Kamis, 21 Januari 2010

PERUBAHAN PERMUKIMAN PERDESAAN PESISIR KABUPATEN GUNUNG KIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 1996-2003

PERUBAHAN PERMUKIMAN PERDESAAN PESISIR KABUPATEN
GUNUNG KIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 1996-2003
Change of Coastal Rural Settlement Gunungkidul Regency
Yogyakarta Special Region in 1996-2003
oleh:
Su Ritohardoyo
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada,

PENDAHULUAN
Hakekat perkembangan permukiman
desa di setiap wilayah adalah perubahan,
yang dapat terjadi secara terencana maupun
secara tidak terencana. Hal ini berakibat
pada perkembangan kuantitas dan kualitas
permukiman bervariasi secara keruangan.
Beberapa masalah perdesaan yang berkaitan
dengan ruang wilayah antara lain belum
serasinya perkembangan dan keterkaitan
aktifitas pertanian dengan sektor lain dalam
pengembangan wilayah sebagai satu
kesatuan, masih banyaknya kerusakan
lingkungan akibat konversi lahan, dan
masih kurang layaknya kondisi lingkungan
perumahan dan permukiman berserta
sarana dan prasarana permukiman penduduknya
(Pascione, 1984; Riyadi, 2000).
Oleh karena itu, dalam usaha pengembangan
permukiman desa perlu kajian
variasi keruangan perubahan permukiman
dan faktor-faktor pendukungnya.
Perubahan Permukiman Perdesaan Pesisir Kabupaten Gunung Kidul ... (Su Ritohardoyo) 79
Hal tersebut sejalan dengan kebijakan
pengembangan permukiman di Indonesia
yang menekankan dua prioritas (Dirjen
Perumahan dan Permukiman, 2002).
Pertama prioritas jenis kegiatan antara lain
pembangunan dan pemeliharaan prasarana
dan sarana pendukung permukiman, dan
prioritas kedua adalah lokasi antara lain
pembangunan di pulau-pulau kecil, dan
pengembangan kualitas permukiman di
wilayah perdesaan pesisir. Kebijakan pengembangan
permukiman tersebut mendasari
pentingnya penelitian tentang perkembangan
permukiman, khususnya perkembangan
permukiman perdesaan kepesisiran.
Hal ini mengingat peran wilayah
kepesisiran bagi kesejahteraan penduduk
menurut sebagai ruang tempat kehidupan
penduduk, baik kehidupan sosial-budaya
maupun kehidupan sosial-ekonomi.
Manning and Sweet (1993) berpendapat
bahwa di balik peran wilayah pesisir
sebagai ruang tempat kehidupan sosial ekonomi
dan sosial budaya penduduk, dalam
pengembangan potensi wilayah kepesisiran
sering terjadi tumpang tindih. Kehidupan sosial
budaya penduduk pesisir dengan berbagai
kegiatannya, di satu sisi memanfaatkan lahan
permukiman dan sarana-prasarana fisik kegiatannya,
di sisi lain memanfaatkan lahan
untuk penghasil bahan pangan, tidak jarang
menjadi masalah dalam pengelolaan wilayah
kepesisiran. Dua kebutuhan sumberdaya lahan
bagi penduduk ini selalu berbenturan, ketika
salah satu pemenuhan kebutuhan lahan
lebih dominan dari pada kebutuhan lahan
lainnya (Mather, 1986). Kebutuhan lahan
berkaitan erat dengan lingkungan wilayah
setempat, baik bersifat saling bergantung,
maupun bersifat saling berpengaruh.
Keterkaitan antara kebutuhan dan
pemanfaatan lahan dengan aspek wilayah
pesisir (Ritohardoyo, 1991) tampak dalam
aplikasinya untuk konservasi lahan, dan
dasar pengembangan wilayah. Pemenuhan
kebutuhan lahan yang tidak mengindahkan
norma pelestarian, dapat berakibat pada
terjadinya kerusakan ekosistem pesisir,
yang sangat merugikan kehidupan
penduduk. Oleh karenanya, pengembangan
perdesaan pesisir merupakan usaha yang
bersifat strategis yang sangat diperlukan.
Pengembangan perdesaan pesisir sebagai
permukiman penduduk berkaitan erat
dengan pemecahan masalah-masalah
perdesaan saat kini dan masa mendatang,
memerlukan dasar informasi dan data
perkembangan setiap desa.
Uraian di atas mendasari perlunya penelitian
perubahan permukiman perdesaan di
wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul
Daerah Istimewa Yogyakarta, yang memiliki
karakteristik wilayah pesisir antara lain (Tim
Fak.Geografi UGM, 2003): (1) secara fisik
seluruh daerahnya bertopografi karst; (2)
dalam dua dasa warsa terakhir pemanfaatan
sebagian ekosistem wilayah pesisir dikembangkan
sebagai obyek-obyek wisata dan
tempat usaha perikanan laut. Hal itu telah
berdampak pada aktifitas sebagian penduduk,
salah satunya pergeseran matapencaharian
dari petani ke nelayan (Ritohardoyo, 2002).
Pengembangan itu berperan besar terhadap
perubahan-perubahan permukiman maupun
pertanian yang sudah sejak lama berada di
kawasan ini. Oleh karena itu, penelitian dilaksanakan
dengan tekanan tujuan mengungkap
(1) perubahan permukiman desa di wilayah
pesisir dari tahun 1996 hingga 2003, baik luas
lahan permukiman, jumlah bangunan rumah,
maupun fasilitas permukiman; (2) pola
persebaran perubahan permukiman di
wilayah pesisir; dan (3) besarnya pengaruh
perubahan setiap komponen wilayah terhadap
perubahan permukiman desa pesisir.
80 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 78 - 92
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriptif
analitis menggunakan metode analisis data
sekunder. Untuk memperoleh fenomena
persebaran, digunakan pendekatan analisis
keruangan. Satuan administratif desa
pesisir adalah desa yang berbatasan langsung
dengan Samudera Hindia digunakan
sebagai unit analisis, sebanyak 20 desa yang
merupakan bagian-bagian dari 6 daerah
kecamatan. Variabel dan data penelitian
secara umum terdiri dari tujuh bagian, yaitu
aspek geografi, demografi, penggunaan
lahan, fisik lahan, pertanian, ekonomi, dan
kebijakan pembangunan. Sebagian besar
data sekunder diperoleh dari Potensi Desa
(PODES) tahun 1996 dan 2003 dan dari
instansi setempat. Di samping itu juga
dilakukan pengumpulan primer dari
observasi lapangan.
Analisa data menggunakan cara
penilaian berbagai komponen pembentuk
permukiman desa pesisir, berdasar prinsip
teknik analisis kuantitatif dan kuantifikasi
data kualitatif. Teknik kuantifikasi data
kualitatif menekankan pada penilaian data
untuk memperoleh nilai indeks komposit.
Potensi desa tahun 1996 dan tahun 2003,
dianalisis besarnya nilai indeks komposit
beberapa potensi sumberdaya fisik, sumberdaya
biotik, dan potensi sumberdaya budaya
penduduk. Analisis tingkat perkembangan
setiap potensi sumberdaya setiap
desa pesisir; dengan cara menghitung selisih
nilai-nilai indeks komposit. Hasil pengurangan
data periode tahun 2003 dengan
data tahun 1996 dapat memberikan kemungkinan
nilai negatip dan positip, yang
bermakna perkembangan menurun atau
meningkat.
Setiap perkembangan baik peningkatan
ataupun penurunan nilai perkembangan
dianalisis secara spasial, sehingga
dapat ditunjukkan pola persebaran setiap
gejala pola perkembangan baik bersifat
negatip dan positip. Pengaruh tingkat perkembangan
faktor-faktor wilayah terhadap
tingkat perkembangan permukiman desa
pesisir, dianalisis berdasar uji statistik regresi
ganda dari variabel yang telah dinilai secara
kuantitatif berwujud indeks komposit.
Analisis hasil komprehensif keterkaitan
antara variabel penelitian dengan konteks
regional, termasuk kebijakan pembangunan
dan prediksi perkembangannya, menggunakan
analisis deskriptif kualitaif.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Kondisi Wilayah Permukiman Desa
Pesisir
Wilayah pesisir Kabupaten Gunung
Kidul secara keruangan terletak di
Pegunungan Sewu, secara administratif
terdiri atas 20 desa yang merupakan bagianbagian
daerah dari enam kecamatan. Luas
daerah secara keseluruhan sebesar 33.306,7
hektar atau 333,07 km2, yang terbagi
menjadi 493 Rukun Warga (RW) atau 1.049
Rukun Tetangga (RT). Bentuk wilayah
memanjang pantai dari Desa Girijati hingga
Desa Songbanyu (Tabel 1; Lampiran
Gambar 1.). Sebagian besar daerah ini
memiliki elevasi antara 0 – 500 meter dari
permukaan laut (mdpal), namun keberadaan
pedusunan pada ketinggian antara
200 – 500 mdpal (BPS. Kab. Gunungkidul,
2004). Kemiringan lereng daerah sebagian
besar curam (> 20 %) dan sebagian lagi
landai (< 20 %). Hal ini berkaitan erat
dengan kondisi geomorfologis wilayah yang
merupakan pantai dengan topografi Karst.
Sebagian besar perdesaan pesisir ini
termasuk daerah Inti Karst, dengan pantai
Perubahan Permukiman Perdesaan Pesisir Kabupaten Gunung Kidul ... (Su Ritohardoyo) 81
Tabel.1. Beberapa Parameter Pendukung Wilayah Permukiman Desa Pesisir Kabupaten Gunung Kidul
No Kecamatan Desa Luas Curah Hujan* Akses**
(Ha)
Juml
RW
Juml
RT
Tinggi
(mdpal)
Genetik
pantai Rata2 Tipe Q Skor Klas
Sumur
(m)
1. Purwosari 1. Girijati 765,2 9 27 200 Inti Karst 2224 Q=0,5/C 6 S 10
2. Giricahyo 1.561,5 17 37 200 Inti Karst 2224 Q=0,5/C 6 S 0
3. Giriapurwo 2.557,5 47 100 200 Inti Karst 2224 Q=0,5/C 7 S 20
2. Panggang 4. Giriwungu 1.123,0 14 30 300 Inti Karst 2224 Q=0,5/C 8 T 12
5. Girimulyo 1.629,7 19 49 250 Inti Karst 2224 Q=0,5/C 7 S 12
6. Girikarto 1.393,7 17 35 200 Inti Karst 2224 Q=0,5/C 6 S 17
3. Saptosari 7. Krambilsawit 1.479,0 19 39 500 Inti Karst 1910 Q=0,4/C 4 R 0
8. Kanigoro 2.488,0 21 44 310 Inti Karst 1910 Q=0,4/C 7 S 0
9. Planjan 1.248,0 27 65 507 Inti Karst 1910 Q=0,4/C 7 S 0
4. Tanjungsari 10. Kemadang 1.928,5 29 58 250 Inti Karst 2176 Q=0,5/C 8 T 10
11. Banjarejo 1.664,9 40 80 350 Inti Karst 2176 Q=0,5/C 8 T 11
12. Ngestirejo 1.344,9 26 59 300 Inti Karst 2176 Q=0,5/C 8 T 9
5. Tepus 13. Sidoharjo 1.604,3 22 52 300 Inti Karst 2985 Q=0,8/A 9 T 7
14. Tepus 2.855,4 48 85 155 Volc Karst 2985 Q=0,8A 6 S 15
15. Purwodadi 2.169,5 32 74 360 Volc Karst 2985 Q=0,8/A 4 R 15
6. Girisubo 16. Balong 1.093,6 22 45 300 Volc Karst 1910 Q=0,4/C 5 R 0
17. Jepitu 1.673,4 19 38 300 Volc Karst 1910 Q=0,4/C 7 S 0
18. Tileng 1.699,8 25 50 300 Sesar Karst 1910 Q=0,4/C 7 S 0
19. Pucung 1.442,6 14 30 350 Sesar Karst 1910 Q=0,4/C 6 S 0
20. Songbanyu 1.584,2 26 52 200 Sesar Karst 1910 Q=0,4/C 6 S 0
Jumlah 20 33.306,7 493 1049 292 2205 138
* Curah hujan rata-rata selama 10 tahun dalam mm/tahun; Tipe curah hujan dihitung dari nilai Q berdasar pada Schmidt & Ferguson (1951).
** Skor aksesebilitas: nilai indeks komposit dari ranking proporsi jumlah RT memiliki mobil dan motor per jumlah RT total/desa; jarak
desa ke kantor kecamatan, dan jarak desa ke kantor kabupaten. Klas aksesebilitas: T = Tinggi; S = Sedang; R = rendah
Sumber: BPS, 2003; Tim Fak. Geografi UGM, 2003; Analisis Data Sekunder, 2005.
82 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 78 - 92
yang secara tipologis terdiri dari tipe pantai
struktural dan tipe pantai erosi gelombang
(King, 1972 dalam Raharjo, 2003). Pantai
tipe struktural berkembang akibat pengaruh
erosi daratan diikuti oleh proses inundasi,
yang mencakup 13 desa di sebagian Daerah
Kecamatan Purwosari, Panggang, Saptosari,
Tanjungsari, dan Tepus; (Tabel 1.).
Sebagian lagi (7 desa) termasuk daerah Non
Karst, terutama di Kecamatan Girisubo;
dimana sebagian material batuannya adalah
Volcanic-Karst, dan Sesar-Karst.
Ditinjau dari aspek klimatologis
wilayah ini menghadapi kendala, dimana
curah hujan tahunan rata-rata di setiap desa
bervariasi, antara 1910 mm/tahun (rendah)
di perdesaan Kecamatan Girisubo dan
Saptosari, hingga 2985 mm/tahun (tinggi)
di perdesaan Kecamatan Tepus. Tipe curah
hujan (Q) berdasarkan pada Schmidt-
Ferguson (1951) daerah ini didominasi tipe
C, kecuali di Kecamatan Tepus termasuk
tipe A (Tabel 1.). Meskipun curah hujan
tahunan rata-rata relatif tinggi (2205 mm/
tahun), namun tidak tersebar merata
sepanjang tahun, sehingga sebagian besar
desa sering mengalami bencana kekeringan.
Keberadaan air telaga (danau karst)
bersifat terbatas pada musim kemarau
kering; dan kualitas air kurang memenuhi
baku mutu air bersih. Meskipun terdukung
oleh curah hujan, air hujan yang jatuh meresap
melalui rongga-rongga dan membentuk
sungai bawah tanah (McDonald & Partners
(1984). Hal ini menyebabkan air
permukaan di perdesaan pesisir sulit
ditemukan, sehingga telaga yang berair
musiman dimanfaatkan penduduk secara
multi purpose. Potensi airtanah cukup besar,
tetapi keberadaannya sangat dalam. Di
antara 20 desa pesisir di daerah penelitian
hampir separuh tidak memiliki sumur
(Tabel 1.). Di beberapa desa yang memiliki
sumur kedalamannya lebih dari 15 meter.
Artinya, untuk memperoleh air di daerah
ini menghadapi kendala fisik dan kendala
ekonomi untuk biaya teknologi.
Meskipun seluruh desa pesisir berada
pada topografi Karst yang ekstrim dengan
berbagai kendala fisik yang dihadapi,
namun hubungan baik antar desa, kecamatan,
kabupaten, bahkan antar propinsi
cukup lancar. Di antara 20 desa pesisir ini
sebagian besar (12 desa) memiliki tingkat
aksesebilitas sedang, 5 desa pada tingkat
tinggi, dan hanya 3 desa dengan aksesebilitas
rendah (Tabel 1.). Hal ini menurut
Mut’ali (2003) ketersediaan jaringan jalan
penghubung wilayah perdesaan pesisir karst
dengan daerah lain berakibat pada hubungan
tingkat lokal dan tingkat regional makin
lancar. Tingkat aksesebilitas ini mendukung
dinamika penduduk dan permukimannya.
2. Perubahan Permukiman Perdesaan
Pesisir
2.1 Perubahan Luas Lahan Permukiman
Kondisi lahan Pegunungan Karst
Kabupaten Gunungkidul sudah sejak lama
mengalami perubahan. Hal ini dapat ditunjukkan
dari aspek bentuk penggunaan
lahan, seperti yang dilaporkan Junghun
(1857) dan Nibbering (1990) mengungkap
bahwa sejak adanya okupasi penduduk di
daerah ini baik bermukim maupun bercocoktanam
pertanian, Gunung Sewu yang
dahulunya merupakan mixed evergreen rain
forest, telah mengalami banyak perubahan
biofisik. Perubahan terjadi pada luas lahan
hutan dan keragaman serta jenis tumbuhan
hutan baik di bagian pedalaman maupun
di pesisir. Artinya, sejak keberadaan permukiman
penduduk menempati sebagian
Perubahan Permukiman Perdesaan Pesisir Kabupaten Gunung Kidul ... (Su Ritohardoyo) 83
lahan kawasan karst, perubahan di daerah
pesisir mulai terjadi perubahan penggunaan
lahan baik untuk permukiman dan
pertanian.
Lahan perdesaan pesisir dewasa ini
terdiri terdiri dari (1) dataran aluvial, karst,
dan lembah karst, hanya sesuai untuk
tanaman musiman; dan (2) perbukitan
karst, kompleks doline dan kubah karst, tidak
sesuai untuk usaha produksi pertanian
(Tim Fak. Geografi UGM, 2003). Kenyataanmya,
perbukitan dan kubah karst telah
dimanfaatkan penduduk untuk pertanian
sehingga menjadi ‘gundhul’. Perubahan setiap
penggunaan lahan antar desa bervariasi,
baik ukuran luas, sifat perubahannya,
serta akibat pada luasnya lahan kritis (Tabel
2.). Perubahan luas pekarangan dan bangunan
ada yang meningkat, namun juga
terdapat desa dengan luas pekarangan dan
bangunan relatif tetap, bahkan ada yang
mengalami pengurangan. Perluasan pekarangan
dan bangunan terbesar terjadi di
Desa Girijati (3,35%), akibat pengaruh
perkembangan obyek wisata Parangtritis,
dimana lahan-lahan perbukitan yang
berbatasan langsung dengan obyek wisata
tersebut, banyak dimanfaatkan untuk
penginapan dan permukiman.
Perluasan pekarangan di Desa Sidoharjo
sebagai akibat fungsi desa tersebut
sebagai pusat ibukota Kecamatan Tepus.
Selain itu, jumlah penduduk datang lebih
banyak dari pada yang pergi di beberapa
desa setelah tahun 1999 sebagai dampak
krisis ekonomi. Sebagian migran yang kembali
ke desa-desa tersebut ketika krisis
ekonomi terjadi membangun rumah.
Berkurangnya luas perkarangan selama
lima tahun terakhir, terjadi sebagai akibat
ditinggalkan sebagian penduduk pindah ke
kampung lain, dan yang lebih banyak
migrasi ke luar kabupaten dan transmigrasi.
Antara tahun 1996–1998 pengiriman
transmigran dari Desa Pucung, Jepitu, dan
Balong sekitar 145 rumahtangga; sedangkan
di Giriwungu dan Ngestiharjo sekitar
79 rumahtangga. Lahan pekarangan dan
bangunan mereka jual, oleh pembelinya
dimanfaatkan sebagai lahan pertanian tegal
atau kebun campuran.
Akibat perubahan penggunaan lahan
di setiap desa tersebut terjadi perubahan
luas lahan kritis. Peningkatan luas lahan
kritis di antara 20 desa pesisir hanya terjadi
di Desa Giricahyo dan Giriwungu sebesar
1,6% dan 5,06% dari seluruh luas desa.
Lahan kritis di sebagian besar desa semakin
sempit, seperti di desa-desa Krambilsawit
dan Pucung mengalami pengurangan lahan
kritis hampir 40 persen dari luas setiap desa.
Semakin luas pengurangan lahan kritis di
sebagian besar desa peisisir, merupakan
salah satu indikator bahwa kondisi
permukiman desa-desa tersebut berubah
semakin baik.
2.2. Perubahan Kondisi Perumahan
Tingkat perkembangan rata-rata
persentase jumlah bangunan rumah
permanen sebesar 42,97 persen selama 6
tahun atau 7,16 persen per tahun. Peningkatan
kualitas bangunan rumah secara
keruangan antar desa bervariasi, peningkatan
yang melebihi 50 persen selama 6
tahun terjadi di sembilan desa, lima desa
berada di perdesaan pesisir selatan bagian
barat; sedangkan empat desa pesisir lainnya
berada di bagian timur daerah penelitian
(Tabel 2. dan Lampiran Gambar .2.). Lokasi
perkembangan bangunan rumah perdesaan
pesisir tersebut, tampaknya berkaitan
dengan perkembangan daerah secara
umum, baik pengembangan pemekaran
daerah administratif, obyek-obyek wisata
84 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 78 - 92
Tabel 2. Perubahan Beberapa Komponen dan Hirarki Permukiman Perdesaan Pesisir di Kabupaten Gunungkidul Tahun 1996 – 2003
Desa
Perub Luas
Pekarang
Perub Lahan
Kritis
Rank
PLP
Perub Jum
Rumah
Rank
PJR
Perub
RTlistrik
Rank
PRT
Perub Fas
Eko
Rank
PFE
Perub
Fas Sos
Rank
PSF
Total
Rank
Perkemb
Hirarki
1. Girijati 3,35 -1,31 20 7,57 2 22,34 17 1,9 13 2,03 14 66 3 3
2. Giricahyo 0,42 1,60 18 55,34 14 29,49 19 2,09 17 1,37 10 78 3 4
3. Giripurwo 0,22 -8,93 13 52,53 12 16,78 14 1,7 12 1,59 13 64 3 4
4. Giriwungu -0,28 5,06 3 70,31 18 -10,47 1 2,43 18 1,17 7 47 2 4
5. Girimulyo 0,33 -6,15 16 63,59 16 -6,43 3 1,01 5 1,4 11 51 2 4
6. Girikarto 0,11 -2,83 11 58,47 15 2,15 7 0,29 2 0,68 2 37 1 4
7. Krambilsawit 0,29 -43,77 15 2,25 1 19,4 15 1,1 9 1,53 12 52 2 4
8. Kanigoro 0,24 -8,51 14 13,8 5 1,26 6 1,05 7 3,37 18 50 2 4
9. Planjan 0,34 -15,41 17 12,26 3 27,27 16 1,2 10 0,96 5 51 2 4
10. Kemadang 0,01 -0,10 8 41,38 9 7,43 9 2,04 15 2,17 15 56 3 3
11. Banjarejo 0,12 -1,44 12 12,78 4 -8,08 2 2,8 19 0,77 3 40 1 4
12. Ngestirejo -0,01 -0,74 5 24,03 6 6,46 8 1,09 8 0,92 4 31 1 4
13. Sidoharjo 0,59 -1,06 19 32,01 7 21,7 16 2,07 16 3,46 19 77 3 3
14. Tepus 0,0 -4,41 6,5 53,58 13 11,52 11 2,02 14 2,31 16 60,5 2 4
15. Purwodadi 0,06 -0,92 10 34,43 8 -0,14 5 1,6 11 4,3 20 54 2 3
16. Balong -0,1 -0,91 4 66,38 17 -3,22 4 3,03 20 1,1 6 51 2 4
17. Jepitu -0,39 -5,99 2 43,05 10 16,69 13 1 4 1,35 9 38 1 4
18. Tileng 0,02 -10,00 9 47,29 11 8,97 10 1,03 6 0,21 1 37 1 4
19. Pucung -0,52 -38,23 1 88,87 20 44,74 20 0,3 3 2,38 17 61 2 4
20. Songbanyu 0,0 -5,33 6,5 79,52 19 13,31 12 0,03 1 1,32 8 46,5 1 4
Keterangan: Perkembangan = 3 : Kategori tinggi; Perkembangan = 2 : Kategori Cukup; Perkembangan = 1 : Kategori Rendah.
Hirarki = 3 : Kategori Tinggi khusus untuk di daerah ini; Hirarki = 4 : Kategori Rendah khusus untuk di daerah ini.
Sumber: Hasil Analisis Data Podes 1996 dan 2003 (BPS, 1996; BPS, 2003).
Perubahan Permukiman Perdesaan Pesisir Kabupaten Gunung Kidul ... (Su Ritohardoyo) 85
pantai, maupun daerah asal migran yang
relatif kritis secara fisik.
Pemekaran daerah administratif yang
tadinya satu kecamatan menjadi dua
(Panggang dan Kecamatan Purwosari; Paliyan
dan Saptosari; Tepus dan Tanjungsari;
Rongkop dan Gerbosari); telah berakibat
pada pertambahan jumlah bangunan perkantoran
dan fasilitas jasa, maupun bangunan
rumah permanen di perdesaan
pesisir. Selain itu, pengembangan beberapa
obyek wisata dan perikanan laut beserta
fasilitasnya di beberapa desa telah diikuti
oleh peningkatan jumlah bangunan rumah
permanen penduduk di setiap desa maupun
kualitas penerangan.
Sebagian besar desa pesisir sebagai
daerah asal migran yang relatif kritis secara
fisik, justru mampu meningkatkan jumlah
dan kualitas bangunan rumah di daerah
asal. Secara umum sebagian besar migran
baik yang kembali ke kampung halaman,
maupun yang masih tinggal di perkotaan
di Pulau Jawa dan di luar Jawa; cenderung
membangun rumah tempat tinggal di kampung
asal mereka, dengan meningkatkan
kualitas fisik bangunan rumah, ataupun
membangun rumah baru dengan kualitas
fisik bangunan rumah permanen.
2.3. Perubahan Fasilitas Permukiman
Desa Pesisir
Jumlah fasilitas fisik pelengkap suatu
permukiman sangat menentukan luas lahan
permukiman. Perubahan jumlah unit fasilitas
permukiman antara dua periode tahun
1996 dan 2003 mencakup perubahan fasilitas
ekonomi dan sosial kebudayaan. Hasil
penelitian ini menunjukkan, bahwa selama
tahun 1996 hingga 2003 peningkatan
ketersediaan fasilitas ekonomi baru 1,4
persen. Secara keruangan peningkatan
ketersediaan fasilitas ekonomi tertinggi
terjadi di Desa Balong (3,03%), sedangkan
yang terendah di Desa Songbanyu (0,03%).
Artinya, bahwa perubahan ketersediaan
fasilitas ekonomi untuk mendukung perkembangan
permukiman relatif kecil.
Beberapa desa pesisir yang menjadi pusat
pemerintahan kecamatan atau dekat
obyek-obyek wisata, memiliki tingkat
ketersediaan fasilitas ekonomi lebih tinggi
dari pada desa lainnya. Namun demikian,
peningkatan ketersediaan fasilitas ekonomi
di desa-desa tersebut relatif rendah. Hal itu
disebabkan sejak tahun 1996 ketersediaan
fasilitas memang lebih tinggi dari pada
beberapa desa pesisir lainnya.
Peningkatan ketersediaan fasilitas
sosial dan kebudayaan secara keruangan,
tertinggi di Desa Purwodadi (4,3%),
sedangkan peningkatan yang terendah
terjadi di Desa Tileng (0,21%). Hal itu
berkaitann dengan pengembangan pusat
kegiatan sosial dan kebudayaan yang juga
berpengaruh terhadap penggunaan tenaga
listrik antar desa selama tahun 1996-2003.
Selama periode tersebut peningkatan pengguna
tenaga listrik meningkat dari 50,79
persen menjadi 61,85 persen rumahtangga
(11,06%). Namun demikian proporsi
rumahtangga pengguna tenaga listrik di
beberapa desa ada yang mengalami penurunan.
Hal ini disebabkan beberapa warga
masyarakat pengguna tenaga listrik illegal
pada tahun 1996 tercatat sebagai pelanggan
listrik, namun setelah penertiban pengguna
tenaga listrik yang tercatat tahun 2003
makin sedikit.
Dalam kaitannya dengan berbagai
fasilitas di setiap desa ini di dalamnya terdapat
fasilitas pendukung aktifitas pariwisata
pantai dan karst. Peningkatan
pemanfaatan kawasan pantai dan karst
86 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 78 - 92
sebagai obyek pariwisata, di samping
perikanan laut mendorong perkembangan
permukiman pesisir. Peningkatan ketersediaan
fasilitas ini merupakan salah satu indikator
peningkatan budaya masyarakat,
yang mampu menunjukkan tingkat kemajuan
kehidupan secara umum di setiap desa
pesisir tersebut.
3. Persebaran Perubahan Permukiman
Wilayah Pesisir
Indikator perkembangan permukiman
antara lain perubahan luas pekarangan,
jumlah bangunan rumah, proporsi
rumahtangga pengguna listrik, ketersediaan
fasilitas ekonomi, dan ketersediaan fasilitas
sosial budaya di setiap desa pesisir. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perkembangan
desa pesisir bervariasi. Perkembangan
permukiman desa pesisir pada
kategori tinggi selama tahun 1996 –2003
lebih banyak terjadi di perdesaan pesisir
bagian barat, akibat pengembangan kawasan
wisata Parangtritis. Di bagian timur
hanya satu desa yang tingkat perkembangannya
tinggi, yang sejak lama telah menjadi
pusat ibukota kecamatan Tepus. Tingkat
perkembangan beberapa desa pesisir
kategori rendah sebagian besar berada di
bagian timur (Lampiran Gambar 2.).
Semakin lengkap ketersediaan
fasilitas di suatu desa pesisir, maka semakin
banyak fungsi pelayanan yang disediakan,
dan menunjukkan tingkat hirarki permukiman
semakin tinggi. Pada Tabel 2. ditunjukkan
juga di antara duapuluh desa pesisir,
empat desa memiliki hirarki tiga, enambelas
desa pada hirarki empat. Desa-desa pesisir
yang memiliki hirarki tiga merupakan
permukiman yang berkembang dan mampu
melayani fasilitas sosial ataupun ekonomi
dengan distribusi fungsi pelayanan lebih
dari 25 persen, pada radius pelayanan
lingkup satu kecamatan. Desa-desa pesisir
lainnya (16 desa) memiliki hirarki empat,
merupakan permukiman yang memiliki
distribusi fungsi pelayanan kurang dari 25
persen, dengan radius pelayanan hanya
pada tingkat desa.
Secara umum desa-desa pesisir yang
memiliki fasilitas sosial ekonomi lebih tinggi
dari pada desa-desa pesisir lainnya menduduki
hirarki lebih tinggi. Meski demikian
di desa hirarki lebih tinggi dari pada desa
pesisir lainnya, belum tentu diikuti perkembangan
secara cepat. Di antara empat desa
pesisir yang memiliki hirarki 3 dari,
terdapat satu desa dengan perkembangan
termasuk kategori cukup. Sebaliknya, di
antara lima desa yang memiliki tingkat
perkembangan tinggi, terdapat dua desa
dengan hirarki rendah (hirarki 4). Di
samping itu, desa-desa dengan hirarki dan
perkembangan permukimannya tinggi,
belum tentu diikuti oleh konsentrasi
penduduk yang padat.
4. Pengaruh Faktor Wilayah terhadap
Perubahan Permukiman Desa
pesisir
Perubahan permukiman desa pesisir
diukur dari gabungan nilai perubahan
komponen pembentuk permukiman, baik
perubahan luas pekarangan, perubahan
jumlah bangunan rumah, dan perubahan
jumlah bangunan rumah berpenerangan
listrik. Hasil penelitian (Tabel 3.). menunjukkan
bahwa tigabelas faktor wilayah
secara bersama-sama berkorelasi positip
kuat dengan perubahan permukiman
perdesaan pesisir di Kabupaten Gungkidul
( R=0,95; nilai F reg. = 2,860; signif. F
=0,05). Maknanya, bahwa semakin tinggi
nilai perubahan empatbelas faktor fisik
wilayah, maka semakin tinggi nilai perubahan
permukiman desa pesisir.
Perubahan Permukiman Perdesaan Pesisir Kabupaten Gunung Kidul ... (Su Ritohardoyo) 87
Besarnya sumbangan pengaruh
ketigabelas faktor wilayah terhadap variasi
faktor perubahan permukiman desa pesisir
cukup besar, yakni 90,3 persen (R2 =
0,903). Kesimpulannya, bahwa terjadinya
variasi perubahan permukiman desa pesisir
di Kabupaten Gunungkidul, sebesar 90,3
persen dipengaruhi oleh variasi faktor (1)
tingkat aksesebilitas, (2) rata-rata tinggi
tempat, (3) rata-rata curah hujan tahunan,
(4) jumlah sumur, (5) proporsi luas lahan
pertanian, (6) perubahan persentase luas
lahan kritis, (7) perubahan fasilitas ekonomi,
(8) perubahan fasilitas sosial, (9) kepadatan
penduduk, (10) kepadatan rumahtangga,
(11) pertumbuhan jumlah penduduk,
(12) pertumbuhan jumlah rumahtangga,
dan (13) perubahan persentase jumlah
rumahtangga petani. Sisanya, sebesar 9,7
persen diduga dipengaruhi faktor wilayah
lainnya, baik kondisi fisik seperti geologi,
jenis tanah dan kebijakan pemerintah di
daerah penelitian.
Di antara ketiga belas faktor wilayah,
yang berpengaruh secara signifikan
terhadap perubahan permukiman desa
pesisir hanya lima faktor (Tabel 4.). Urutan
besarnya pengaruh setiap faktor dari yang
paling besar adalah tinggi tempat tempat
(Beta = -1,536; T = -4,222; Sig. T = 0,013);
jumlah sumur (Beta = 2,794; T = 4,086; Sig.
T = 0,015); proporsi luas lahan pertanian
(Beta = 1,594; T = 3,337; Sig. T = 0,029);
kepadatan rumahtangga (Beta = 2,138; T
= 3,104; Sig. T = 0,036); dan kepadatan
penduduk (Beta = 1,320; T = 2,939; Sig. T
= 0,042). Dengan demikian dapat ditarik
beberapa makna konklusif bahwa:
a. Semakin besar ketinggian tempat maka
perubahan permukiman desa pesisir
semakin rendah, dalam arti perkembangan
permukiman desa pesisir lebih
dominan di daerah-daerah dengan
ketinggian rendah.
b. Semakin besar jumlah keberadaan
sumur di suatu desa pesisir, maka perubahan
permukiman desa pesisir semakin
meningkat, dalam arti perkembangan
permukiman desa pesisir lebih
dominan di daerah-daerah yang yang
mudah memperoleh airtanah.
Tabel 3. Koefisien Korelasi antara Empatbelas Faktor Wilayah dengan Perubahan
Permukiman Desa Pesisir Kabupaten Gunungkidul
R R2 R2 Tersesuaikan
Simpangan
baku
Perubahan
R2
Perubahan
F Db Df2 Perubahan
Signif. F
0,950 0,903 0,587 65,1687 0,903 2,860 16 4 0,05
Anova
Model a Jumlah
Kuadrat Db Rata-rata kuadrat F Signif. F
Regresi 157875,915 16 12144,301 2,860 0,05(a)
Sisa 16987,863 4 4246,966
Jumlah n 174863,778 20
Prediktor: % RT TANI, % PER FASEK, JML SUMUR, KPDT PEND, AKSES , % PER FASOS,
PERTAM RT, TINGGI TEMP, HUJAN, PERTAM PEND, % LHN KRITIS, % LHN PERT,
KPDT RT
Variable terikat: PERKEMBANGAN PERMUKIMAN
Sumber: Diolah dari BPS, 1996; 2003.
88 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 78 - 92
c. Semakin besar proporsi luas lahan
pertanian di suatu desa pesisir, maka
perubahan permukiman desa pesisir
semakin meningkat, dalam arti
perkembangan permukiman desa pesisir
lebih dominan di daerah-daerah yang
lahan pertanianya yang luas.
d. Semakin besar kepadatan rumahtangga
penduduk di suatu desa pesisir, maka
perubahan permukiman desa pesisir
semakin meningkat, dalam arti perkembangan
permukiman desa pesisir lebih
dominan di daerah-daerah dengan
kepadatan rumahtangga yang tinggi.
e. Semakin besar kepadatan penduduk di
suatu desa pesisir, maka perubahan permukiman
desa pesisir semakin meningkat,
dalam arti perkembangan permukiman
desa pesisir lebih dominan di
daerah-daerah yang berpenduduk padat.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Perkembangan permukiman desa
pesisir baik ditinjau dari luas lahan,
jumlah bangunan rumah, maupun
jumlah fasilitas permukiman secara
keruangan bervariasi. Perkembangan
permukiman desa pesisir pada kategori
tinggi, lebih banyak terjadi di perdesaan
pesisir yang berdekatan ataupun berfungsi
sebagai obyek wisata, dan atau
berfungsi sebagai pusat kegiatan pelayanan
pemerintahan. Hal ini berkaitan
dengan kelengkapan fisilitas sosial
ekonomi mapun fasilitas sosial budaya.
Tabel 4. Koefisien Regresi Setiap Faktor Wilayah yang Berpengaruh terhadap
Perubahan Permukiman Desa Pesisir Kabupaten Gunungkidul
Koef. Reg. tdk Terbakukan Koef. Reg.
Model b Terbakukan
B Simpangan Baku Beta
T Sig. T
KONSTANTA -349,442 565,762 -,618 0,570
AKSES 36,011 30,957 0,487 1,163 0,309
TINGGI TEMP -1,672 0,396 -1,536 -4,222 0,013
HUJAN 0,248 0,103 0,942 2,411 0,073
SUMUR 39,662 9,706 2,794 4,086 0,015
%LHN PERT 9,644E-02 0,029 1,594 3,337 0,029
%LHN KRITIS -4,747E-02 0,028 -0,605 -1,672 0,170
%PERFASEK -0388 0,206 -0,374 -1,882 0,133
%PERFASOS -1,009 0,484 -1,011 -2,085 0,105
KPDT PEND 1,666 0,567 1,320 2,939 0,042
KPDT RT 12,779 4,118 2,138 3,104 0,036
PERTAM PEND 0,306 0,171 0,706 1,794 0,147
PERTAM RT 0,119 0,160 0,221 0,747 0,496
%RT TANI 1,367 3,942 0,081 0,347 0,746
Variable terikat: PERUBAHAN PERMUK
Sumber: Diolah dari BPS, 1996; 2003.
Perubahan Permukiman Perdesaan Pesisir Kabupaten Gunung Kidul ... (Su Ritohardoyo) 89
Oleh karena itu dalam pengembangan
permukiman daerah ini, perlu diprioritaskan
pada desa-desa pesisir yang
berlokasi relatif jauh dari obyek wisata
maupun pusat pemerintahan, sehingga
pembangunan lebih merata sesuai
dengan masalah yang dihadapi dan
kebutuhan penduduk setempat.
2. Semakin lengkap ketersediaan fasilitas
di suatu desa pesisir, maka semakin
banyak fungsi pelayanan yang tersedia,
sehingga tingkat hirarki permukiman
semakin tinggi. Secara hirarkis sebagian
besar jumlah desa pesisir masih pada
tingkat hirarki empat, sedangkan sebagian
kecil jumlah desa pesisir pada
hirarki tiga. Artinya pola perkembangan
permukiman desa pesisir belum terjadi
secara maksimal, sehingga untuk pengembangan
lebih lanjut perlu ditingkatkan
jumlah fasilitas fisik untuk
kegiatan ekonomi maupun unutk
kegiatan sosial budaya masyarakat.
3. Perkembangan permukiman desa
pesisir di pegunungan karst sangat
ditentukan oleh komponen fisik wilayah,
terutama ketinggian tempat,
ketersediaan air, dan ketersediaan luas
lahan untuk pertanian. Di samping itu,
perkembangan ditentukan oleh kepadatan
rumah tangga dan kepadatan
penduduk, yang mencerminkan kepadatan
bangunan fisik rumah tempat
tinggal. Dengan demikian disarankan
untuk pengembangan daerah perdesaan
pesisir perlu diprioritaskan pada daerah
yang relatif datar, dengan ketersediaan
air dan lahan usaha untuk pertanian
yang mudah diperoleh. Harapannya
penduduk desa pesisir dapat bermukim
dengan ‘krasan’ sehingga tidak terjadi
depopulasi.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 1996. Potensi Desa Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1996. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
BPS. 2003. Potensi Desa Daerah Istimewa YogyakartaTahun 2003. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
BPS. Kab. Gunungkidul. 2004. Kabupaten Gunungkidul Dalam Angka. Wonosari: BPS.
Kabupaten Gunungkidul.
Dirjen. Perumahan dan Permukiman. 2002. Repeta 2003 Departemen Permukiman Dan
Prasarana Wilayah. Jakarta: Direktorat Jendral Perumahan dan Permukiman.
Junghun, A.M. 1857. Java: It’s Form, Vegetation Cover and Inner Architecture. Germany: Leipig.
Manning, E.W. and Sweet, M.F. 1993. Environmental Evaluation: Apractical Means of Relating
Biophysical Functions to Socioeconomic Values. Canada: Foundation for International
Training. Don Mils, Ontario.
Mather, A.S. 1986. Land Use. Hongkong: Longman Group United Kingdom Limited.
McDonald & Partners. 1984. Greater Yogyakarta Groundwater Resources Study, Vol 1 and Vol 3
c: Main Report. Yogyakarta: Directorate General of Water Resources Development
Project (P2AT).
90 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 78 - 92
Mut’ali, Lutfi. 2003. Studi Penentuan Desa-desa Pusat Pertumbuhan di Propinsi DI
Yogyakarta, dalam Majalah Geografi Indonesia, Vol 17, No 1, Maret 2003. Yogyakarta:
Fak Geografi UGM. Hal: 33-51.
Nibbering. J.W. 1990. Deforestation in the Gunungkidul, Some Historical Evidentce, Text
Presented at the Faculty of Forestry UGM. Yogyakarta: Fak. Kehutanan UGM.
Pascione, Michael. 1984. Rural Geography. London: Harper & Row, Publisher.
Raharjo, Noorhadi. 2003. Sebaran Tipe Pantai dan Karakteristik Lingkungan di Pantai Selatan
Jawa, dalam Majalah Geografi Indonesia, Vol 17, No 2, September 2003. Yogyakarta:
Fak Geografi UGM. Hal: 129-145.
Ritohardoyo, Su. 1991. Pengantar Perencanaan Penggunaan Lahan. Bahan Kuliah Penggunaan
Lahan. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
Ritohardoyo, Su. 2002. Perubahan Pekerjaan dari Petani ke Nelayan (Kasus Perdesaan Pantai
Kabupaten Gunungkidul), dalam Forum Geografi, Vol 16, No 1., Juli 2007. Surakarta:
Fakultas Geografi UMS.
Riyadi, Dodi Slamet. 2000. Konsep Dasar Penataan Ruang Wilayah Perdesaan, dalam
Pengembangan Wilayah Perdesaan dan Kawasan Tertentu. Jakarta: Direktorat Kebijaksanaan
Teknologi untuk Pengembangan Wilayah, Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi.
Schmidt, F.H. and Ferguson, J.H.A. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period Ratios for
Indonesia with W.N. Guinea. Verh. 42. Jakarta: Kem. Perhu-bungan R.I.
Tim Fak.Geografi UGM. 2003. Kajian Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Karst di Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: BAPEDALDA D.I. Yogyakarta dan Fak.
Geografi UGM.
Perubahan Permukiman Perdesaan Pesisir Kabupaten Gunung Kidul ... (Su Ritohardoyo) 91
92 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 78 - 92

Tidak ada komentar: