relief berombak
yang tersusun oleh material pasir lepas. Pada
dasar swale, biasanya dijumpai akumulasi
material yang lebih halus seperti lempung
dan debu, yang memungkinkan lahan ini
dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian
tanaman semusim, seperti: cabe, tomat, terong,
sawi, atau jenis polowijo lainnya. Jenis
penggunaan lahan ini bertahan sepanjang
tahun, karena ketersediaan airtanah yang
cukup, relatif dangkal, dan rasanya tawar,
di seluruh kompleks gumuk pasir dan
swale.
Secara umum permukiman di daerah
penelitian berlokasi di bagian bentuklahan
beting gisik dan dataran fluviomarin. Kondisi
tersebut merupakan manifestasi dari
adaptasi penduduk terhadap lingkungan di
dalam menentukan lokasi tempat hunian
(Yunus, 1989). Proses memukimi daerahdaerah
tersebut didasari pertimbangan bahwa
pada daerah beting gisik secara topografis
letaknya lebih tinggi dibandingkan
daerah di sekitarnya, sedangkan pemilihan
di dataran fluvio marin didasari oleh kedekatannya
terhadap lahan-lahan yang dapat
diusahakan untuk aktivitas pertanian padi
sawah. Letak yang lebih tinggi memberikan
keuntungan terhindar dari pengaruh banjir
yang sering terjadi terutama di daerah
sekitar muara sungai, maupun relatif aman
dari aktivitas pasang surut air laut.
Secara umum pola sebaran permukiman
di daerah permukiman adalah mengelompok
dengan bentuk memanjang
sepanjang pantai, berarah timur ke barat
(lihat Gambar 2). Hal ini bisa dimaklumi
karena bentuk beting gisik umumnya
memang selaras dengan garis pantai. Hanya
di beberapa tempat di dataran fluvio marin
Gambar 1. Peta Bentuklahan Daerah Penelitian
Analisis Karakteristik Permukiman Desa-Desa ... (Djaka Marwasta dan Kuswaji Dwi P.) 61
pola permukiman penduduknya mengelompok
berbentuk segi empat, dan beberapa
kelompok permukiman memanjang
sejajar jalan arah utara-selatan, terutama rumah-
rumah yang dibangun setelah terbangunnya
jalan-jalan penghubung jalur selatan
dan jalur tengah Kabupaten Kulonprogo.
Kepadatan permukiman desa-desa
pesisir umumnya tinggi, terutama pada
desa-desa nelayan, tetapi fenomena desadesa
pesisir di Kabupaten Kulonprogo menunjukkan
bahwa kepadatan permukimannya
relatif rendah. Secara umum kepadatan
penduduk pada daerah permukiman kurang
dari 200 jiwa setiap hektarnya. Hanya Desa
Karang Sewu yang memiliki kepadatan
lebih dari 300 jiwa per hektar. Padatnya
penduduk pada lahan permukiman di Desa
Karang Sewu terutama disebabkan oleh
pola permukimannya yang cenderung
mengelompok dan asosiatif dengan lahanlahan
pertanian. Aktivitas pertanian di desa
ini sangat menonjol sehingga mengontrol
pola dan kepadatan permukimannya.
Dari aspek kepadatan rumah mukim,
rerata kepadatan rumah mukimnya cenderung
tinggi (lihat Tabel 1). Semua desa
memiliki kepadatan rumah mukim rerata
lebih dari 20 rumah setiap hektarnya. Desa
Karang Sewu yang memiliki kepadatan
penduduk pada lahan permukiman tertinggi,
juga merupakan desa dengan rerata kepadatan
bangunan rumah tertinggi, yaitu lebih
dari 60 unit rumah per hektar. Dengan angka
kepadatan lebih dari 60 rumah per hektar,
desa ini tergolong berkepadatan tinggi.
Ditinjau dari permanensi bangunan,
secara umum proporsi antara permukiman
permanen dengan non permanen di daerah
penelitian cenderung seimbang. Tingkat
permanensi bangunan rumah mukim dapat
Gambar 2. Peta Pola Persebaran Permukiman Daerah Penelitian
62 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 57 - 68
dijadikan sebagai tolok ukur kualitas permukiman
pada umumnya (Yunus, 1989).
Semakin banyak bangunan non permanen
mengindikasikan semakin rendahnya
kualitas permukiman. Persentase bangunan
permanen di semua desa yang diteliti adalah
70% yang menunjukkan bahwa secara
umum kualitas permukiman di daerah penelitian
tergolong cukup baik. Desa Banaran
merupakan desa yang memiliki kualitas
permukiman terbaik di antara desa lainnya,
sedangkan Desa Pleret merupakan desa
dengan kualitas permukiman terendah.
Kondisi fisik lingkungan merupakan
faktor penting dalam proses memukimi
maupun produk yang berupa permukiman
(Bockstael, 1996). Pola persebaran permukiman
rural lebih banyak ditentukan oleh
faktor fisik lingkungan dibandingkan pertimbangan-
pertimbangan sosio-ekonomik
semata (Knox,2004) (Hardie,1997). Dalam
hal permukiman di daerah pesisir, kondisi
fisik yang secara signifikan berpengaruh
terhadap terbentuknya pola persebaran
permukiman tertentu adalah morfologi
pantai, bentuk lahan, dan aksesibilitas fisik.
Secara morfologis daerah penelitian
termasuk ke dalam tipe pantai berpasir,
dimana aktivitas yang dominan adalah
proses sedimentasi material gunungapi yang
terbawa oleh air sungai (dalam hal ini sungai
Progo, Serang, dan Bogowonto), maupun
aktivitas pasang surut air laut. Ciri morfologis
pantainya adalah berlereng cenderung
landai, banyak dijumpai gumuk pasir (sand
dunes), bermaterial pasir lepas, dan garis
pantainya cenderung lurus dan panjang.
Di kanan-kiri aliran sungai di daerah
penelitian dapat dijumpai satuan bentuklahan
tanggul alam. Tanggul alam di daerah
penelitian dapat dikelompokkan menjadi 2,
yaitu: tanggul alam muda (F2) yang ada di
sekitar aliran Sungai Serang, dan tanggul
alam tua (F3). Tanggul alam muda terbentuk
akibat aktivitas Sungai Serang, yang
Tabel 1. Kepadatan dan Permanensi Rumah Mukim Menurut Desa
Sumber: Hasil Pengolahan Data PODES tahun 2003 dan Hasil Analisis dengan SIG
Desa Rumah Permanen %
non
Permanen
%
Luas
Permukiman
(Ha)
Kepadatan
(rumah/ha)
Jangkaran 324 217 66,98 107 33,02 13,8 23,5
Sindutan 392 263 67,09 129 32,91 11 35,6
Palihan 420 249 59,29 171 40,71 17,2 24,4
Glagah 542 361 66,61 181 33,39 18 30,1
Karang Wuni 725 521 71,86 204 28,14 14,4 50,3
Garongan 614 359 58,47 255 41,53 24,4 25,2
Pleret 777 285 36,68 492 63,32 31,8 24,4
Bugel 862 400 46,40 462 53,60 31,7 27,2
Karang Sewu 1456 1333 91,55 123 8,45 23,4 62,2
Banaran 1109 1075 96,93 34 3,07 49,9 22,2
Jumlah 7221 5063 70,11 2158 29,89 235,6 30,6
Analisis Karakteristik Permukiman Desa-Desa ... (Djaka Marwasta dan Kuswaji Dwi P.) 63
kemungkinan akan terus berkembang selama
sungai ini tetap mengalir sepanjang
tahun, pada saat ini dimanfaatkan oleh
penduduk untuk tegalan dan perkebunan.
Tanggul alam tua pada saat ini telah dimanfaatkan
sebagai lahan permukiman penduduk
atau pekarangan dengan budidaya
tanaman semusim (polowijo dan buahbuahan).
Satuan Dataran Fluviomarin yang
ada di daerah penelitian merupakan satuan
geomorfologi yang terbentuk sebagai hasil
kerjasama aktivitas marin berupa laguna
dengan aktivitas sedimentasi. Akibat proses
sedimentasi dari daratan, maka laguna ini
tertutup dan menjadi daratan, atau akibat
aktivitas manusia, genangan ini kemudian
diatuskan sehingga dapat kering dan dapat
dijadikan lahan pertanian. Mengingat satuan
ini secara genesis bekas laguna yang
dulunya tergenang sepanjang tahun, maka
drainase permukaannya buruk. Kondisi
yang demikian menyebabkan pada satuan
ini banyak dimanfaatkan untuk pertanian
lahan basah. Karena topografinya yang rendah
dan lebih mudah tergenang air, maka
“sistem surjan” diterapkan sebagai pola
tanam sepanjang tahun pada satuan ini,
dimana pada bagian bawah (alur-alurnya)
ditanami padi, sedang pada bagian atas
(guludan) ditanami cabe atau jenis polowijo
lainnya. Kondisi sekarang banyak dibuat
sumur-sumur pantek sebagai sumber irigasi
di musim kemarau.
Satuan Beting Gisik tua dimanfaatkan
sebagai lahan permukiman. Beting gisik
di daerah penelitian umumnya hanya bersifat
tunggal atau satu jalur. Satuan ini mempunyai
topografi yang relatif datar atau
sedikit berombak, relief teratur, dan didominasi
oleh material pasir dengan ukuran
halus bercampur dengan sedikit debu dan
lempung pada bagian atas. Kondisi ini
menyebabkan akuifer pada satuan ini cukup
baik, airtanah dangkal dan berasa tawar,
sehingga banyak dimanfaatkan oleh penduduk
sebagai sumber air bersih, yaitu dengan
membuat sumur-sumur gali biasa atau dengan
sumur pompa. Pada satuan ini banyak
dimanfaatkan sebagai lahan permukiman
dan pekarangan dengan berbagai jenis
tanaman perkebunan, buah-buahan dan
polowijo.
Karakteristik sosial ekonomi penduduk
di daerah penelitian dapat ditelaah
berdasarkan jenis pekerjaan, tingkat
ekonomi, dan tingkat pendidikan. Menurut
jenis pekerjaan utama kepala keluarga, hampir
semua desa didominasi jenis pekerjaan
agraris (lihat Tabel 2), baik sebagai petani
pemilik, petani penggarap, maupun buruh
tani. Jelaslah bahwa budaya agraris masih
mendominasi pada setiap aktivitas penduduknya.
Sebagai desa pesisir, ternyata budaya
maritim belum merambah sendi-sendi
kehidupan masyarakatnya. Kehidupan
penduduk masih lebih dominan ditopang
dari sektor pertanian darat, belum banyak
dijumpai penduduk yang bekerja sebagai
nelayan meskipun rumahnya dekat dengan
laut. Bahkan ironisnya, kalaupun ada nelayan
adalah pendatang dari daerah lain,
misalnya dari Cilacap.
Tingkat ekonomi penduduk dapat
diukur dengan berbagai pendekatan, misalnya
pendapatan kepala keluarga, konsumsi
rumah tangga, pendapatan per kapita, dan
sebagainya. Dalam penelitian ini digunakan
persentase rumah tangga miskin. Tingkat
ekonomi penduduk di daerah penelitian
umumnya tergolong tingkat ekonomi
cukup. Ditinjau dari kategorisasi rumah
tangga miskin, umumnya desa-desa di
daerah penelitian memiliki rumah tangga
64 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 57 - 68
miskin kurang dari 3%, kecuali di desa
Karang Wuni yang hampir mencapai 5%
(lihat Tabel 2).
Pendidikan merupakan salah satu
parameter yang banyak digunakan untuk
menilai kondisi sosial ekonomi penduduk.
Salah satu tolok ukur untuk menentukan
tingkat pendidikan penduduk adalah dengan
melihat persentase keluarga yang memiliki
anggota rumah tangga berpendidikan
perguruan tinggi. Dengan adanya anggota
rumah tangga berpendidikan tinggi akan
berdampak pada pola pikir dan pola tindak
di dalam keluarga.
Diukur berdasarkan persentase keluarga
dengan anggota rumah tangga berpendidikan
perguruan tinggi, Desa Karang
Sewu merupakan desa dengan tingkat pendidikan
tertinggi dibanding desa-desa lain
(lihat Tabel 2). Jumlah keluarga yang memiliki
anggota rumah tangga berpendidikan
tinggi membawa dampak pada tingkat
kemajuan sosial dan ekonomi masyarakat
secara umum. Karang Sewu, walaupun secara
umum tergolong desa miskin, tetapi
memiliki kemajuan dalam bidang pendidikan.
Dapat disimpulkan bahwa secara
umum kondisi sosial ekonomi di daerah penelitian
masih didominasi sektor pertanian
tanaman pangan, tingkat ekonomi masyarakat
umumnya miskin hingga cukup, dan
tingkat pendidikan relatif rendah. Budaya
maritim belum banyak menyentuh sistem
kegiatan keseharian penduduk walaupun
mereka tinggal di daerah pesisir yang memiliki
sumberdaya kelautan yang masih melimpah.
Dampak terhadap mitigasi kebencanaan
daerah pesisir adalah bahwa sense
penduduk terhadap bencana akibat aktivitas
laut masih tergolong rendah. Seperti
yang pernah terjadi beberapa waktu yang
lalu tentang kemungkinan terjadinya badai
tropis di Pantai Selatan Jawa, ternyata malah
disikapi dengan cara-cara dan budaya
agraris yaitu makan sayur tujuh macam.
Tabel 2. Keluarga Miskin, Jenis Pekerjaan Utama Kepala Keluarga, dan Keluarga
dengan Anggota Rumah Tangga Berpendidikan Tinggi menurut Desa
Sumber: Hasil Pengolahan Data PODES tahun 2003
Desa
Jumlah
Penduduk
Jumlah
KK
KK
Miskin
%
KK
Pertanian
%
KK
non
Pertanian
%
KK dengan
ART di PT
%
Jangkaran 1735 322 9 2,80 258 80,12 64 19,88 8 2,48
Sindutan 2012 489 5 1,02 429 87,73 60 12,27 11 2,25
Palihan 2433 466 5 1,07 265 56,87 201 43,13 10 2,15
Glagah 2680 578 5 0,87 346 59,86 232 40,14 16 2,77
Karang Wuni 2794 704 35 4,97 598 84,94 106 15,06 45 6,39
Garongan 3388 772 3 0,39 676 87,56 96 12,44 32 4,15
Pleret 4925 898 5 0,56 741 82,52 157 17,48 73 8,13
Bugel 4442 917 4 0,44 876 95,53 41 4,47 67 7,31
Karang Sewu 7506 1586 25 1,58 1110 69,99 476 30,01 237 14,94
Banaran 5330 1131 7 0,62 791 69,94 340 30,06 42 3,71
Jumlah 37245 7863 103 1,31 6090 77,45 1773 22,55 541 1,31
Analisis Karakteristik Permukiman Desa-Desa ... (Djaka Marwasta dan Kuswaji Dwi P.) 65
Karakteristik permukiman penduduk
yang bercirikan bentuk memanjang dengan
pola mengelompok (clustered), berkepadatan
tinggi, dan proporsi bangunan permanen
seimbang dengan bangunan non permanen,
berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan
maupun kondisi sosial ekonomi
penduduk. Terbentuknya pola persebaran
permukiman tertentu dipengaruhi oleh
faktor internal penghuni yang berkait erat
dengan kondisi sosial ekonomi penduduk,
serta faktor eksternal yang didominasi oleh
faktor fisik lingkungan (Yunus, 1989)
(Gustafson, 1998). Pada setiap lokasi geografis
tertentu memiliki kondisi fisik lingkungan
dan kondisi sosial ekonomi masyarakat
yang berbeda-beda, sehingga determinan
terbentuknya pola persebaran permukiman
pada masing-masing tempat juga
berbeda-beda (Fajita, 1982).
Hubungan antara karakteristik sosial
ekonomi penduduk dengan karakteristik
permukiman dianalisis dengan tabel silang
menggunakan data primer hasil wawancara
dengan 30 responden sebagai sampel. Berdasarkan
hasil analisis terhadap data yang
diperoleh dengan cara wawancara dengan
responden menunjukkan bahwa terdapat
hubungan cukup signifikan antara karakteristik
sosial ekonomi penduduk dengan
karakteristik permukimannya. Permukiman
Tipe A adalah permukiman berpola mengelompok,
kepadatan tinggi, dan kualitas
bangunan kurang baik, tipe B adalah permukiman
berpola mengelompok dan atau
random, kepadatan sedang, kualitas bangunan
sedang, tipe C berpola random dan
atau uniform, kepadatan rendah hingga
sedang, dan kualitas bangunannya sedang
hingga baik.
Permukiman tipe A didominasi oleh
sektor pekerjaan pertanian, Tipe B oleh
sektor perdagangan dan jasa, dan tipe C
oleh PNS (lihat Tabel 3). Dapat disimpulkan
bahwa sektor pekerjaan berhubungan
cukup signifikan dengan karakteristik
permukiman, dimana kepala keluarga
yang bekerja dalam sektor pertanian
umumnya kurang baik tipe permukimannya.
Tingkat ekonomi keluarga juga
memiliki hubungan cukup signifikan
dengan tipe permukiman, dimana semakin
tinggi tingkat ekonominya semakin baik tipe
permukimannya (lihat Tabel 4). Secara
umum tipe permukiman di daerah penelitian
adalah tipe menengah, dan ini sejalan
dengan tingkat ekonomi yang juga didominasi
kategori sedang.
Tingkat pendidikan anggota rumah
tangga juga berhubungan signifikan dengan
tipe permukiman. Semakin rendah tingkat
Tabel 3. Tipe Permukiman menurut Sektor Pekerjaan
Sumber: Hasil Olahan Data Primer 2005
Tipe Permukiman
Sektor Pekerjaan
A % B % C %
Jumlah
Pertanian 9 (82) 6 (50) 1 (14) 16
Perdagangan&Jasa 1 (9) 3 (25) 4 (57) 8
PNS 1 (9) 3 (25) 2 (29) 6
Jumlah 11 (100) 12 (100) 7 (100) 30
66 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 57 - 68
pendidikan anggota rumah tangga semakin
kurang baik tipe permukimannya (lihat
Tabel 5). Perlu dijelaskan bahwa variabel
lokasi dan provisi permukiman tidak digunakan
untuk menentukan tipe permukiman
karena kedua variabel ini homogen
di semua desa yang diteliti. Demikian juga
dengan variabel struktur keluarga dan pola
pemilikan rumah dan lahan juga tidak disertakan
dalam menentukan kondisi sosial
ekonomi karena keduanya juga homogen.
Secara spasial tipe permukiman pada
desa-desa pesisir Pantai Selatan Jawa di
Kabupaten Kulonprogo terdistribusi atas
tipe permukiman A tersebar di bagian
tengah, tipe permukiman B menempati
desa-desa di bagian barat, dan tipe permukiman
C berada di bagian timur dari daerah
penelitian (lihat gambar 2). Aksesibilitas
memegang peranan di dalam pola persebaran
tipe permukiman tersebut, dimana
daerah timur yang lebih dekat dengan Kota
Yogyakarta tipe permukimannya paling
baik. Secara administratif Kabupaten
Kulonprogo termasuk ke dalam propinsi DI
Yogyakarta, sehingga keterikatan terhadap
Kota Yogyakarta sebagai ibukota propinsi
memberikan pengaruh terhadap karakteristik
sosial ekonomi yang berdampak terhadap
pola permukiman yang lebih baik dibandingkan
bagian tengah dan barat.
Bagian tengah merupakan daerah
yang paling kurang aksesibel secara
kewilayahan, sedangkan bagian barat justru
cenderung lebih aksesibel karena relasi
ekonomi terhadap Kabupaten Purworejo
relatif lebih baik dibandingkan bagian
tengah. Konsekuensi dari fenomena tersebut
menjadikan bagian barat tipe permukimannya
cenderung lebih baik daripada
bagian tengah, walaupun tidak sebaik bagian
timur. Dalam hal ini ditemui kenyataan
bahwa secara kualitatif aksesibilitas fisik
berpengaruh cukup nyata terhadap karakteristik
permukiman yang terbentuk di
suatu tempat tertentu (Spellerberg, 1998).
Dalam hubungannya dengan faktor
fisik lingkungan, secara visual terlihat nyata
bahwa bentuk lahan sangat menentukan pola
persebaran dan bentuk permukiman. Permukiman
hanya dijumpai pada satuan bentuklahan
beting gisik dan dataran fluviomarin,
dengan karakteristik pada beting gisik berpola
mengelompok dengan bentuk memanjang
(linear) sejajar dengan garis pantai, dan pada
dataran fluviomarin berpola random dan atau
uniform dengan bentuk bintang dan atau
memanjang sejajar dengan jalan. Morfologi
pantai yang homogen di daerah penelitian
menyebabkan hubungan antara variabel ini
dengan pola permukimannya tidak tampak
nyata. Hubungan morfologi pantai dengan
Tabel 4. Tipe Permukiman menurut Tingkat Ekonomi
Sumber: Hasil Olahan Data Primer 2005
Tipe Permukiman
Tingkat Ekonomi
A % B % C %
Jumlah
Rendah 3 (27) 1 (8) 1 (14) 5
Sedang 6 (55) 10 (84) 4 (57) 20
Tinggi 2 (18) 1 (8) 2 (29) 5
Jumlah 11 (100) 12 (100) 7 (100) 30
Analisis Karakteristik Permukiman Desa-Desa ... (Djaka Marwasta dan Kuswaji Dwi P.) 67
karak-teristik permukiman akan dapat
dianalisis dengan jelas apabila terdapat variasi
tipe morfologi pantai untuk berbagai karakteristik
permukiman.
Salah satu faktor yang sangat perlu
diperhatikan bagi permukiman-permukiman
pada daerah pesisir adalah kerawanan
terhadap bencana alam, terutama
yang disebabkan oleh aktivitas laut, misalnya
rob dan tsunami. Usaha mitigasi ataupun
meminimalisasi resiko apabila terjadi
bencana sangat diperlukan untuk menghindari
banyaknya korban bencana, salah satu
caranya adalah dengan melakukan pemintakatan
tingkat bahaya bencana untuk daerah-
daerah di sepanjang pantai dan pesisir.
Dalam penelitian ini analisis deskriptif
kualitatif digunakan untuk menakar tingkat
bahaya masing-masing desa di daerah penelitian.
Dari faktor fisik jelas bahwa semua
desa memiliki tingkat bahaya yang hampir
sama, karena umumnya penduduk menghuni
di satuan bentuklahan beting gisik yang
memiliki ketinggian relatif rendah terhadap
muka air laut. Keberadaan gumuk pasir juga
kurang membantu karena volume-nya yang
relatif kecil. Dengan bentuk permukiman
yang memanjang sepanjang pantai, resiko
terkena gelombang pasang semua desa
tersebut relatif tinggi.
Namun demikian, ada dua hal yang
cukup memberikan pengaruh positif
terhadap rendahnya kerentanan terhadap
bencana, yaitu kepadatan penduduk dan
aksesibilitas untuk mencapai daerah atas.
Penentuan tingkat resiko ini hanya didasarkan
pada jumlah penduduk, kepadatan
rumah mukim, dan kepadatan jalan. Secara
umum tingkat resiko bencana tsunami di
desa-desa pesisir tersebut terdistribusi secara
acak, tidak menunjukkan pola atau konsistensi
ruang tertentu. Namun demi-kian
secara umum tingkatnya adalah sedang.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Karakteristik permukiman desa-desa
pesisir sepanjang Pantai Selatan Jawa
di Kabupaten Kulonprogo menunjukkan
pola mengelompok (clustered) berbentuk
linear sejajar garis pantai, kepadatan
rumah sedang, terletak pada
satuan bentuklahan beting gisik, tipe
morfologi pantai berpasir, lereng landai,
aksesibilitas fisik baik, ditandai kepadatan
jalan tinggi, serta kondisi sosial
ekonomi penduduk kategori menengah,
dicirikan oleh pekerjaan sektor pertanian,
tingkat ekonomi sedang, tingkat
pendidikan sedang.
Tabel 5. Tipe Permukiman menurut Tingkat Pendidikan
Sumber: Hasil Olahan Data Primer 2005
Tipe Permukiman
Tingkat Pendidikan
A % B % C %
Jumlah
Rendah 6 (55) 3 (25) 1 (14) 10
Sedang 3 (27) 6 (50) 2 (29) 11
Tinggi 2 (18) 3 (25) 4 (57) 9
Jumlah 11 (100) 12 (100) 7 (100) 30
68 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 57 - 68
2. karakteristik permukiman berhubungan
secara signifikan dengan kondisi sosial
ekonomi penduduk dan kondisi fisik
lingkungan permukiman, dimana
semakin tinggi kondisi sosial ekonomi
semakin baik tipe permukimannya.
3. secara umum tingkat bahaya terhadap
bencana gelombang pasang di daerah
penelitian berada pada tingkat sedang.
Saran
Perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat
pesisir selatan di Kabupaten Kulonprogo
mengenai mitigasi bencana gelombang
pasang maupun tsunami secara intensif, mengingat
masyarakat setempat kurang memiliki
sense of hazard terhadap potensi bencana tersebut.
Demikian pula kebijakan tata ruang
daerah pesisir perlu dirumuskan secara sungguh-
sungguh untuk mengurangi resiko bencana
yang mungkin terjadi pada kawasan itu.
DAFTAR PUSTAKA
Bockstael, N. E. 1996. “Modeling Economics and Ecology: The Importance of a Spatial
Perspective.” American Journal of Agricultural Eronomics 78 (December): 168-80.
Fajita, M. 1982. “Spatial Patterns of Residential Development, Journal of Urban Economics
12 :22-52.
Gustafson, E. J. 1998. Quantifying Landscape Spatial Pattern: What is the state of the art?
Ecosystems 1:143-156.
Hardie, I.W., and P.J. Parks. 1997. “Land Use with Heterogeneous Land Quality: An
Application of an Area Base Mode.” American Joumal of Agricultural Economics 79
(May): 299-3 10.
Katayama, Ritsu et al., 2000, A Research On The Urban Disaster Prevention Plan Concerning
Earthquake Risk Forecast By Remoto Sensing in The Tokyo Bay Area, ISPRS, Vol,
Part B7, P6 62-669, Amsterdam.
Knox, Paul, and Marston, Sallie, 2004, Human Geography: Places and Regions in Global Context.
Third Edition, Upper Saddle River, N.J.: Prentice Hall.
Landsat. http://www.landsat.org (accessed 11 Febr. 2005)
Neer, J. T., 1999. High Resolution Imaging from Space - A Commercial Perspective on a
Changing Landscape, International Archives of Photogrammetry and Remote Sensing, XXXII
(7C2): pp. 132-143.
Spellerberg, I.F., 1998. Ecological Effects of Roads and Traffic: a Literature Review. Global
Ecology and Biogeography 7: 317-333.
USGS. http://www.usgs.gov/pubprod/satellitedata.html (accessed 14 Febr. 2005)
Yunus, H. S. 1989. Subject Matter dan Metode Penelitian Geografi Permukiman Kota. Fakultas

GEOGRAFI


Kata Kunci GEOGRAFI menunjukkan obyek material Ilmu Geografi. GEOGRAFI merangkum semua fenomena dalam geosfer (kebumian) yang secara komprehensif dikenali setiap lulusan PS GEO UMS yang terdiri dari fenomena Geografi Fisik, Biosfer, dan Geografi Non Fisik. Geografi Fisik meliputi keragaman litosfer (batuan), hidrosfer (air), atmosfer (udara dan angkasa). Biosfer meliputi keragaman zoosfer (binatang) dan fitosfer (tanaman). Adapun Geografi Non Fisik meliputi semua dinamika dan keragaman berkaitan antroposfer (manusia). Kata Kunci KERUANGAN menunjukkan obyek formal Ilmu Geografi. KERUANGAN merupakan pendekatan utama yang digunakan dalam melakukan analisis yang harus dikuasai oleh setiap lulusan PS GEO UMS. Pendekatan keruangan merupakan pendekatan awal (atau utama) yang harus dikuasai lebih dulu untuk dapat menggunakan dua pendekatan geografi lainnya, yaitu ekologi dan kompleks wilayah. Dalam analisis diperlukan pemahaman dan penguasaan ketrampilan berkaitan pemilihan dan perolehan sumber data, pengukuran obyek atau data, pengolahan data, analisis, dan penyajian hasil analisa. Kata Kunci SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS merupakan alat dan media yang harus dikuasai oleh setiap lulusan PS GEO UMS untuk mengaplikasikan ilmu geografi baik melalui pembuatan peta (dijital mapping) maupun pengelolaan data yang bersifat seri keruangan (temporal spatia