Kamis, 18 November 2010

SEJARAH PERADABAN ILMU FALAK - BAHAN AJAR PENDUKUNG GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA

SEJARAH PERADABAN ILMU FALAK - BAHAN AJAR PENDUKUNG GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA
Dimaklumi, lapangan pembahasan ilmu falak adalah langit dengan segala yang berada didalam dan sekitarnya. Bangsa-bangsa kuno Babilonia, Mesir, Cina, India, Persia, Yunani, dll. dimasanya masing-masing telah melakukan aktifitas Astronomi (falak) dan Astrologi (nujum) secara bersamaan dengan model masing-masing.
Peradaban (bangsa) Sumeria yang telah muncul sekitar tahun 4500 SM diduga sebagai cikal bakal lahirnya ilmu pengetahuan terkhusus kajian Astronomi-Astrologi bagi peradaban sesudahnya. Peradaban Babilonia (Iraq Selatan) adalah lanjutan peradaban Sumeria tersebut yang punya pengaruh yang sangat kuat. Orang-orang Babilonia dikenal hobi dengan ilmu eksperimental, membuat peradaban ini bertahan dan berkembang dalam sejarah. Sumbangsih besar, sekaligus masalah besar Babilonia yang telah mengakar hingga saat ini adalah Astrologi. Astrologi lahir sekitar 2000 tahun SM di Lembah Mesopotamia (diantara sungai Eufrat dan Tigris). Dapat dibayangkan, langit yang begemerlapan oleh ribuan bintang-bintang dengan ketiadaan lampu taman dan kota ketika itu, tentunya sangat inspiratif untuk para Astrolog dan pendeta Babilonia, mereka mengamati dan memandang sekaligus meramal kejadian dilangit, mereka beranggapan bahwa setiap gerak benda-benda dilangit adalah pesan dari penguasa alam yang harus diterjemahkan. Ramalan yang pada mulanya diperuntukkan untuk raja dan negara, tetapi juga merembes untuk meramal kehidupan sehari-hari orang biasa. Kenapa demikian? Karena Astrologi bicara tentang manusia sehari-hari dengan segala kemungkinan suka dan dukanya. Namun, sejauh mana kita merelakan peruntungan pada benda-benda angkasa tersebut?, atau, apakah Islam melegalisir aktifitas ini … !

Astronomi dengan Astrologi sangatlah berbeda, meski kedua-duanya sama, sama dalam menerjemahkan alam raya (langit), keduanya memang tidak lepas dari pemaknaaan benda-benda langit. Astrologi mempelajari hubungan kedudukan rasi bintang (zodiak), planet, matahari dan bulan terhadap karakter dan nasib seseorang. Sementara Astronomi tidak hanya mempelajari planet, matahari, bulan, bintang, tapi juga galaksi, black hole, pulsar, dan benda-benda angkasa lainnya. Astronomi mempelajari alam secara fisika-matematika dan hukum-hukum alamnya. Sehingga kesimpulannya bahwa benda-benda di atas sana adalah benda langit, bukan dewa-dewi atau makhluk luar biasa.

Dimasa peradaban Babilonia, telah muncul tabel-tabel peredaran benda-benda langit, penyiapan kalender pergantian musim dan perubahan wajah bulan, pemetaaan langit, dan peramalan terjadinya Gerhana yang merupakan embrio Astronomi modern. Sumbangsih penting lain dari peradaban ini adalah, bangsa Babilonia menetapkan sebuah lingkaran menjadi 360 derajat, berdasarkan itu juga, Babilonia menjadikan keadaan bumi (muhith al ardh/muhith al falak) 360 derajat. Dan lagi, Babilonia telah menetapkan satu hari = 24 jam, satu jam = 60 menit dan satu menit = 60 detik.

Sementara itu, peradaban Mesir kuno punya segudang talenta sejarah yang panjang nan banyak memenuhi halaman buku-buku sejarah. Khusus dalam kaitan kajian perbintangan, Mesir kuno memang tidak punya begitu banyak perhatian terhadap observasi Gerhana dan gerakan bulan dan planet-planet lainnya, namun peradaban Mesir kuno punya kepercayaan yang mengakar dalam penanggalan. Melalui rutinitas banjir sungai Nil setiap tahun yang selalu bertepatan dengan munculnya bintang Sirius (najm syi'ry yamany) dibagian timur pada malam bulan musim panas sekitar tanggal 19 Tamuz / تموز (Juli) dan mulai bersinar diakhir bulan Ab / آب (Agustus). Karena munculnya bintang ini selalu bersamaan dengan datangnya banjir sungai Nil setiap tahun, Mesir kuno menjadikan fenomena alam ini sebagai dasar penanggalan yang terus digunakan hingga saat ini. Diperadaban ini juga, Mesir kuno telah mengenal dan menciptakan jam matahari (mizwalah) yang muncul lebih kurang tahun 1500 SM.

Peradaban China, tak kalah besar pengaruhya dengan peradaban lainnya, diperadaban ini telah ada perhitungan gerak benda-benda angkasa seperti menghitung terjadinya gerhana seperti dipelopori oleh Konfusius (w.± abad V SM). Dimasa ini telah ada pula sistem penanggalan dengan segala plus-minusnya, diduga pula, bangsa China kuno telah dan pernah melakukan pengkajian-perhitungan terhadap Nova dan Supernova. Astronom China silam, Shi Shen, konon sudah berhasil menyususn katalog bintang-bintang yang sangat boleh jadi sebagai katalog 'tertua' yang terdiri 800 entri pada tahun 350 SM.


Peradaban India dan Persia

Dua peradaban (bangsa) ini, adalah peradaban yang punya kedudukan istimewa. Dari dua peradaban inilah -secara langsung- muncul dan lahirnya peradaban falak Arab (Islam), disamping peradaban Yunani kuno yang telah mengakar. Peradaban India adalah yang terkuat dalam pengaruhnya terhadap Islam (Arab) dibanding Persia. Bangasa India kuno, yang telah memulai peradabannya sedikitnya sejak 3000 tahun SM di lembah sungai Indus di Mahenjo-Daro atau Harappa punya gambaran mitos menarik tentang jagad raya, mereka percaya bumi ini adalah datar bersangga diatas punggung beberapa ekor gajah raksasa; gajah-gajah itu berdiri diatas punggung seekor kura-kura maha besar. Langit tidak lain adalah seekor ular kobra raksasa yang badannya melingkari bumi, pada malam hari sisik-sisik ular itu mengkilat berkilauan sebagai bintang-bintang.

Buku Sind Hind / سند هند dari bahasa asli براهمسبهطسد هانت punya pengaruh besar dalam perkembangan peradaban falak Arab Islam, dengan puncaknya pada Dinasti Abbasiyah masa pemerintahan Al Manshur, diturunkan SK (baca: perintah) untuk meringkas dan menerjemahkan buku ini kedalam bahasa Arab. Ibrahim al Fazzari (w…?) adalah orang yang menerima perintah untuk menerjemahkan buku ini, sekaligus pula ia melahirkan buku penjelas "As Sanad Hind al Kabir", dan buku ini terus bertahan hingga masa Al Makmun Dinasti Umawiyah. Perkembangan berikutnya, bermunculan karya-karya falak Arab nan banyak lagi beragam dimasa Dinasti Abbasiyah dan Umawiyah, namun kesemuanya senantiasa bernuansa gaya falak ala-Sind Hind tersebut.

Peradaban Persia, berada pada urutan kedua setelah India dalam pengaruhnya dalam Islam, peradaban ini juga mengambil (belajar) dari peradaban India disamping peradaban lainnya. Namun demikian, pengaruh peradaban Persia tetaplah signifikan, terbukti dipemerintahan Abbasiyah masa Al Manshur ia mengumpulkan pembesar-pembesar ahli perbintangan Persia untuk berdiskusi seperti Nubekht al Farisy (w.326 H), Umar bin al Farkhan (w.± 200 H), Ibrahim al Fazzary (w...?), dll.

Diantara istilah falak Persia yang terus dipakai dalam Islam hingga saat ini antara lain; zayj (zig), awj (Aphelion), dll. Sementara buku-buku falak bahasa Persia yang banyak mendapat perhatian Arab Islam antara lain; زيج الشهريار dan زيج الشاة yang merupakan ephemiris (Zig) yang cukup masyhur ketika itu. Berikutnya Al Khawarizmi (w.232 H) juga membuat Zig-nya (Ta'adil al Kawakib) dalam corak mazhab Persia, demikian lagi Abu Ma'syar al Falaky (w.272 H), dll. Buku-buku falak Persia yang dinukil kedalam bahasa Arab antara lain buku " البزيذج فى المواليد " yang dinisbahkan pada بزرجمهر , dan "Shuwar al Wujuh" karya تنكلوس .


Peradaban Yunani

Seperti disebut diatas, pengamatan fenomena jagad raya telah dilakukan sejak dahulu kala oleh orang-orang peradaban Babilonia, Cina, Mesir kuno, dll. Namun Astronomi sebagai ilmu pengetahuan baru berkembang pada peradaban Yunani pada abad ke-6 SM. Adalah Thales diduga sebagai yang memelopori ilmu Astronomi klasik di Yunani. Ia berpendapat bahwa Bumi merupakan sebuah dataran yang luas. Di waktu yang sama, Phytagoras melontarkan pendapat yang berbeda dengan Thales, menurut Phytagoras, bentuk bumi adalah bulat, meski belum didukung banyak bukti.
Terobosan Astronomi lainnya dilakukan oleh Aristarchus (w.±250 SM) di abad 3 SM. Ia berpendapat, Bumi bukan pusat alam semesta. Ia mengungkap bahwa bumi berputar dan beredar mengelilingi matahari (Heliosentris). Walaupun teori tersebut akhirnya terbukti benar, tapi saat itu tidak banyak yang mendukungnya. Justeru yang didukung adalah teori yang dilontarkan oleh Hiparchus (± tahun 190 – 125 SM.). Ia menyatakan bahwa Bumi itu diam, dan matahari, bulan, serta planet-planet lain mengelilingi bumi (Geosentris). Sistem Geosentris ini disempurnakan sekaligus populerkan lagi oleh Cladius Ptolomeus (w.160 M) dan lebih dikenal sebagai Sistem Ptolomeus yang terekam dalam maha karyanya Almagest, yang menjadi buku pedoman Astronomi hingga dimasa awal abad pertengahan selama berabad-abad.
Sekitar tiga belas abad kemudian, sistem Geosentris runtuh oleh Nicholas Copernicus (w.1543 M) di tahun 1512. Ia menuturkan, planet dan bintang bergerak mengelilingi matahari dengan orbit lingkaran (da'iry). Johanes Kepler (w.1630 M) mendukung gagasan itu di tahun 1609 melalui teorinya bahwa matahari adalah pusat tata surya, Kepler juga memperbaiki orbit planet menjadi bentuk elips (ihlijy) yang dikenal dengan tiga hukum Kepler-nya. Di tahun yang sama, Galileo Galilei (w.1642 M) menciptakan Teleskop monumental di dunia. Dari pengamatannya, ia berkesimpulan bahwa bumi bukan pusat gerak. Penemuan Teleskop tersebut, selain memperkuat konsep Heliosentris Copernicus, juga membuka lembaran baru dalam perkembangan ilmu Astronomi.

Falak Pasca Jahiliyah (Era Islam)

Dalam Islam, pada awalnya Ilmu Falak juga tidak lebih hanya sebagai kajian 'nujumisme' (Astrologi). Hal ini terjadi antara lain dengan dua alasan; 1.) Kebisaan hidup mereka dipadang pasir yang luas serta kecintaan mereka pada bintang-bintang untuk mengetahui tempat terbit dan terbenamnya, mengetahui pergantian musim, dll. 2.) Keterpengaruhan mereka terhadap kebiasaan bangsa-bangsa yang berdekatan dengan mereka yang punya kebiasaan yang sama (Astrologi).

Datangnya Rasulullah S.a.w. beserta risalah-nya dengan membawa cahaya Al-Quran, menjelaskan bahwa masa bagi Allah S.w.t. adalah sama, tidak ada bahagia dan tidak ada celaka, bahagia dan celaka mutlak dalam kekuasaan Allah S.w.t. Perkembangan berikutnya aktifitas falak terus berkembang dengan kontrol Al Qur'an, hingga lahirlah banyak sarjana-sarjana falak berpengaruh dalam Islam.

Adalah Dinasti Abbasiyyah -tepatnya masa pemerintahan Ja'far al Mansur- berjasa meletakkan Ilmu Falak pada posisi istimewa, setelah Ilmu Tauhid, Fikih, dan Kedokteran. Ketika itu, Ilmu Falak -dikenal juga Astronomi- tidak hanya dipelajari dan dilihat dalam perspektif keperluan praktis ibadah saja, namun lebih dari itu, ilmu ini lebih dikembangkan sebagai pondasi dasar terhadap perkembangan science lain seperti; ilmu pelayaran, pertanian, kemiliteran, pemetaan, dll. Tidak tanggung-tanggung, Khalifah Al-Manshur membelanjakan dana negara cukup besar dalam rangka mengembangkan kajian Ilmu Falak. Ilmu Falak-pun terus berkembang hingga zaman pemerintahan Umawiyah, dengan puncak kecemerlangan perkembangannya dipemerintahan Khalifah Al-Makmun. Kajian Astronomi dibuat secara sistematik dan intensif yang melahirkan sarjana-sarjana Falak Islam semisal Al Battani (w.317 H), Al Buzjani (w.387 H), Ibn Yunus (399 H), At Thusy (w.672 H), Biruny (w.442 H), dll. Di era peradaban Arab-Islam inilah kajian falak mulai berkembang secara alamiah dan ilmiah dengan berbagai pembenahan teori, terjemah, cetak ulang, perbaikan, dan ta'lif dengan berbagai penambahan dan penemuan. Khusus dalam kepentingan ibadah, Qudama' Arab telah melakukan perhitungan waktu-waktu shalat, arah kiblat, rukyat hilal, perhitungan musim, dll.

Dimasa Al Makmun, mulai marak pula gerakan penerjemahan literatur-literatur Falak asing kedalam bahasa Arab, seperti buku "Miftah an Nujum" yang dinisbahkan pada Hermes Agung (Hermes al Hakim) dimasa Umawiyah, menyusul buku Sind Hind tahun 154 H/ 771 M yang diterjemahkan oleh Ibrahim al Fazzary (w...?), Almagest Ptolomaeus yang diterjemahkan oleh Yahya bin Khalid al Barmaky dan disempurnakan oleh al Hajjaj bin Mutharr dan Tsabit bin Qurrah (w.288 H), dll.

Hal penting yang perlu dicatat -seperti ditegaskan diatas- , perkembangan peradaban falak Arab-Islam memang tidak bisa dilepaskan dari peradaban sebelumnya, dalam bahasa yang agak 'ekstrim', Arab memang berhutang terhadap peradaban sebelumnya. Namun terdapat beberapa keistimewaan dibalik keberhutangan tersebut, antara lain sbb.;
1.] Meski Arab menukil dari peradaban sebelumnya, namun senantiasa disertai dengan koreksi (tashih al akhtha'), penjelasan ulang teori (syarh), penambahan informasi, yang berikutnya membuat karya-karya (ta'alif ) tersendiri yang punya ciri dan keunggulan.
2.] Peradaban falak Arab-Islam tidak hanya terhenti dalam sebatas tinjauan teoritis saja (dirasat nazhariyyah), namun mempolanya dalam bentuk ilmu-ilmu pasti seperti mate-matika, fisika, kimia, dll., hal ini paling tidak dapat dilihat dari karya-karya (alat-alat) observasi yang ada.
3.] Dalam hal perbintangan (Astrologi), Arab-Islam memang tidak mampu menghapus habis tradisi ini, bahkan praktek ini tetap ada dalam kehidupan masyarakat sehari-hari hingga saat ini. Alasannya -seperti disebutkan diatas-, Astrologi bicara tentang diri seseorang dengan segala kemungkinan suka dan dukanya. Wallah a'lam.


Rekonstruksi Fakta

Setiap kali bicara tentang orbit benda-benda langit, kita pasti akan bersentuhan dengan hukum Kepler. Hukum ini digagas oleh Johannes Kepler pada awal abad ke-15 M. Kepler mendasarkan hukumnya berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Astronom Denmark, Tycho Brahe. Hukum ini memang telah diakui sebagai terbenar dalam abad ini. Hukum Kepler terdiri dari tiga postulat yang menjelaskan tentang orbit planet. Secara singkat, Hukum Kepler pertama menjelaskan bahwa planet-planet mengorbit (mengelilingi) matahari dengan lintasan berbentuk elips (ihlijy) dengan Matahari pada salah satu fokusnya. Hukum kedua Kepler menjelaskan tentang pergerakan planet. Dalam satu rentang waktu yang sama, planet bergerak menyapu daerah yang sama panjangnya. Karena orbit planet berbentuk elips, maka konsekuensinya makin dekat jarak planet ke Matahari, makin cepat pula gerak orbitnya. Terakhir, hukum ketiga Kepler menyatakan bahwa kuadrat dari periode planet (waktu yang diperlukan untuk menempuh satu orbit) adalah sebanding dengan pangkat tiga jarak rata-rata planet itu dari matahari. Pernyataan ini dituangkan dalam persamaan matematis: P2 = a3, dimana P adalah periode planet mengelilingi Matahari (dihitung dalam tahun) dan a adalah jarak planet ke Matahari (dalam Satuan Astronomi). Konsekuensi dari hukum ini adalah semakin jauh jarak planet, makin lambat pula pergerakannya.

Terhadap tiga hukum Kepler diatas, Prof.Dr.Muhammad Shalih an-Nawawy (Guru Besar Falak Universitas Kairo) menyatakan (menulis) dalam makalahnya berjudul "Ibn Syathir wa Nashiruddin at Thusy wa Dawa'ir al Aflak" yang dipresentasikan pada seminar internasional sejarah ilmu pengetahuan tanggal 28-30 September 2004 M di Perpustakaan Iskandariah-Mesir, ia mengungkap, bahwa teori tersebut pada dasarnya telah dikemukakan atau setidak-tidaknya disinggung oleh Ibn Syathir (w.777 H) diabad 8 H melalui karyanya "Kitab Ta'liq al Arshad" dan "Nihayat al Ghayat fi [l] a'mal al Falakiyyat". Lebih lanjut, melalui diskusi (bincang-bincang) penulis dengan Dr.Muhammad Abdul Wahab Jalal (mantan Guru Besar falak-riyadhiyyat dan Sejarah Ilmu Pengetahuan (History Science) Universitas Perancis) menyatakan; Nicholas Copernicus dalam teori "bulat bumi"-nya, ternyata komposisi jadwal Astronomi yang ia buat sama persis seperti teori (jadwal) yang dibuat Ibn Syathir dalam jadwal (Zig)-nya. Wallah a'lam
Defenisi & Terminologi Falak
25 Februari 2009 8:44
Ilmu Falak (Astronomi) adalah Ilmu yang mempelajari tentang tata lintas benda-benda angkasa (terutama bulan, bumi dan matahari) secara sistematis dan ilmiah, demi kepentingan manusia. Ilmu ini terhitung sebagai cabang ilmu pengetahuan tertua, sebab ilmu ini ada semenjak jagad raya ini terbentuk. Kata 'falak' pluralnya 'aflak' bermakna orbit edarnya benda-benda angkasa (al madar yasbah fihi al jirm as samawy). Ibn Khaldun (w.808 H) mendefenisikan ilmu ini sebagai ilmu yang membahas tentang pergerakan bintang-bintang (planet-planet) yang tetap, bergerak dan gumpalan-gumpalan awan yang beterbangan.



Penamaan Ilmu Falak sangat beragam dalam khazanah turats sebelum dan sesudah Islam seiring dengan kadar kemampuan manusia dalam menerjemahkan fenomena angkasa raya. Dalam Islam, peran bangsa Yunani (Greek) agaknya tidak bisa dilepaskan, justeru istilah Astronomi yang telah mengakar tersebut berasal dari bahasa ini. Astro berarti Bintang, dan Nomia berarti Ilmu.

Secara alami, ilmu ini terus berkembang seiring perkembangan nalar manusia, sehingga membawa konsekuensi kepada berubahnya penamaan ilmu ini kepada berbagai macam penamaan meski obyeknya tetap sama. Diantara beragam penamaan tersebut yang banyak menghiasi buku-buku klasik antara lain; 'Ilm an Nujum, 'Ilm Hay'ah, 'Ilm Hay'ah al Aflak, 'Ilm Hay'ah al 'Alam, 'Ilm al Aflak, 'Ilm Shina'ah an Nujum, 'Ilm at Tanjim, 'Ilm Shina'ah at Tanjim, 'Ilm Ahkam an Nujum, dll.

Di abad pertengahan (± abad IX H) ilmu ini lebih dikenal dengan nama 'ilm al hay'ah atau 'ilm al hay'ah al aflak. Sementara itu penggunaan kata 'ilm al falak tidak begitu masyhur, pula tidak banyak beredar, meski kata ini tetap ada menghiasi buku-buku klasik dengan maksud dan tujuan yang sama. Antara lain, Ibn an-Nadim (w.388 H) dalam Al Fihrist-nya, ketika menjelaskan biografi Ya'qub bin Thariq menyebut kata ini (baca: falak/ilmu falak) sebagai cabang ilmu yang dimaksud. Kata 'falak', dengan makna 'edar' sebagai dimaksud dalam disiplin 'Ilmu Falak' banyak tertera dalam Al Qur'an, antara lain QS.Yasin ayat 40:

لا الشمس ينبغي لها أن تدرك القمر ولا الليل سابق النهار وكل فى فلك يسبحون

Carlo Nillino, Guru Besar Ilmu Falak Universitas Fu'ad Awwal (Jami'ah al Misriyyah) sekarang Jami'ah al Qahirah dan Universitas Pallermo Italia menyatakan; kata falak yang banyak beredar dalam Al Qur'an bukan berasal dari bahasa Arab, akan tetapi teradopsi dari bahasa Babilonia yaitu 'Pulukku' yang berarti 'edar'. Wallah a'lam

Perkembangan selanjutnya, ilmu falak terus berkembang dengan berbagai elaborasi dan akselerasi ilmiah hingga akhirnya ilmu ini dengan khas nama 'Ilmu Falak' mengakar diperadaban Islam sampai detik ini. Terlihat, diperguruan-perguruan tinggi, instansi-instansi pemerintah, organisasi keislaman muncul kajian-kajian dan mata kuliah Ilmu Falak dalam teori dan praktek. Secara lebih khusus, Ilmu Falak berperan secara detil dalam kepentingan umat Islam dalam empat hal, yaitu: [1]. Menentukan awal bulan Qamariyah, [2]. Menentukan jadwal shalat, [3]. Menentukan bayang (arah) kiblat, [4]. Menentukan kapan dan dimana terjadinya gerhana.

Arah Kiblat

Kiblat adalah bangunan berbentuk kubus terletak dijantung kota Mekah merupakan tempat yang dituju kaum muslimin didalam shalat. Menghadap kiblat adalah satu kemestian (syarat) untuk sahnya shalat. Kiblat (al Qiblah) secara bahasa bermakna menghadap atau berhadapan (al muqabalah).

Firman Allah S.w.t. QS. Al Baqarah: 150;

ومن حيث خرجت فولَ وجهك شطر المسجد الحرام وحيث ما كنتم فولَوا وجوهكم شطره

Menyatakan wajibnya menghadap baytullah (kiblat) didalam shalat. Namun ulama berbeda pendapat tentang detil menghadap yang dimaksud dalam ayat tersebut. Sementara ulama berpendapat yang diwajibkan adalah menghadap benda/bangunan ('ain) Ka'bah, sebagian ulama lagi menyatakan arah (jihah/ishabah) Ka'bah saja.

Terhadap ayat diatas, Imam Al Qurthuby (w.671 H) mengomentari ayat tersebut dengan lima kesimpulan;

1.) Kata syathr dapat bermakna nahiyah (penjuru/area), dan kalimat "al masjid al haram" berarti
Ka'bah. Hadits Nabi S.a.w. menyatakan;

البيت قبلة لأهل المسجد والمسجد قبلة لأهل الحرم والحرم قبلة لأهل الأرض فى مشارقها ومغاربها من أمتي

2.) Ayat "syathr al masjid al haram" mengandung kemungkinan makna antara nahiyah dan jihah (area dan arah), kata "syathr" itu sendiri merupakan keterangan tempat (zharf al makan) yang menempati posisi obyek kalimat (maf'ul bih) yang dapat pula bermakna setengah (nisf), seperti tersebut dalam hadits Nabi S.a.w.; (( at Thahur[u] syathr al iman ))

3.) Satu kesepakatan bahwa Ka'bah adalah kiblat dari semua penjuru, kemestian terhadap orang yang mampu melihatnya menghadap secara persis, jika tidak, shalatnya.tidak sah. Namun jika tidak terlihat cukuplah dengan nahiyah, jihah dan tilqa'-nya (area, arah dan serta-merta menghadap). Jika sama sekali tidak terlihat (sangat jauh), memadai menghadap dengan sarana yang memungkinkan seperti pergerakan bintang-bintang, angin, gunung, dll.

4.) Terdapat perdebatan –tentang tidak terlihatnya Ka'bah– antara kewajiban menghadap benda atau arah saja. Diantara ulama berpendapat pada yang pertama (menghadap 'ain Ka'bah), yang lain lagi cukup menghadap arah saja dengan tiga alasan, Pertama; ini yang paling memungkinkan untuk dilakukan. Kedua; Menghadap arah-lah yang diperintah ayat, baik berada di belahan bumi Timur maupun Barat. Ketiga; Ulama berargumen pada barisan shalat (shaf) yang panjang, tentulah sulit memandang Ka'bah.

5.) Ayat menyatakan secara jelas -sebagai disepakati oleh Imam Malik- bahwa seseorang yang sedang shalat hanya diharuskan menghadap kedepan bukan ketempat sujud, berbeda dengan as Tsawry, Abu Hanifah, as Syafi'i dan al Hasan bin al Hayy yang tetap menganjurkan (yustahab) menghadap tempat sujudnya. Wallah a'lam

Secara umum, Jumhur -terkecuali Syafi'iyah- berpandangan jika seseorang berada jauh dari Mekah, diharuskan menghadap arah ka'bah, namun jika berada di Mekah atau sekitarnya mestilah menghadap bangunan Ka'bah. Sementara Syafi'iyah menyatakan meski berada jauh dari Mekah tetap diwajibkan mengarahkan ke bangunan Ka'bah, dengan alasan Firman Allah S.w.t.;

وحيثما كنتم فولَوا وجوهكم شطره

Lebih jauh Syafi'iyah menyatakan berpalingnya arah kiblat meski sedikit saja (al inhiraf al yasir) membawa konsekusensi pada batalnya shalat.

Sementara itu, ulama sedikit berbeda-beda lagi tentang kriteria dan urutan penentuan arah kiblat yang berada jauh (persis tidak terlihat) dari Ka'bah, dengan kesimpulan sbb.;

Hanafiyah menetapkan;
1.) Berpatokan pada masjid-masjid (mihrab) kuno yang pernah dibangun oleh sahabat dan Tabi'in (seperti Masjid Bani Umayyah di Damaskus-Syria, Masjid Amr bin Ash di Kairo-Mesir, dll.).
2.) Bertanya pada orang lain, dengan urutan; Bertanya pada yang terdekat (penduduk setempat), yang ditanya (al mas'ul) mengerti arah kiblat, kesaksian yang ditanya legal (bukan kafir, fasiq dan anak-anak).
3.) Jika dua cara diatas tidak ada, shalatlah dengan apa adanya (zhan).

Malikiyah menetapkan;
1. Berpatokan pada masjid-masjid (mihrab) kuno yang ada, seperti; Mihrab Masjid Nabi S.a.w., Mihrab Masjid Bani Umayyah, Mihrab Masjid 'Amr bin 'Ash, Mihrab Masjid Qairwan, dll.
2. Mencari/meneliti (taharra) -jika mampu melakukannya- tanpa boleh bertanya pada orang lain.
3. Bertanya pada orang lain dalam ketiada-mampuan dan ketiada-tersediaan alat untuk menentukan.

Syafi'iyah menentapkan;
1. Mencari/menetapkan sendiri tanpa bertanya pada orang lain.
2. Bertanya pada orang yang dapat dipercaya (tsiqah) lagi ahli dalam menentukan arah kiblat
3. Ber-ijtihad
4. Mengikut orang berijtihad dalam menentukan arah kiblat (taqlid al mujtahid).

Hanabilah menetapkan;
1. Berpatokan pada masjid-masjid (mihrab) kuno yang ada.
2. Bertanya pada orang adil, jika orang yang memberi informasi (mukhbir) mengetahui secara pasti, wajiblah mengikutinya, dan jika hanya dugaan kuat (zhan) saja, bolehlah mengikutinya dengan syarat jika waktu shalat telah mendesak (sempit) namun jika waktu shalat masih lapang diharuskan mencari tahu lebih dahulu.

Penentuan Arah Kiblat di Masa Silam

Ka'bah, dimasa pra-islam adalah bangunan sebagai tempat penyembahan dimana bertaburan berhala-berhala Quraisy. Risalah Islam yang dibawa baginda Nabi Muhammad S.a.w. menebas habis berhala-berhala tersebut, hingga bangunan ini dijadikan sebagai kiblat di dalam shalat setelah sebelumnya, -tepatnya selama 16 bulan beberapa hari- menghadap Baytul Maqdis kiblat pertama umat Islam yang terletak di Palestina.

Prof. Dr. David A. King (Profesor Mate-Matika & sejarah ilmu pengetahuan, spesialis sejarah Falak-Astronomi masa Dinasti Mamalik) menyebutkan; penentuan arah kiblat dimasa silam -tepatnya diabad pertengahan- pada umumnya adalah melalui penampakan arah munculnya bintang Canopus (najm suhayl) yang kebanyakannya terbit dibagian belahan bumi selatan, dilain tempat, melalui arah terbitnya matahari pada solstice musim panas (inqilab as shayfy), disamping empat pola pergerakan angin yang ada. Dua arah ini, lebih kurangnya tegak lurus pada garis lintang kota Mekah. Dengan cara inilah, dalam kurun seribu tahun lebih kaum muslimin menentukan arah kiblat. Hal ini diperkuat dengan data letak Ka'bah serta gunung-gunung yang meliputinya melalui peta terkini (khara'ith haditsah), serta data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).

Hadits Nabi S.a.w. menyatakan; ( ما بين المشرق والمغرب قبلة ), dalam prakteknya Nabi S.a.w. memang shalat menghadap arah selatan yang berarti tepat menghadap Ka'bah. Dengan standart ini (baca: menghadap arah selatan), kaum muslimin diberbagai wilayah berpatokan pada arah ini sebagai optimisme (tayammunan) terhadap Nabi S.a.w. Generasi pertama-pun (sahabat) berpatokan terhadap standart ini dalam mendirikan masjid di Andalusia (Spanyol) hingga Asia Tengah.

Di Syria dan Palestina patokan arah Selatan menjadi acuan utama arah kiblat, Masjid al Aqsha (berdiri tahun 715 M) dibangun hampir tepat menghadap selatan, bertahan selama beberapa abad. Hingga melalui penelitian-perhitungan praktisi falak (falakiyyun) dengan sumbangsih data Geografi, terbukti arah kiblat di Quds (Palestina) terletak sekitar 45 derajat bujur timur menuju Barat.

Di Mesir, masjid pertama berdiri (Masjid Amru bin 'Ash) yang terletak di Fusthath berpedoman pada arah terbitnya matahari pada solstice musim dingin (inqilab syita'iy), patokan ini bertahan dan berkembang selama kurun abad pertengahan. Setelah berdirinya kota baru "Kairo" diakhir abad 10 M yang berjarak beberapa meter saja dari utara kota Fusthath sekira tegak lurus terhadap terusan Suez yang menghubungkan Sungai Nil dan Laut Merah. Kenyataannya, kota baru ini (baca: Kairo) bersesuaian dengan arah kiblat masjid sahabat yang terletak di Fusthath 27 derajat Lintang Selatan menuju timur. Namun Dinasti Fatimiyah tidak memperhatikan keadaan ini, termasuklah Masjid Al Khalifah al Hakim dan Masjid Al Azhar yang terhitung sebagai masjid pertama yang dibangun pada Dinasti Fatimiyah ternyata melenceng 10 derajat, hingga akhirnya seorang ahli falak Mesir terkenal Ibnu Yunus (w...H) menemukan berdasarkan hitungan Mate-Matika Astronomi-nya bahwa kiblat sebenarnya berada 37 derajat Lintang Selatan menuju timur.

Ditempat lain, di Iraq, masjid-masjid dibangun tepat menghadap arah terbenamnya matahari pada solstice musim dingin, dengan menjadikan searah dengan arah tembok utara-timur tiang Ka'bah, yang jika seseorang berdiri menghadap tiang tersebut, secara persis memandang arah terbenamnya matahari dimusim tersebut. (Lihat gambar II)

Berikutnya lagi dibagian utara-barat Afrika, arah kiblat berpedoman pada terbitnya matahari pada equinox (i'tidalayn/syarq haqiqy). Di Yaman, kiblat ditentukan berdasarkan arah angin utara atau pada arah bintang kutub utara (najm quthby), di Syria berdasarkan terbitnya bintang Canopus, di India pada arah terbenamnya matahari pada equinox (i'tidalayn/gurb haqiqy).

Atas semua fenomena diatas, Prof.Dr.David A. King memandang betapa perlunya penelitian komprehensif terhadap arah kiblat masjid-masjid di penjuru dunia, Ia menyatakan, hingga saat ini belum ada aktifitas memadai seperti dimaksud, yang ada hanya berupa penelitian awal (dirasah tamhidiyyah). Jika proyek ini dapat terealisir sejatinya akan memberi sumbangan berharga terhadap sejarah perkiblatan dijagad raya.

Lain halnya dengan Hagia Sophia di Konstantinopel (sekarang Istanbul), dibangun pada jaman Kaisar Justinian I selama lima tahun dan diresmikan pada tahun 537. Sebuah gereja yang sangat spektakulier keindahan arsitekturnya. Pada tahun 1453 kekaisaran Ottoman menguasai Konstantinopel dan Sultan Mehmed II mengubah gereja Hagia Sophia menjadi sebuah masjid. Seperti diketahui, masjid mempunyai orientasi mutlak menghadap ke arah kiblat yaitu Kabah di Mekah. Karena arah kiblat ini maka umumnya perubahan fungsi bangunan menjadi masjid meminta perubahan orientasi bangunan juga. Hal ini tidak terjadi pada Hagia Sophia. Ditempat bekas altar gereja digantikan oleh mihrab masjid.

Dari beberapa data, bahwa gereja orthodox, seperti Hagia Sophia pada jaman Byzantium, juga dianggap mempunyai kiblat tertentu yaitu kearah Jerusalem, tempat Jesus dilahirkan. Kalau kita pelajari pada peta bumi maka, dari Istanbul, arah Jerusalem dan Mekah hampir segaris kearah yang sama. Wallah a'lam

Momen Alami Matahari

Penentuan arah kiblat dapat dilakukan melalui moment alami matahari, yaitu saat posisi matahari istiwa (kulminasi) tepat di atas Ka'bah pada tanggal 28 Mei sekitar pukul 16:18 WIB dan tanggal 16 Juli sekitar pukul 16:27 WIB. Saat tersebut, jika kita melihat ke Matahari, dan menarik garis lurus dari Matahari, kita akan mendapatkan posisi tepat arah kiblat tanpa perlu melakukan perhitungan.

Ilustrasi:
Bumi berputar pada sumbu rotasinya dengan periode 24 jam, pada saat yang sama bumi mengedari matahari dengan periode satu tahun. Akibatnya, relatif terhadap bintang-bintang pada bola langit, dan mataharipun terlihat berubah posisinya dari hari ke hari, dan setelah satu tahun, kembali ke posisi semula. Matahari juga bergerak kurang lebih ke arah timur, namun karena bidang edar bumi (ekliptika) tidak sebidang dengan bidang rotasi bumi (ekuator langit), maka gerak matahari tadi pun tidak tepat ke arah timur, tetapi membentuk sudut 23,5º, sesuai dengan besar sudut antara ekliptika dan ekuator langit.

Karena bidang ekliptika membentuk sudut terhadap bidang ekuator bumi, dalam interval satu tahun, matahari pada satu saat berada di utara ekuator (deklinasi paling utara +23,5 derajat), dan disaat yang lain berada di selatan ekuator.

Matahari sampai sejauh 23,5º dari ekuator ke arah utara pada sekitar tanggal 22 Juni. Enam bulan kemudian, sekitar tanggal 22 Desember, matahari berada 23,5º dari ekuator ke arah selatan. Antara 22 Juni dan 22 Desember, matahari bergerak ke arah selatan ekuator, bergerak relatif terhadap bintang-bintang. Sedangkan antara tanggal 22 Desember dan 22 Juni, matahari bergerak ke arah utara ekuator.

Karena gerak tahunan tersebut dikombinasikan dengan gerak terbit terbenam matahari akibat rotasi bumi, maka matahari menyapu (menyinari) daerah-daerah yang memiliki lintang antara 23,5º LU dan 23,5º LS. Pada daerah-daerah di permukaan bumi yang memiliki lintang dalam rentang tersebut, matahari dua kali setahun akan berada kurang lebih tepat di atas kepala. Karena Mekah memiliki lintang 21º 26' LU, yang berarti berada dalam daerah yang disebutkan di atas, maka dua kali dalam setahun, matahari akan tepat berada di atas kota Mekah. Maha suci Allah S.w.t.

Namun moment ini tidak bisa disaksikan dari seluruh wilayah Indonesia, sebabnya karena bentuk bumi yang bundar. Tempat-tempat yang bisa menggunakan cara di atas adalah tempat-tempat yang terpisah dengan Mekah kurang dari 90º. Wilayah Indonesia barat dan tengah mempunyai keuntungan bisa menyaksikan saat posisi matahari masih tinggi. Di wilayah Indonesia Timur pada waktu tersebut, matahari sudah terbenam sehingga tidak bisa menikmatinya. Wallah a'lam

PENETAPAN 10 DZULHIJJAH (IDUL ADHA); Dalam Sudut Pandang Fikih & Astronomi

PENETAPAN 10 DZULHIJJAH (IDUL ADHA); Dalam Sudut Pandang Fikih & Astronomi

Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar*

Penetapan Idul Adha (10 Dzulhijjah), antara Indonesia dan Arab Saudi sering kali tidak jatuh bersamaan, sehingga biasanya timbul berbagai pertanyaan dan tuduhan di tengah masyarakat. Terjadinya perbedaan itu beralasan secara astronomis dan fikih. Dalam contoh kasus Idul Adha 1417 H / 1997 M yang lalu misalnya, Arab Saudi mengumumkan hari wukuf jatuh pada 16 April 1997 (Idul Adha 17 April 1997), sedangkan pemerintah Indonesia (Departemen Agama) mengumumkan Idul Adha jatuh pada 18 April. Masyarakat bingung ketika itu, ada pula yang mengecam perbedaan itu sebagai tidak berdasar dengan label 'mukhalif as syari'ah'. Tuduhan ini terbilang wajar dalam sebatas komentar awal, namun akan "kurang ajar" jika disampaiakan dengan cara yang tidak etis. Bila diketahui asal-usulnya, perbedaan itu sebenarnya semu belaka dan pertanyaan-tuduhan di atas akan terjawab. Ada dua aspek terkait terhadap perbedaan tersebut yang perlu dipahami, pertama aspek astronomis penentuan awal Dzulhijjah, dan kedua aspek syari'ah (fikih) yang berkaitan dengan puasa hari Arafah. Dimakalah ini, kedua aspek ini akan dibicarakan sekedarnya.



Kilas Balik Penetapan Idul Adha 1417 H

Dalam kasus Idul Adha tahun 1997 M/1417 H, berdasarkan perhitungan astronomi menyatakan, ijtimak awal Dzulhijjah 1417 terjadi pada 7 April 1997 pukul 11:04 UT atau pukul 14:04 waktu Arab Saudi, pukul 18:04 WIB. Dengan demikian di Arab Saudi ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam (ijtima' qabla[l] ghurub), sedangkan di sebagian besar wilayah Indonesia saat itu matahari sudah terbenam. Berdasarkan saat ijtimak itu dapat dipahami bahwa masuknya awal Dzulhijjah di Arab Saudi lebih dahulu daripada di Indonesia. Pada tanggal 7 April di Mekkah matahari terbenam pukul 18:38 sedangkan bulan terbenam lebih lambat lagi, pukul 18:45. Walaupun secara astronomis itu masih di bawah kriteria visibilitas hilal, tetapi itu menunjukkan bahwa bulan sudah wujud di atas ufuk pada saat maghrib. Sehingga 1 Dzulhijjah di Arab Saudi jatuh pada tanggal 8 April dan Idul Adha jatuh pada 17 April 1997.

Di Indonesia pada tanggal 7 April, bulan terbenam lebih dahulu dari matahari. Di Jakarta bulan terbenam pukul 17:54 dan matahari terbenam pukul 17:55, di Bandung bulan terbenam pukul 17:51 dan matahari terbenam pukul 17:52. Di kawasan Indonesia tengah dan timur perbedaan waktu terbenam bulan dan matahari lebih besar lagi. Secara umum di seluruh Indonesia bulan sudah berada di bawah ufuk pada saat Magrib (ijtimak). Dengan demikian 1 Dzulhijjah jatuh pada 9 April dan Idul Adha (10 Dzulhijjah) jatuh pada 18 April 1997.

Untuk melihat kondisi yang lebih global, perbedaan itu bisa kita lihat pada Garis Tanggal Qamariyah (khath at tarikh al qamary) awal Dzulhijjah (lihat gambar), garis tanggal itu menyatakan daerah yang saat terbenam matahari dan bulan bersamaan. Di sebelah barat garis itu pada tanggal 7 April bulan sudah wujud di atas ufuk pada saat magrib, sedangkan di sebelah timurnya bulan sudah berada di bawah ufuk pada saat Maghrib. Garis tanggal itu melalui pantai barat Australia, pantai barat Sumatera, India, Kazakhstan, dan Rusia bagian barat. Dengan demikian garis tanggal itu memisahkan Arab Saudi dengan Indonesia. Sehingga kita akan jelas melihat bahwa perbedaan hari Idul Adha antara Indonesia dan Arab Saudi hanya semu belaka, perbedaan itu hanya disebabkan oleh definisi tanggal syamsiyah yang dipisahkan oleh garis tanggal internasional yang melalui lautan pasifik.



Karena adanya garis tanggal, wilayah di sebelah timur (B) tanggalnya lebih muda dari sebelah baratnya (A). Idul Adha 10 Dzulhijjah di wilayah Asia Timur jatuh pada 18 April, sedangkan di Amerika, Eropa, Afrika, dan Timur Tengah jatuh pada 17 April. Karena itu, "perbedaan" hari Idul Adha antara Indonesia dan Arab Saudi sebenarnya tidak berbeda secara hakiki bila dilihat menurut kalender Qamariyah dengan garis tanggal Qamariyah juga. Merancukan waktu ibadah yang dinyatakan menurut kalender Qamariyah dengan tanggal menurut kalender Syamsiyah bisa menyebabkan timbul kesan seolah-olah ada perbedaan. Wallah a'lam


Ide Penyamaan Idul Adha Dengan Arab Saudi

Terkait kasus perbedaan Idul Adha seperti di atas, sering timbul pertanyaan mengapa tidak diseragamkan saja antara Indonesia dan Arab Saudi, dengan menjadikan waktu Mekah sebagai acuan. Beralasan, bukankah Mekah tempat berada Ka'bah, kiblat umat Islam sedunia. Sudah sewajarnya penentuan waktu ibadah pun (seperti hari raya) juga mengikut ke Mekah. Di sisi lain, perbedaan waktu antara Arab Saudi dan Indonesia bagian barat hanya sekitar empat jam, semestinya hari rayanya pun bisa dilaksanakan pada hari yang sama... dst.

Sepintas, pendapat itu tampak benar dan sederhana, namun bila dikaji lebih mendalam hal itu kurang beralasan secara 'syar'i' dan 'ilmiy'. Pendapat menyamakan dengan Arab Saudi muncul karena menghendaki keseragaman menurut tanggal Syamsiyah dengan mengabaikan tanggal Qamariyah. Sama diketahui, penetapan waktu-waktu ibadah dalam Islam ditentukan menurut penanggalan Qamariyah. Menyeragamkan Idul Adha, dalam contoh kasus tahun 1417 H/1997 M di atas, menjadi tanggal 17 April berarti memaksakan pelaksanaannya di Indonesia menjadi tanggal 9 Dzulhijjah, bukan 10 Dzulhijjah seperti disyariatkan.

Satu pertanyaan, apa defenisi 'sama' atau 'menyamakan' hari? Pengertian 'sama' sangatlah relatif. Secara astronomi bisa berarti mengalami waktu siang secara bersamaan bila beda waktunya kurang dari 12 jam. Bila itu diterapkan di Hawai-Amerika yang beda waktunya dengan Arab Saudi (dihitung ke arah timur) hanya 11 jam, defenisi 'sama' harinya namun berbeda tanggal. Tanggal 16 April di Arab Saudi berarti tanggal 15 April di Hawai. Pola pikir untuk menyamakan itu hanya terjadi bila kita tunduk pada sistem kalender syamsiyah dan mengabaikan sistem kalender Qamariyah. Pada tanggal 17 April di Indonesia masih tanggal 9 Dzulhijjah, jadi bukan waktunya untuk melaksanakan Idul Adha. Waktu yang tepat untuk melaksanakan Idul Adha di Indonesia adalah 18 April (10 Dzulhijjah) agar tidak melanggar syariat, dan secara ilmiah hal itu pun beralasan.

Arab Saudi Idul Adha sehari setelah wukuf adalah suatu kepastian, namun untuk wilayah lain perlu diperjelas lagi, sebab bumi ini tidaklah datar. Ada yang secara mudah mendefinisikan bila wukuf di Arafah jatuh hari Jumat maka Idul Adha jatuh hari Sabtu untuk seluruh dunia dan termasuk di Indonesia tanpa memperhatikan hari itu 10 Dzulhijjah atau bukan. Sejauh ini, belum ada keterangan pasti yang dapat dijadikan landasan pendapat ini, selain mengikuti kelaziman hari dalam definisi syamsiyah dalam kalender umum. Hal yang perlu diperhatikan, melaksanakan Idul Adha 17 April di Indonesia dalam contoh kasus di atas bisa disebut mendahului, bukan mengikuti Arab Saudi. Dari segi waktu shalat Idul Adha, pasti mendahului, ketika di Indonesia melaksanakan shalat Idul Adha pukul 07.00 WIB, di Arab Saudi masih sekitar pukul 03.00 dini hari. Dari segi tanggalpun mendahului, di Indonesia saat itu masih 9 Dzulhijjah. Wallah a'lam


Puasa Arafah

Bagi umat Islam yang tidak melaksanakan ibadah haji, pada hari Arafah disunahkan berpuasa. Menurut hadits Rasulullah S.a.w. yang diceritakan Abu Qatadah r.a., puasa hari Arafah akan menghapuskan dosa selama dua tahun, tahun yang lalu dan tahun yang akan datang. Puasa hari Arafah tergolong puasa sunnah yang utama (mu'akkadah) sehingga banyak orang yang berlomba melaksanakannya.

Hari Arafah 9 Dzulhijjah adalah satu kepastian, dalam kasus diatas, di Indonesia 9 Dzulhijjah jatuh pada 17 April. Namun masyarakat bingung karena hari itu di Arab Saudi sudah Idul Adha. Nabi S.a.w. menyatakan, puasa pada hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) haram hukumnya. Sehingga, ada yang berpendapat berpuasalah pada tanggal 16 April karena itulah hari pelaksanaan wukuf di Arafah. Pendapat ini nampaknya benar, namun tetap saja kurang logis.

Perlu diketahui, waktu ibadah dalam Islam (seperti shalat dan puasa) bersifat lokal, semestinya juga dalam Idul Adha mengacu pada waktu setempat (Indonesia). Karena di Indonesia Idul Adha jatuh pada 18 April, maka sah puasa pada 17 April. Lain cerita bagi orang yang meyakini (dengan didasari berbagai pertimbangan) bahwa Idul Adha harus sama, maka mereka berhak pada pendapat yang diyakininya. Wallah a'lam

Hal di atas dapat dijelaskan dengan meruntut perjalanan waktu berdasarkan peredaran bumi. Bagi muslim di Timur Tengah puasa Arafah mulai sejak fajar 16 April, makin ke barat waktu fajar bergeser. Di Eropa Barat waktu fajar awal puasa kira-kira 3 jam sesudah di Arab Saudi, makin ke barat lagi, di pantai barat Amerika Serikat waktu fajar awal puasa Arafah makin bergeser lagi 11 jam setelah Arab Saudi. Di Hawai, puasa Arafah juga masih 16 April tetapi fajar awal puasanya sekitar 13 jam setelah Arab Saudi. Bila diteruskan ke barat, di tengah lautan Pasifik ada garis tanggal internasional (bujur 180 atau bujur 0), mau tidak mau sebutan 16 April harus diganti menjadi 17 April walaupun hanya berbeda beberapa jam dengan Hawai. Awal puasa Arafah di Indonesia-pun yang dilakukan sekitar 7 jam setelah fajar di Hawai, dilakukan dengan sebutan tanggal yang berbeda hanya gara-gara melewati garis tanggal internasional. Di Indonesia, puasa Arafah yang dilakukan pada 17 April 1997 berarti tetap tanggal 9 Dzulhijjah, sama dengan tanggal Qamariyah di Arab Saudi. Adanya garis tanggal yang memisahkan antara Arab Saudi dan Indonesia itulah sebenarnya yang menyebabkan Idul Adha di Arab Saudi berbeda dengan di Indonesia. Pada hari ' h ' di bagian barat (A) garis tanggal itu (Arab Saudi misalnya) sudah memasuki 10 Dzulhijjah (Idul Adha) sedangkan di sebelah timurnya (B) (Indonesia misalnya) masih tanggal 9 Dzulhijjah. Wallah a'lam


Fikih Hadits Dzulhijjah

Hadits Nabi S.a.w. menyatakan:

( عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ابْنِ يَعْمُرَ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِعَرَفَةَ فَسَأَلُوهُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى الْحَجُّ عَرَفَةُ ) (أَتَيْتُ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِعَرَفَةَ فَجَاءَ نَاسٌ أَوْ نَفَرٌ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ فَأَمَرُوْا رَجُلاً فَنَادَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كَيْفَ الْحَجُّ ؟ فَأَمَرَ رَسَولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلاً فَنَادَى الْحَجُّ الْحَجُّ، يَومُ عَرَفَةَ)

Dua hadits diatas menjelaskan, wukuf di Arafah adalah satu rukun terpenting dalam ibadah haji, tanpa wukuf, haji seseorang tidak sah. Dari dua hadits diatas juga dapat dipahami, ketiada terkaitannya dengan penentuan Idul Adha. Hadits hanya menyatakan semata-mata haji sah dengan wukuf di Arafah.

Hadits Nabi Saw menyatakan lagi:

( إِذَا رَأَيْتمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ، وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ )

Hadis ini menjelaskan, penentuan Idul Adha adalah berdasarkan terlihatnya hilal Dzulhijjah, kemudian jika ada yang hendak berqurban, agar tiada memotong rambut dan kukunya, tanpa ada kaitkan dengan hari wukuf di Arafah. Hadits ini juga menunjukkan bahwa pelaksanaan penyembelihan Qurban dihitung dari semenjak melihat hilal Dzulhijjah. Tentunya hilal Dzulhijjah yang dimaksud adalah hilal yang terlihat di tempat orang yang hendak berqurban (daerah setempat), bukan hilal di tempat lain.

Sementara hadits Nabi S.a.w.:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ .رواه الترمذي

Penggalan hadits وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ bermakna, ibadah Qurban dilaksanakan pada hari raya Qurban (Idul Adha). Hadis ini juga menunjukkan, bahwa ibadah Qurban tiada kaitan dengan penentuan ibadah haji yang dilaksanakan di Arab Saudi (sehari selepas wukuf di Arafah). Hadits di atas juga sama sekali tidak mewajibkan pelaksanaan Idul Adha merata di seluruh bumi, secara serempak. Bahwa dilaksanakan pada satu tanggal yaitu 10 Dzulhijjah adalah benar, tetapi pada pelaksanaannya tetap mengikuti perputaran bumi pada porosnya.

Perlu ditegaskan, Idul Adha dengan ibadah haji tidaklah punya kaitan secara langsung, karena waktu diwajibkannya sendiri berbeda, bahkan di dalam kitab-kitab fikih, bab Haji dan bab Udhiyah (penyembelihan) ditempatkan secara terpisah.

Penyembelihan hewan yang dikaitkan dengan ibadah haji bukanlah penyembelihan hewan Qurban (udhiyah), tetapi penyembelihan binatang hadyu buat yang melaksanakan haji Qiran, atau dam bagi yang melaksanakan haji Tamattu'. Sementara memotong Qurban (udhiyah) itu tetap saja hukumnya sunnah mu’akkadah, tidak semua yang melaksanakan ibadah haji melaksanakan ibadah Qurban, dan penetapan 10 Dzulhijjah bukan dari hari Arafah, tetapi dari kemunculan hilal tanggal 1 Dzulhijjah di tempat mana mereka akan melaksanakan Qurban. Tegasnya, Idul Adha bukan 'Idul Hajj. Wallah a'lam.


Kesimpulan

1. Penetapan Puasa Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah) adalah persoalan ijtihad, sehingga senantiasa menimbulkan perbedaan pandangan dan pendapat.
2. Penetapan Idul Adha dengan perspektif ilmiah melalui analisis astronomis-geografis garis tanggal memberikan fakta antara Indonesia dan Arab Saudi tidak selamanya dan seharusnya selalu jatuh pada hari yang sama, namun bergantung pada penampakan hilal saat ijtimak dimasing-masing tempat.
3. Hadits-hadits terkait dengan Dzulhijjah pada dasarnya sama sekali tidak menyatakan pelaksanaan Idul Adha harus sama dengan Arab Saudi. Hadis hanya menjelaskan, penentuan Idul Adha adalah berdasarkan terlihatnya hilal Dzulhijjah, kemudian jika ada yang hendak berqurban, agar tidak memotong rambut dan kukunya, tanpa ada kaitkan dengan hari wukuf di Arafah. Hadits juga menunjukkan bahwa pelaksanaan penyembelihan Qurban dihitung dari semenjak terlihat hilal Dzulhijjah. Tentunya hilal Dzulhijjah yang dimaksud hilal di tempat orang yang hendak berqurban (daerah setempat), bukan hilal di tempat lain.
4. Ide untuk menyamakan Idul Adha di Indonesia sama dengan Arab Saudi bahkan diseluruh dunia pada dasarnya akan mengingkari bundarnya bumi, Idul Adha bisa dilaksanakan sama diseluruh dunia jika kita mampu merubah bumi menjadi datar seperti datarnya kue lapis.
5. Perbedaan tanggal yang terjadi bukan pada kalender Hijriyah akan tetapi pada kalender Masehi yang menggunakan garis batas tanggal internasional pada bujur 180 derajat.
6. Idul Adha dengan pelaksanaan ibadah haji tidak punya kaitan langsung, waktu diwajibkannya-pun berbeda, bahkan di dalam kitab-kitab fikih, bab Haji dan bab Udhiyah ditempatkan secara terpisah. Dan penetapan 10 Dzulhijjah bukanlah dari hari Arafah, tetapi tetap dari kemunculan hilal tanggal 1 Dzulhijjah di tempat mana mereka akan melaksanakan Qurban.
7. Kesempurnaan hanya milik Allah S.w.t. Wallah a'lam



-------- oo --------


Rujukan:

Nadhal Qasum, dkk.; Itsbat as Syuhur al Hllaliyyah wa Musykilah at Tawqit al Islamy; Dirasah Falakiyyah wa Fiqhiyyah, Dar at Thali'ah Beirut-Libanon, cet. II, 1997 M

S.Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab & Rukyat, Telaah Syari’ah, Sains dan Teknologi, Gema Insani Press, cet.I, 1416 H-1996 M

Muhammad Ibn Ali as-Syaukani, Naylu[l] Awthar Syarh Muntaqa al-Akhbar min Ahaditsi Sayyid al-Akhyar, j.III, Dar al Wafa'-Kairo, cet. III, 1426 H/ 2005 M

RUKYAT HILAL; Dari Spekulasi Sampai Probabilitas Subyektif

RUKYAT HILAL; Dari Spekulasi Sampai Probabilitas Subyektif

Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, SHI, Dipl.

Rukyat, secara sederhana adalah melihat, melihat dengan mata atau melihat dengan pikiran maupun perkiraan (ilmu). Banyak, bahkan sangat banyak kata "ru'yah" atau yang seakar dengannya tertera di dalam al-Qur'an dengan makna yang beragam, mulai dari melihat dengan perkiraan, pikiran, hitungan, pengetahuan, dll., meski tidak sedikit pula bermakna zahir alias melihat dengan mata-kepala. Rukyat dalam kaitannya dengan penetapan awal-awal bulan Qamariyah, terutama Ramadhan-Syawal & Dzulhijjah adalah persoalan yang telah mengakar dalam jiwa kaum muslim, senantiasa muncul dalam kehidupan berpuasa dan hari raya di setiap tahun, setiap wilayah dan negara. Hadits-hadits Nabi S.a.w. yang begitu banyak dan masyhur tentang hal ini adalah akar fenomena ini dan diperkuat fakta otentik bahwa hal ini dipraktekkan oleh baginda Rasul Saw. dan Sahabat Ra. selama berabad-abad. Dalam realitasnya, rukyat selalu disandingkan -terkadang dihadapkan- dengan hisab-falak yang merupakan ekses dari majunya ilmu pengetahuan. Fakta membuktikan bahwa keteraturan alam raya, terutama pergerakan Bumi, Bulan dan Matahari beserta fenomenanya dapat diketahui dan ditentukan secara detil dan cermat. Sehingga secara teoritis, waktu-waktu ibadah dalam Islam yang selalu terkait dengan penampakan fenomena alami tiga benda angkasa tersebut dapat ditentukan melalui peranan ilmu pengetahuan, tepatnya ilmu falak-astronomi. Seperti halnya penetapan waktu-waktu salat wajib yang lima, penentuan arah (bayang) kiblat, penentuan awal-awal bulan Qamariyah, penentuan waktu-waktu administratif Internasional (seperti jadwal penerbangan), penentuan haul zakat, waktu haidh & nifas, dll. Namun khusus dalam penentuan awal-awal bulan Qamariyah, persoalan tidak sederhana, hadits Nabi S.a.w. menyatakan untuk melakukan pengamatan hilal dilapangan secara langsung.


Teks dan Konteks Nash

Perdebatan seputar penetapan Ramadhan-Syawal & Dzulhijjah yang telah banyak menguras energi umat Islam, esensinya berpulang pada interpretasi nash (baik al-Qur'an maupun al-Hadits). Jika ditelusuri secara cermat, baik rukyat maupun hisab keduanya sama-sama menggunakan dalil yang sama, namun kesimpulan yang dihasilkan berbeda sesuai cara telaah (wajhu istidlâl) masing-masing. Diantara ayat yang menjadi landasan epistimologis tentang hal ini adalah "faman syahida minkum as-syahra falyashumhu" QS. Al-Baqarah : 184. (barangsiapa menyaksikan bulan, maka hendaklah ia berpuasa). Perbedaan penafsiran terletak pada prase 'syahida' yang biasa diartikan dengan menyaksikan. Bagi aliran rukyat, 'syahida' diartikan menyaksikan dengan mata semata, beralasan sejalan dengan tata cara pembuktian perkara di pengadilan, seseorang dapat menjadi saksi utama bila ia melihat kejadian secara langsung.

Sebaliknya, aliran hisab memaknai prase 'syahida' secara lebih rasional. Penyaksian sesuatu tidak harus dengan mata-kepala, memadai dengan mengarah kepada kebenaran hakiki. Seseorang menyatakan persaksian akan adanya Allah S.w.t., sekalipun tidak melihat dengan mata kepala, namun ia harus dan tetap meyakini keberadaan dan kekuasaan Allah swt. Persaksian terjadinya fenomena alam, yakin keteraturan alam ini terjadi karena memang ada yang mengaturnya, selain dengan keyakinan, juga dapat terbuktikan melalui peranan Ilmu Pengetahuan dengan memahami berbagai teori ilmu, inipun disebut penyaksian.

Sementara itu, hadits Nabi S.a.w. "shumu liru'yatihi wa afthiru liru'yatihi fa in ghumma 'alaikum..." dengan beragam penggalan redaksi akhir, mulai dari; fa atimmu al-'iddah tsalatsin, fa shumu tsalatsin, faqdurulah, aqdiru lahu tsalatsin, fa 'uddu tsalatsin, dll. juga menjadi landasan epistimologis dalam persoalan penetapan awal-awal bulan Qamariyah. Melihat dengan mata kepala, agaknya telah menjadi kesepakatan mayoritas para ulama dalam memaknai hadis ini. Namun, perdebatan dan perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini senantiasa ada dan ramai, dari dulu hingga kini, dari ulama klasik sampai ulama & ilmuan modern. Imam Taqiyuddin as-Subki (w. 756 H), Ibnu al-Majdi (w. 850 H), Ibnu Daqiq al-'Id (w. 702 H), Ibnu Suraij (w. 306 H), Ibnu Qutaibah (w. 276 H), as-Syarwani (w... ?), al-Qalyubi (w. 1069 H), al-'Umairah (w... ?), Thanthawi Jawhari (w... ?), Rasyid Ridha (w... ?), Ahmad Muhammad Syakir (w. 1377 H), Dr.Yusuf al-Qaradhawi, Dr.Ali Jumu'ah, dll. adalah sederetan ulama klasik dan kontemporer yang sedikit berbeda dengan jumhur, yang memberi ruang terhadap penggunaan fasilitas modern (baca: ilmu hisab-falak) dalam menetapkan awal-awal bulan Qamariyah. Mereka berapologi bahwa majunya peradaban manusia yang diiringi pula dengan tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), hadits-hadits di atas dapat di re-aktualisasi-kan dalam konteks kekinian dan kedisinian.


FAKTA ILMIAH RUKYAT

Penerapan rukyat hilal sebagai dasar penetapan awal bulan Qamariyah, setidaknya akan bersentuhan pada beberapa keadaan baku yang menjadi karakteristik hilal awal bulan, yaitu;

1. Bulan terbenam lebih dahulu dari matahari (hilal masih/sudah berada dibawah ufuk, alias hilal negatif). Dalam keadaan ini, hilal mustahil terlihat, dan setiap kesaksian tertolak.
2. Bulan terbenam setelah terbenamnya Matahari. Dalam keadaan ini, ada kemungkinan hilal terlihat, namun bergantung ketinggiannya di atas ufuk.
3. Hilal terlihat setelah terbenamnya Matahri sebelum terjadinya itjima' (konjungsi). Hal ini belum terhitung awal bulan dan masih terhitung sebagai hilal akhir bulan. (fenomena ini terhitung sebagai kejadian yang ganjil dan jarang terjadi).
4. Terjadinya konjungsi ketika terbenamnya matahari dalam keadaan tertutup (kasyifah), maka dipastikan hilal tidak akan terlihat karena kekontrasan cahaya Matahari.
5. Bulan terbenam setelah terbenamnya Matahari, sementara itu diwilayah lain sebaliknya. Maka dalam hal ini, setiap wilayah berlaku mathla' masing-masing berlandaskan pada hadits Kuraib.
6. Bulan terbenam sebelum terbenamnya Matahari di sebagian wilayah, sementara di wilayah lain sebaliknya. Maka, rukyah berlaku pada mabda' (mathla') masing-masing, dan terkadang, point 4, 5, dan 6 dikembalikan kepada penguasa sebagai ulil amri. (Lihat: Prof. Dr. Muhammad Ahmad Sulaiman, Nahwu Shiyaghah Mabady' at-Taqwim al-Islamy al-'Alamy, h. 18).


Enam keadaan diatas merupakan fakta ilmiah rukyat yang hendaknya dipahami secara baik. Dan dalam aktifitas rukyat hilal –sebagaimana tertera dalam buku-buku fikih maupun hadits- sama dimaklumi perlu adanya saksi adil. Cukup beragam kriteria yang ditawarkan fuqaha' dalam hal ini, ringkasnya; 1] Sehat badan dan pikiran. 2] Jelas penglihatan. 3] Jujur & terpercaya. 4] Memahami teks dan konteks ilmiah rukyat, yang keempat syarat ini dikemas dengan sumpah.

Terhadap point 1,2, dan 3, agaknya banyak orang yang mampu melakukannya, karena kelengkapan ini pada umumya dimiliki manusia. Namun khusus point 4, diperlukan kedetilannya. Antara lain meliputi;

1. Pemahaman lapangan; area rukyat ter-ideal adalah pinggir laut lepas dan bebas tanpa penghalang (tempat yang tinggi).
2. Waktu rukyat; yaitu semenjak terbenamnya Matahari setelah terjadinya konjungsi hingga berlalunya masa munculnya hilal, di mana berdasar penelitian, hilal hanya hadir 15 s.d. 1 jam saja.
3. Keadaan teknis hilal; hilal tanggal satu adalah hilal yang tanduknya sedikit mengarah ke Timur, jika sedikit mengarah ke bawah (Barat) masih terhitung hilal akhir bulan, dan bentuk hilal sangat tipis dan redup.
4. Umur hilal; minimal 8 jam semenjak terjadinya konjungsi (dalam kesepakatan MABIMS), karena umur bulan akan berpengaruh terhadap kejelasan bentuk dan sinar yang akan muncul.


Ringkasnya, apa, bagaimana, berapa, berapa lama, kapan dan dimana hilal itu ? Deretan pertanyaan teknis hilal ini hendaknya terlebih dahulu dipahami secara baik oleh para perukyat. Namun kenyataan di lapangan, banyak perukyat yang tidak memahami hal-hal teknis ini, yang terjadi hanyalah tunduk patuh terhadap literalis hadits tanpa riset dan reserv ilmiah. Hadits Nabi Saw. memang sederhana, namun menuntut praktek tepat yang terkait dengan tiga fenomena alami benda angkasa (Bulan, Bumi dan Matahari). Rasul Saw. memang tidak pernah menanyakan serinci dan se-eksplisit ini, karena ketika itu sarana satu-satunya hanyalah pengamatan, dan sahabat pun lihai dan piawai dengan fenomena langit.


SPEKULASI DAN PROBABILITAS RUKYAT


Dimaklumi, rukyat merupakan proses manusiawi, dalam melihat segala kemungkinan dapat terjadi, bergantung pada kondisi fisik dan psikis perukyat dan terutama kedalaman dan pemahamannya tentang teknis rukyat itu sendiri. Aktifitas rukyat adalah pengamatan alami yang selalu berubah dari satu bulan Qamariyah dengan bulan Qamariyah sebelum dan sesudahnya. Ditambah, obyek yang dilihat atau yang akan terlihat di langit tidak hanya hilal, ada benda dan fenomena angkasa lain, seperti Venus, Mars, awan yang kadang mirip hilal, hujan, mendung, dll. Berdasarkan penelitian intensif, terdapat beberapa kelemahan dalam rukyat, yaitu a.l. sbb.:

[1.] Jauhnya jarak hilal dari permukaan Bumi. [2.] Hilal hadir hanya sebentar saja. [3.] Kondisi sore hari yang kadang tidak mendukung, terutama menyangkut pencahayaan, kemuncuan hilal sangat singkat, rukyat harus dilaksanakan secepat mungkin setelah Matahari terbenam. [4.] Banyaknya penghalang di udara. [5.] Adanya faktor psikis (kejiwaan/mental) dalam merukyat. (Lihat: Dr.Ir.H.S.Farid Ruskanda, Msc, Apu.; 100 Masalah Hisab & Rukyat Telaah Syari’ah, Sains dan Teknologi, h. 41-46 ).

Lebih lanjut, Dr.Ing. Fahmi Anhar, Member of Islamic Crescent's Observation Project (ICOP) menyatakan, berdasarkan pengalamannya selama menekuni hisab & rukyat sejaka tahun 1991, menerima banyak informasi (seperti dari; Arab Saudi, Yaman, Yordania, Libya, Mesir, dll.) yang mengklaim hilal telah terlihat, padahal hari itu masih malam 29 Sya'ban, dan informasi itu terkadang terjadi sebelum terjadinya konjungsi alias bulan belum lahir. Orang-orang yang mengikuti informasi ini tentu tidaklah salah, karena didasari pada dugaan yang kuat (zhan), namun secara astronomis hal ini tetaplah tertolak. (Lihat: Dr.Ing. Fahmi Anhar; Fakta Hisab, Rukyat dan Rukyat Global, h. 3-4) Secara logika, tentu kita sulit menerima klaim hilal terlihat sementara dilokasi pengamatan cuaca tidak mendukung (karena hujan, tebalnya awan, dll.), hilal yang terlihat dari tengah kota yang banyak penghalang seperti gedung, gunung, lampu-lampu kota, dll. sementara perukyat diluar kota yang lebih bebas dan luas tidak melihat, menerima klaim terlihat hilal hanya dengan legalisir sumpah saja bahwa ia muslim, jujur, dll. tanpa memperhatikan kondisi penglihatan dan pengetahuannya tentang hilal, dll.

Dari keterangan di atas, jelas bahwa rukyah mata semata (ru'yah bashariyah) cukup sulit bahkan sangat sulit untuk dilakukan. Dan sesuatu yang telah 'pasti', aktifitas tersebut dapat tergantikan dengan peranan hisab-falak, hanya saja –dan tentu saja- tidak semua ulama dan umat sepakat, karena hadits Nabi Saw. menyatakan untuk melihat hilal, bukan menghitung hilal. Sehingga muncul ide untuk mengelaborasi keduanya dalam bingkai dan tujuan yang sama, hisab & rukyat. Para pakar sains, terkhusus astronom sepakat bahwa rukyat yang tepat akan selalu bersesuaian dengan hisab yang detil (ru'yah shahihah muwafiq ila hisab daqiq). Dalam hal inilah negara-negara Arab Islam mengkombinasi dua hal ini, hisab dan rukyat. Hisab dilakukan untuk memastikan terjadinya konjungsi dan hilal sudah berada di atas ufuk. Jika demikian, baru diturunkanlah tim untuk melakukan pengamatan secara langsung. Sebelum pengamatan, ditentukan lebih dulu lokasi pengamatan dengan memperkirakan ketinggiannya dari atas permukaan laut, kerendahan ufuk, luas dan bebasnya lokasi pengamatan, dll. Sebagai misal, negara Mesir, sesuai keputusan yang dikeluarkan Dewan Fatwa (Darul Ifta')-nya, lokasi pengamatan berada pada tujuh lokasi; Helwan, Qatamea, 6 Oktober, Sallum, Qina, Aswan dan Wahat. Tim yang tergabung di dalamnya terdiri dari berbagai unsur yaitu perwakilan Ma'had al-Qawmy lil Buhuts al-Falakiyyah wal Geofizikiyyah Helwan, pakar dan pemerhati hukum Islam dari Darul Ifta', Imam-imam masjid setempat, LSM resmi, dan beberapa pakar dari departemen Falak-Astronomi Universitas Al-Azhar dan Universitas Kairo. Berikutnya hasil pengamatan (baik hilal terlihat atau istikmal) dikemas dalam satu keputusan yang dikeluarkan Darul Ifta' dan disiarkan ke seluruh masyarakat melalui berbagai media. Maka masyarakat menerima dan mengikuti keputusan ini (meski terkadang keputusan tersebut kontroversial, dan memang tak jarang kontroversial) perbedaan niscaya selalu terelakkan.

Berbeda halnya di negara kita Indonesia, penetapan Ramadhan-Syawal & Dzulhijjah sangatlah pelik. Mulai dari model yang digunakan (antara rukyat dan hisab), diakui didalam rukyat terdapat berbagai tata cara, mulai dari rukyat murni (ru'yah bashariyah), rukyat dengan alat (ru'yah bi teknology), rukyat berpandu hisab (rukyat bil hisab), rukyat global (ittihad al-mathali'), rukyat lokal (ikhtilaf al-mathali'), sampai dengan rukyat konyol (ru'yah khathi'ah) yang dilakukan tanpa memperkirakan keadaan teknis hilal dan lokasi pengamatan. Berikutnya, hisab-pun tak kalah serunya, mulai hisab murni, hisab wujud hilal, hisab imkan rukyat 2 derajat, 5 derajat, 7 derajat, 10,5 derajat, hisab ba'dal ghurub, hisab qablal ghurub, dll. Berikutnya persoalan bagaimana dan siapa yang berwenang menetapkan keputusan, setiap elemen sepeti ormas-ormas merasa berhak menetapkan keputusan, demikian lagi berbagai institusi dan partai tak jarang pula mengeluarkan fatwa atau keputusan, seperti PKS, Hizbut Tahrir, Pesantren-pesantren, dll. Selanjutnya lagi, persoalan luasnya wilayah Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke yang terkadang terpisah dalam dua garis penanggalan, sehingga secara fakta, Indonesia memang terkadang harus berpuasa dan atau berhari raya pada hari 'h' yang berbeda. Permasalahan finalnya adalah, keputusan yang ditetapkan masing-masing pihak tidak selalu sama, sehingga masyarakat bimbang, mana yang benar dan mana yang harus diikuti.


PENUTUP

Dalam konteks Indonesia, setidaknya tiga elemen penting yang berperan dalam menetapkan awal-awal bulan Qamariyah (terutama Ramadhan-Syawal & Dzulhijjah) yaitu; NU dengan konsep Rukyat Hilalnya, Muhammadiyah dengan Wujud Hilalnya dan DEPAG (Pemerintah) dengan Imkan Rukyatnya. Konsep Rukyat Hilal yang dikembangkan NU berprinsip, dalam keadaan apapun (hilal sudah wujud atau belum setelah terjadinya konjungsi), NU tetap melakukan rukyat sebagai optimisme terhadap hadits-hadits Nabi Saw.. Sementara Muhammadiyah berprinsip, dimensi ideal wahyu dengan peradaban manusia akan selalu berselaras. Islam adalah agama yang mudah serta menghargai ilmu pengetahuan, majunya ilmu pengetahuan pada realitasnya dapat menggantikan rukyat semata, rukyat saat ini sulit dan tidak perlu lagi. Dalam tinjauan sains, munculnya hilal setelah terjadinya konjungsi berapapun ketinggiannya, secara astronomis menunjukkan masuknya bulan baru. Sementara DEPAG sebagai 'ulil amri' mengambil jalan tengah dengan menggabungkan antara rukyat dan hisab hingga lahirlah konsep imkan rukyat, kriteria yang dipilih 2 derajat. Bila ditilik, ternyata masing-masing konsep memiliki keunggulan dan kekurangan, dan ini diakui pula oleh para 'ashab' konsep ini masing-masing. Karena itulah konsep 'titik temu' yang banyak diusulkan banyak pihak merupakan 'harga mati' yang harus diusahakan. Mempertentangkan antara rukyat dan hisab adalah kaji lama yang telah usang bahkan lapuk. Kemajuan IPTEK berimplikasi pada semakin akuratnya teori-teori ilmu pengetahuan, hingga mencapai derajat 'pasti', dan terus berubah menuju yang 'lebih pasti'. Sementara 'rukyat semata' dengan segala keterbatasannya semakin sulit dilakukan seiring berbedanya lokasi dan kondisi langit yang dilihat, hingga rukyat ilmiah (dengan syarat & kriteria seperti diatas) adalah solusinya. Pada dasarnya, hemat penulis, kedua metode ini (rukyat ilmiah atau hisab mutlak) dengan satu kriteria yang disepakati, jika satu saja dipilih sungguh telah memadai, paling tidak untuk meredakan ketegangan dan kebingungan masyarakat, karena rukyat yang tepat akan selalu bersesuaian dengan hisab yang akurat. Karena itulah, elit ormas dan masyarakat, politik dan pemerintah dan seluruh elemen terkait perlu menyatukan langkah demi tercapainya persatuan ibadah ini, meski fakta sains terkadang tidak merestuinya bahkan fikih-pun membolehkan untuk berbeda, namun, kultur bangsa kita belum siap untuk ini, bukankah bersatu itu lebih indah ketimbang berbeda ? Semoga !

 Program Pasca Sarjana Institut Manuskrip Arab Kairo, Jurusan Filologi & Studi Manuskrip Arab, Anggota Tim Association of Falak Deep Analysis (AFDA) PCIM Kairo, Anggota Kajian Mingguan Falak-Astronomi Jam'iyyah al-Falakiyyah Jami' Mushthafa Mahmud Kairo-Mesir.

RUKYAT HILAL; Dari Spekulasi Sampai Probabilitas Subyektif

RUKYAT HILAL; Dari Spekulasi Sampai Probabilitas Subyektif

Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, SHI, Dipl.

Rukyat, secara sederhana adalah melihat, melihat dengan mata atau melihat dengan pikiran maupun perkiraan (ilmu). Banyak, bahkan sangat banyak kata "ru'yah" atau yang seakar dengannya tertera di dalam al-Qur'an dengan makna yang beragam, mulai dari melihat dengan perkiraan, pikiran, hitungan, pengetahuan, dll., meski tidak sedikit pula bermakna zahir alias melihat dengan mata-kepala. Rukyat dalam kaitannya dengan penetapan awal-awal bulan Qamariyah, terutama Ramadhan-Syawal & Dzulhijjah adalah persoalan yang telah mengakar dalam jiwa kaum muslim, senantiasa muncul dalam kehidupan berpuasa dan hari raya di setiap tahun, setiap wilayah dan negara. Hadits-hadits Nabi S.a.w. yang begitu banyak dan masyhur tentang hal ini adalah akar fenomena ini dan diperkuat fakta otentik bahwa hal ini dipraktekkan oleh baginda Rasul Saw. dan Sahabat Ra. selama berabad-abad. Dalam realitasnya, rukyat selalu disandingkan -terkadang dihadapkan- dengan hisab-falak yang merupakan ekses dari majunya ilmu pengetahuan. Fakta membuktikan bahwa keteraturan alam raya, terutama pergerakan Bumi, Bulan dan Matahari beserta fenomenanya dapat diketahui dan ditentukan secara detil dan cermat. Sehingga secara teoritis, waktu-waktu ibadah dalam Islam yang selalu terkait dengan penampakan fenomena alami tiga benda angkasa tersebut dapat ditentukan melalui peranan ilmu pengetahuan, tepatnya ilmu falak-astronomi. Seperti halnya penetapan waktu-waktu salat wajib yang lima, penentuan arah (bayang) kiblat, penentuan awal-awal bulan Qamariyah, penentuan waktu-waktu administratif Internasional (seperti jadwal penerbangan), penentuan haul zakat, waktu haidh & nifas, dll. Namun khusus dalam penentuan awal-awal bulan Qamariyah, persoalan tidak sederhana, hadits Nabi S.a.w. menyatakan untuk melakukan pengamatan hilal dilapangan secara langsung.


Teks dan Konteks Nash

Perdebatan seputar penetapan Ramadhan-Syawal & Dzulhijjah yang telah banyak menguras energi umat Islam, esensinya berpulang pada interpretasi nash (baik al-Qur'an maupun al-Hadits). Jika ditelusuri secara cermat, baik rukyat maupun hisab keduanya sama-sama menggunakan dalil yang sama, namun kesimpulan yang dihasilkan berbeda sesuai cara telaah (wajhu istidlâl) masing-masing. Diantara ayat yang menjadi landasan epistimologis tentang hal ini adalah "faman syahida minkum as-syahra falyashumhu" QS. Al-Baqarah : 184. (barangsiapa menyaksikan bulan, maka hendaklah ia berpuasa). Perbedaan penafsiran terletak pada prase 'syahida' yang biasa diartikan dengan menyaksikan. Bagi aliran rukyat, 'syahida' diartikan menyaksikan dengan mata semata, beralasan sejalan dengan tata cara pembuktian perkara di pengadilan, seseorang dapat menjadi saksi utama bila ia melihat kejadian secara langsung.

Sebaliknya, aliran hisab memaknai prase 'syahida' secara lebih rasional. Penyaksian sesuatu tidak harus dengan mata-kepala, memadai dengan mengarah kepada kebenaran hakiki. Seseorang menyatakan persaksian akan adanya Allah S.w.t., sekalipun tidak melihat dengan mata kepala, namun ia harus dan tetap meyakini keberadaan dan kekuasaan Allah swt. Persaksian terjadinya fenomena alam, yakin keteraturan alam ini terjadi karena memang ada yang mengaturnya, selain dengan keyakinan, juga dapat terbuktikan melalui peranan Ilmu Pengetahuan dengan memahami berbagai teori ilmu, inipun disebut penyaksian.

Sementara itu, hadits Nabi S.a.w. "shumu liru'yatihi wa afthiru liru'yatihi fa in ghumma 'alaikum..." dengan beragam penggalan redaksi akhir, mulai dari; fa atimmu al-'iddah tsalatsin, fa shumu tsalatsin, faqdurulah, aqdiru lahu tsalatsin, fa 'uddu tsalatsin, dll. juga menjadi landasan epistimologis dalam persoalan penetapan awal-awal bulan Qamariyah. Melihat dengan mata kepala, agaknya telah menjadi kesepakatan mayoritas para ulama dalam memaknai hadis ini. Namun, perdebatan dan perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini senantiasa ada dan ramai, dari dulu hingga kini, dari ulama klasik sampai ulama & ilmuan modern. Imam Taqiyuddin as-Subki (w. 756 H), Ibnu al-Majdi (w. 850 H), Ibnu Daqiq al-'Id (w. 702 H), Ibnu Suraij (w. 306 H), Ibnu Qutaibah (w. 276 H), as-Syarwani (w... ?), al-Qalyubi (w. 1069 H), al-'Umairah (w... ?), Thanthawi Jawhari (w... ?), Rasyid Ridha (w... ?), Ahmad Muhammad Syakir (w. 1377 H), Dr.Yusuf al-Qaradhawi, Dr.Ali Jumu'ah, dll. adalah sederetan ulama klasik dan kontemporer yang sedikit berbeda dengan jumhur, yang memberi ruang terhadap penggunaan fasilitas modern (baca: ilmu hisab-falak) dalam menetapkan awal-awal bulan Qamariyah. Mereka berapologi bahwa majunya peradaban manusia yang diiringi pula dengan tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), hadits-hadits di atas dapat di re-aktualisasi-kan dalam konteks kekinian dan kedisinian.


FAKTA ILMIAH RUKYAT

Penerapan rukyat hilal sebagai dasar penetapan awal bulan Qamariyah, setidaknya akan bersentuhan pada beberapa keadaan baku yang menjadi karakteristik hilal awal bulan, yaitu;

1. Bulan terbenam lebih dahulu dari matahari (hilal masih/sudah berada dibawah ufuk, alias hilal negatif). Dalam keadaan ini, hilal mustahil terlihat, dan setiap kesaksian tertolak.
2. Bulan terbenam setelah terbenamnya Matahari. Dalam keadaan ini, ada kemungkinan hilal terlihat, namun bergantung ketinggiannya di atas ufuk.
3. Hilal terlihat setelah terbenamnya Matahri sebelum terjadinya itjima' (konjungsi). Hal ini belum terhitung awal bulan dan masih terhitung sebagai hilal akhir bulan. (fenomena ini terhitung sebagai kejadian yang ganjil dan jarang terjadi).
4. Terjadinya konjungsi ketika terbenamnya matahari dalam keadaan tertutup (kasyifah), maka dipastikan hilal tidak akan terlihat karena kekontrasan cahaya Matahari.
5. Bulan terbenam setelah terbenamnya Matahari, sementara itu diwilayah lain sebaliknya. Maka dalam hal ini, setiap wilayah berlaku mathla' masing-masing berlandaskan pada hadits Kuraib.
6. Bulan terbenam sebelum terbenamnya Matahari di sebagian wilayah, sementara di wilayah lain sebaliknya. Maka, rukyah berlaku pada mabda' (mathla') masing-masing, dan terkadang, point 4, 5, dan 6 dikembalikan kepada penguasa sebagai ulil amri. (Lihat: Prof. Dr. Muhammad Ahmad Sulaiman, Nahwu Shiyaghah Mabady' at-Taqwim al-Islamy al-'Alamy, h. 18).


Enam keadaan diatas merupakan fakta ilmiah rukyat yang hendaknya dipahami secara baik. Dan dalam aktifitas rukyat hilal –sebagaimana tertera dalam buku-buku fikih maupun hadits- sama dimaklumi perlu adanya saksi adil. Cukup beragam kriteria yang ditawarkan fuqaha' dalam hal ini, ringkasnya; 1] Sehat badan dan pikiran. 2] Jelas penglihatan. 3] Jujur & terpercaya. 4] Memahami teks dan konteks ilmiah rukyat, yang keempat syarat ini dikemas dengan sumpah.

Terhadap point 1,2, dan 3, agaknya banyak orang yang mampu melakukannya, karena kelengkapan ini pada umumya dimiliki manusia. Namun khusus point 4, diperlukan kedetilannya. Antara lain meliputi;

1. Pemahaman lapangan; area rukyat ter-ideal adalah pinggir laut lepas dan bebas tanpa penghalang (tempat yang tinggi).
2. Waktu rukyat; yaitu semenjak terbenamnya Matahari setelah terjadinya konjungsi hingga berlalunya masa munculnya hilal, di mana berdasar penelitian, hilal hanya hadir 15 s.d. 1 jam saja.
3. Keadaan teknis hilal; hilal tanggal satu adalah hilal yang tanduknya sedikit mengarah ke Timur, jika sedikit mengarah ke bawah (Barat) masih terhitung hilal akhir bulan, dan bentuk hilal sangat tipis dan redup.
4. Umur hilal; minimal 8 jam semenjak terjadinya konjungsi (dalam kesepakatan MABIMS), karena umur bulan akan berpengaruh terhadap kejelasan bentuk dan sinar yang akan muncul.


Ringkasnya, apa, bagaimana, berapa, berapa lama, kapan dan dimana hilal itu ? Deretan pertanyaan teknis hilal ini hendaknya terlebih dahulu dipahami secara baik oleh para perukyat. Namun kenyataan di lapangan, banyak perukyat yang tidak memahami hal-hal teknis ini, yang terjadi hanyalah tunduk patuh terhadap literalis hadits tanpa riset dan reserv ilmiah. Hadits Nabi Saw. memang sederhana, namun menuntut praktek tepat yang terkait dengan tiga fenomena alami benda angkasa (Bulan, Bumi dan Matahari). Rasul Saw. memang tidak pernah menanyakan serinci dan se-eksplisit ini, karena ketika itu sarana satu-satunya hanyalah pengamatan, dan sahabat pun lihai dan piawai dengan fenomena langit.


SPEKULASI DAN PROBABILITAS RUKYAT


Dimaklumi, rukyat merupakan proses manusiawi, dalam melihat segala kemungkinan dapat terjadi, bergantung pada kondisi fisik dan psikis perukyat dan terutama kedalaman dan pemahamannya tentang teknis rukyat itu sendiri. Aktifitas rukyat adalah pengamatan alami yang selalu berubah dari satu bulan Qamariyah dengan bulan Qamariyah sebelum dan sesudahnya. Ditambah, obyek yang dilihat atau yang akan terlihat di langit tidak hanya hilal, ada benda dan fenomena angkasa lain, seperti Venus, Mars, awan yang kadang mirip hilal, hujan, mendung, dll. Berdasarkan penelitian intensif, terdapat beberapa kelemahan dalam rukyat, yaitu a.l. sbb.:

[1.] Jauhnya jarak hilal dari permukaan Bumi. [2.] Hilal hadir hanya sebentar saja. [3.] Kondisi sore hari yang kadang tidak mendukung, terutama menyangkut pencahayaan, kemuncuan hilal sangat singkat, rukyat harus dilaksanakan secepat mungkin setelah Matahari terbenam. [4.] Banyaknya penghalang di udara. [5.] Adanya faktor psikis (kejiwaan/mental) dalam merukyat. (Lihat: Dr.Ir.H.S.Farid Ruskanda, Msc, Apu.; 100 Masalah Hisab & Rukyat Telaah Syari’ah, Sains dan Teknologi, h. 41-46 ).

Lebih lanjut, Dr.Ing. Fahmi Anhar, Member of Islamic Crescent's Observation Project (ICOP) menyatakan, berdasarkan pengalamannya selama menekuni hisab & rukyat sejaka tahun 1991, menerima banyak informasi (seperti dari; Arab Saudi, Yaman, Yordania, Libya, Mesir, dll.) yang mengklaim hilal telah terlihat, padahal hari itu masih malam 29 Sya'ban, dan informasi itu terkadang terjadi sebelum terjadinya konjungsi alias bulan belum lahir. Orang-orang yang mengikuti informasi ini tentu tidaklah salah, karena didasari pada dugaan yang kuat (zhan), namun secara astronomis hal ini tetaplah tertolak. (Lihat: Dr.Ing. Fahmi Anhar; Fakta Hisab, Rukyat dan Rukyat Global, h. 3-4) Secara logika, tentu kita sulit menerima klaim hilal terlihat sementara dilokasi pengamatan cuaca tidak mendukung (karena hujan, tebalnya awan, dll.), hilal yang terlihat dari tengah kota yang banyak penghalang seperti gedung, gunung, lampu-lampu kota, dll. sementara perukyat diluar kota yang lebih bebas dan luas tidak melihat, menerima klaim terlihat hilal hanya dengan legalisir sumpah saja bahwa ia muslim, jujur, dll. tanpa memperhatikan kondisi penglihatan dan pengetahuannya tentang hilal, dll.

Dari keterangan di atas, jelas bahwa rukyah mata semata (ru'yah bashariyah) cukup sulit bahkan sangat sulit untuk dilakukan. Dan sesuatu yang telah 'pasti', aktifitas tersebut dapat tergantikan dengan peranan hisab-falak, hanya saja –dan tentu saja- tidak semua ulama dan umat sepakat, karena hadits Nabi Saw. menyatakan untuk melihat hilal, bukan menghitung hilal. Sehingga muncul ide untuk mengelaborasi keduanya dalam bingkai dan tujuan yang sama, hisab & rukyat. Para pakar sains, terkhusus astronom sepakat bahwa rukyat yang tepat akan selalu bersesuaian dengan hisab yang detil (ru'yah shahihah muwafiq ila hisab daqiq). Dalam hal inilah negara-negara Arab Islam mengkombinasi dua hal ini, hisab dan rukyat. Hisab dilakukan untuk memastikan terjadinya konjungsi dan hilal sudah berada di atas ufuk. Jika demikian, baru diturunkanlah tim untuk melakukan pengamatan secara langsung. Sebelum pengamatan, ditentukan lebih dulu lokasi pengamatan dengan memperkirakan ketinggiannya dari atas permukaan laut, kerendahan ufuk, luas dan bebasnya lokasi pengamatan, dll. Sebagai misal, negara Mesir, sesuai keputusan yang dikeluarkan Dewan Fatwa (Darul Ifta')-nya, lokasi pengamatan berada pada tujuh lokasi; Helwan, Qatamea, 6 Oktober, Sallum, Qina, Aswan dan Wahat. Tim yang tergabung di dalamnya terdiri dari berbagai unsur yaitu perwakilan Ma'had al-Qawmy lil Buhuts al-Falakiyyah wal Geofizikiyyah Helwan, pakar dan pemerhati hukum Islam dari Darul Ifta', Imam-imam masjid setempat, LSM resmi, dan beberapa pakar dari departemen Falak-Astronomi Universitas Al-Azhar dan Universitas Kairo. Berikutnya hasil pengamatan (baik hilal terlihat atau istikmal) dikemas dalam satu keputusan yang dikeluarkan Darul Ifta' dan disiarkan ke seluruh masyarakat melalui berbagai media. Maka masyarakat menerima dan mengikuti keputusan ini (meski terkadang keputusan tersebut kontroversial, dan memang tak jarang kontroversial) perbedaan niscaya selalu terelakkan.

Berbeda halnya di negara kita Indonesia, penetapan Ramadhan-Syawal & Dzulhijjah sangatlah pelik. Mulai dari model yang digunakan (antara rukyat dan hisab), diakui didalam rukyat terdapat berbagai tata cara, mulai dari rukyat murni (ru'yah bashariyah), rukyat dengan alat (ru'yah bi teknology), rukyat berpandu hisab (rukyat bil hisab), rukyat global (ittihad al-mathali'), rukyat lokal (ikhtilaf al-mathali'), sampai dengan rukyat konyol (ru'yah khathi'ah) yang dilakukan tanpa memperkirakan keadaan teknis hilal dan lokasi pengamatan. Berikutnya, hisab-pun tak kalah serunya, mulai hisab murni, hisab wujud hilal, hisab imkan rukyat 2 derajat, 5 derajat, 7 derajat, 10,5 derajat, hisab ba'dal ghurub, hisab qablal ghurub, dll. Berikutnya persoalan bagaimana dan siapa yang berwenang menetapkan keputusan, setiap elemen sepeti ormas-ormas merasa berhak menetapkan keputusan, demikian lagi berbagai institusi dan partai tak jarang pula mengeluarkan fatwa atau keputusan, seperti PKS, Hizbut Tahrir, Pesantren-pesantren, dll. Selanjutnya lagi, persoalan luasnya wilayah Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke yang terkadang terpisah dalam dua garis penanggalan, sehingga secara fakta, Indonesia memang terkadang harus berpuasa dan atau berhari raya pada hari 'h' yang berbeda. Permasalahan finalnya adalah, keputusan yang ditetapkan masing-masing pihak tidak selalu sama, sehingga masyarakat bimbang, mana yang benar dan mana yang harus diikuti.


PENUTUP

Dalam konteks Indonesia, setidaknya tiga elemen penting yang berperan dalam menetapkan awal-awal bulan Qamariyah (terutama Ramadhan-Syawal & Dzulhijjah) yaitu; NU dengan konsep Rukyat Hilalnya, Muhammadiyah dengan Wujud Hilalnya dan DEPAG (Pemerintah) dengan Imkan Rukyatnya. Konsep Rukyat Hilal yang dikembangkan NU berprinsip, dalam keadaan apapun (hilal sudah wujud atau belum setelah terjadinya konjungsi), NU tetap melakukan rukyat sebagai optimisme terhadap hadits-hadits Nabi Saw.. Sementara Muhammadiyah berprinsip, dimensi ideal wahyu dengan peradaban manusia akan selalu berselaras. Islam adalah agama yang mudah serta menghargai ilmu pengetahuan, majunya ilmu pengetahuan pada realitasnya dapat menggantikan rukyat semata, rukyat saat ini sulit dan tidak perlu lagi. Dalam tinjauan sains, munculnya hilal setelah terjadinya konjungsi berapapun ketinggiannya, secara astronomis menunjukkan masuknya bulan baru. Sementara DEPAG sebagai 'ulil amri' mengambil jalan tengah dengan menggabungkan antara rukyat dan hisab hingga lahirlah konsep imkan rukyat, kriteria yang dipilih 2 derajat. Bila ditilik, ternyata masing-masing konsep memiliki keunggulan dan kekurangan, dan ini diakui pula oleh para 'ashab' konsep ini masing-masing. Karena itulah konsep 'titik temu' yang banyak diusulkan banyak pihak merupakan 'harga mati' yang harus diusahakan. Mempertentangkan antara rukyat dan hisab adalah kaji lama yang telah usang bahkan lapuk. Kemajuan IPTEK berimplikasi pada semakin akuratnya teori-teori ilmu pengetahuan, hingga mencapai derajat 'pasti', dan terus berubah menuju yang 'lebih pasti'. Sementara 'rukyat semata' dengan segala keterbatasannya semakin sulit dilakukan seiring berbedanya lokasi dan kondisi langit yang dilihat, hingga rukyat ilmiah (dengan syarat & kriteria seperti diatas) adalah solusinya. Pada dasarnya, hemat penulis, kedua metode ini (rukyat ilmiah atau hisab mutlak) dengan satu kriteria yang disepakati, jika satu saja dipilih sungguh telah memadai, paling tidak untuk meredakan ketegangan dan kebingungan masyarakat, karena rukyat yang tepat akan selalu bersesuaian dengan hisab yang akurat. Karena itulah, elit ormas dan masyarakat, politik dan pemerintah dan seluruh elemen terkait perlu menyatukan langkah demi tercapainya persatuan ibadah ini, meski fakta sains terkadang tidak merestuinya bahkan fikih-pun membolehkan untuk berbeda, namun, kultur bangsa kita belum siap untuk ini, bukankah bersatu itu lebih indah ketimbang berbeda ? Semoga !

 Program Pasca Sarjana Institut Manuskrip Arab Kairo, Jurusan Filologi & Studi Manuskrip Arab, Anggota Tim Association of Falak Deep Analysis (AFDA) PCIM Kairo, Anggota Kajian Mingguan Falak-Astronomi Jam'iyyah al-Falakiyyah Jami' Mushthafa Mahmud Kairo-Mesir.

Problematika Hisab-Rukyat (Kasus Idul Fitri 1429 H)

Problematika Hisab-Rukyat (Kasus Idul Fitri 1429 H)

Oleh: Muhammad Rofiq, Lc.

Hari ini (tanggal 29 September 2008), kita telah sama-sama membaca dan mendengar berita yang diturunkan oleh beberapa web-site, stasiun televisi dan surat kabar di tanah air yang menyebutkan bahwa ada tiga pihak yang sudah menyatakan waktu idul fitri jatuh pada tanggal 30 September 2008. Ketiga pihak tersebut adalah Jamaah an-Nadzir di Sulawesi Selatan, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan pemerintahan Arab Saudi. Jamaah an-Nadzir, melalui mekanisme melihat fenomena air laut pasang, mengeluarkan keputusan bahwa maghrib (saat matahari terbenam) tanggal 29 september 2008 sudah masuk 1 syawal 1429 H. Maka pada tanggal 30 September 2008 mereka akan melaksanakan salat hari raya idul fitri. Jamaah ini mempercayai bahwa ketika air laut pasang maka bumi, bulan dan matahari berada dalam posisi sejajar. Sampai detik ini, saya sebenarnya belum pernah membaca buku yang berisi penjelasan ilmiah tentang konsep ini. Saya belum menemukan satu literatur pun yang mampu menjelaskan hubungan antara fenomena pasangnya air laut dengan waktu terjadinya ijtima' (konjungsi), seperti yang diyakini oleh jamaah an-Nadzir.

Dalam berita yang ditulis www.detik.com, pemimpin spritual kelompok ini menyatakan bahwa mereka sebenarnya mengkombinasikan metode hisab dan rukyah untuk menentukan awal bulan syawal. Keputusan berhari raya pada tanggal 30 September ini bertentangan jika diukur dengan menggunakan metode rukyat murni, karena pada hari itu hilal di seluruh wilayah Republik Indonesia sudah tenggelam terlebih dahulu ketika matahari tenggelam. Di Manado Sulawesi Utara, daerah yang dekat dengan Makasar (tempat asalnya jamaah an-Nadzir), ketinggian hilal saat terbenam matahari adalah minus 2 derajat. Di Jakarta hilal berada minus 0,9 derajat di bawah ufuk. Jika diukur dengan menggunakan metode hisab, keputusan hari raya pada tanggal 30 september baru bisa dibenarkan (dalam artian menjadi logis dan tidak kontroversi) jika metode yang digunakan adalah ijtimak qablal ghurub sama seperti yang digunakan oleh negara Libya. Keputusan hari raya tanggal 30 ini sulit dibenarkan jika ditilik menggunakan perspektif metode wujudul hilal, atau apalagi imkanur rukyah. Metode ijtimak qablal ghurub ini sendiri masih diperdebatkan di tengah para ulama Islam, apakah absah untuk dijadikan parameter penentuan awal bulan qamariah. Sebagian besar ulama menolak metode ini karena dianggap terlalu sekuler dan, meminjam bahasa Profesor Sulaiman, terlalu utopis-idealis (wahmiyyah) sekaligus terkesan men-ta'thil hadis karena mengabaikan perintah melaksanakan rukyah.

Yang lebih aneh lagi sebenarnya adalah Saudi Arabia. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, keputusan hari raya di Saudi masih saja kontroversial. Saya baru saja menge-cek software JAS (Jordanian Astronomy Society) yang dibuat oleh astronom asal negara Jordania yang bernama Muhammad Syaukat Audah. Berdasarkan penghitungan otomatis program ini, disebutkan bahwa pada tanggal 29 September (hari di mana terjadinya ijtimak) pada saat matahari tenggelam bulan sebenarnya sudah tenggelam duluan di kota Makah. Hilal telah berada pada ketinggian -01.3°. Dengan demikian dalam ketinggian seperti itu sangat-sangat mustahil hilal terlihat, sehingga puasa harus di-istikmal-kan menjadi tiga puluh hari. "It's impossible to see the crescent even with optical aid." Tapi pada kenyataannya, Saudi justru mengeluarkan keputusan hari raya atau 1 Syawal jatuh pada tanggal 30 September.

Fenomena di Saudi ini terjadi karena mereka sampai saat ini enggan menggunakan hisab untuk menentukan awal bulan, bahkan sekedar sebagai variabel pembantu untuk menegasikan keterangan yang salah (lin–nafy). Tahun 2007 yang lalu, saya berkesempatan mengikuti pertemuan ahli falak dua negara; Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Arab Mesir di Hilwan. Salah seorang utusan (astronom) Saudi bercerita bahwa di Saudi otoritas sains tidak sama sekali diterima (la haula wa lâ quwwata) untuk ikut sekedar membantu, apalagi sebagai metode yang paling berperan dalam menentukan waktu terjadinya hari puasa dan hari raya. Profesor Sulaiman (Kepala Jurusan Studi Luar Angkasa pada Observatorium Astronomi dan Geo-Fisika Hilwan) mengatakan bahwa para pakar falak di Saudi telah menyalahi sunah nabi yang mengajarkan untuk melakukan pencegahan ketika terjadinya sebuah kemungkaran. Para pakar falak dunia arab, seperti yang ditulis oleh situs ICOP, mengeluarkan kecaman terhadap keputusan Saudi yang jelas-jelas salah dan bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Pak Syamsul Anwar dalam tulisannya tentang "Kalender Islam Global di web site Muhammadiyah menampilkan data detail tentang kesalahan Saudi dalam penentuan awal bulan hijriyah. Dari 46 kali rukyah, hanya tujuh kali Saudi tidak melakukan kesalahan dalam menentukan awal bulan hijriyah.

Dari mana keputusan kontroversial ini diambil? Apakah masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana Saudi menerima laporan dari beberapa warga pedalaman yang mengaku telah melihat hilal? Jika benar, ini sungguh Ironis. Menyaksikan fenomena di Saudi ini, telah melahirkan pertanyaan sendiri dalam benak saya; di mana dimensi penghargaan terhadap lmu pengetahuan? Di mana penghormatan terhadap kinerja ratusan atau bahkan ribuan ilmuwan dalam dunia falak? Saya sering membayangkan orang-orang Barat barangkali akan tertawa menyaksikan umat Islam di abad 21, abad di mana ribuan satelit mereka telah terparkir di atas bumi, masih berkoar-koar meneriakkan keharaman penggunaan hisab. Betul bahwa ini adalah bagian dari ijtihad, di mana jika salah masih berhak mendapatkan pahala satu. Tapi yang sesungguhnya yang paling penting untuk disoroti dari kasus ini adalah adanya semacam keangkuhan negara Saudi di depan perkembangan keilmuan kontemporer. Atau katakanlah mereka memang harus angkuh, tapi mengapa tidak dengan cara yang ilmiah?! Semua orang yang memahami metode Saudi dalam penentuan awal bulan Hijriyah menyaksikan dan mengetahui ada inkonsistensi dan kontradiksi antara metode rukyah mereka dengan apa yang saat ini terjadi?! Sungguh disayangkan negara yang memiliki pengaruh besar terhadap umat Islam justru masih jauh dari yang kita harapkan. Sekarang kita tinggal bertanya; kapan Saudi akan berubah? Wallahu A'lam.

Senin, 26 Juli 2010

Paradigma Tajdid Muhammadiyah

Paradigma Tajdid Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam Modernis-Reformis
M. Amin Abdullah

Pengantar
Ketika Muhammadiyah berdiri tahun l912, seluruh dunia Muslim masih berada di bawah penjajahan. Belum banyak yang merdeka secara politis dari cengkeraman imperalisme dan kolonialisme Barat. Di tengah-tengah kesulitan seperti itu Muhammadiyah berdiri dengan membawa optimisme baru. Kata-kata atau slogan “Islam yang berkemajoean” amat didengung-dengungkan saat itu. Mungkin belum disebut Islam “modern” atau ”reformis” seperti yang dinisbahkan dan disematkan orang dan para pengamat pada paroh kedua abad ke-20. Namun dalam perjalanan waktu selanjutnya, identitas gerakan Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari arti penting dari Dakwah dan Tajdid. Kata kunci Dakwah terkait dengan mengemban dan mengamalkan Risalah Islam, mengajak ke kebaikan (al-Khair) dan melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sedangkan sistem tata kelolanya, usaha dakwah dalam artian luas tersebut memerlukan Tajdid, baik yang bersifat pemurnian maupun pembaharuan (Haidar Nashir, 2006: 54).

Prestasi yang diukir selama satu abad (l912-2012) cukup mewarnai derap langkah sejarah umat Islam di Indonesia. Berbagai tantangan dan dinamika perjoangan telah dilalui dengan selamat baik pada era kolonialisme, era awal kemerdekaan, era orde lama, orde baru dan era reformasi. Semuanya menoreh pengalaman yang amat berharga untuk kematangan sepak terjang organisasi. Banyak organisasi keagamaan di Mesir atau di Pakistan yang mengalami nasib yang pahit ketika berhubungan dan berhadapan dengan negara. Muhammadiyah tidak mengalami nasib seperti itu. Mungkin karena pilihan Muhammadiyah–-sebagai organisasi—yang menekuni bidang Pendidikan yang kemudian menjadikannya sedikit aman dari godaan-godaan politik praktis. Meskipun perlu dicatat, bahwa setelah reformasi bergulir, maka peran tokoh Muhammadiyah di masyarakat pun ikut berubah sesuai dengan tantangan dan tuntutan baru yang dihadapinya.

Bagaimana menatap 100 tahun ke depan? Apakah Muhammadiyah akan mengulang sejarah kesuksesan 100 tahun silam? Jangan-jangan hadis Nabi yang sudah menjadi adagium dan sering disebut dan dikutip oleh para tokoh dan da’i-da’iyah Muhammadiyah bahwa “’ala kulli ra’si kulli mi’ah sanah mujaddidun” (Setiap melintasi seratus tahun usia jaman, akan datang seorang pembaharu) akan juga harus berlaku bagi Muhammadiyah? Atau tidak berlaku? Jika diandaikan berlaku dalam Muhammadiyah lalu seperti apa coraknya? Bagaimana mengantisipasinya? Apa implikasinya dalam konteks pendidkan Kemuhammadiyahan dan Keislaman di sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah? Jika diandaikan tidak ada, apakah jaman dan situasi dunia memang tidak berkembang dan berubah lewat hukum dinamika sejarahnya sendiri? Tulisan singkat ini mau berandai-andai—jika saja memang ada perubahan dinamika sejarah dunia—lalu bagaimana Strategi Dakwah dan Tajdid Muhammadiyah menghadapinya dalam menapaki usianya yang seratus tahun kedua? Namanya juga berandai-andai, maka bisa jadi bisa tidak. Kalau tidak ada perubahan, maka corak dan strategi gerakan mungkin akan tetap dilestarikan seperti ini adanya (al-Muhafadzah ‘ala al-qadim al-salih). Tapi jika perubahan itu benar-benar ada, baik cepat maupun lambat, maka strategi baru apa yang akan dan perlu disiapkan oleh Muhammadiyah (al-Akhdzu bi al-jadid al-aslah), sebagai organisasi yang hidup dan kaya pengalaman melewati dan melintasi kurun-kurun waktu sulit?

Adalah sangat berbeda tingkat kompleksitasnya membayangkan Muhammadiyah dengan hanya sedikit jumlah anggota dan simpatisannya dan membayangkan Muhammadiyah dengan banyak anggota dan simpatisannya. Juga demikian halnya, terdapat perbedaan tingkat kompleksitas yang dihadapi Muhammadiyah pada era pra dan paska Reformasi sekarang ini, khususnya dalam kaitannya dengan kehidupan politik di tanah air. Setidaknya, ada dua atau tiga isu penting yang dihadapi oleh umat Islam dalam era abad ke-21, bersamaan waktunya ketika Muhammadiyah memasuki abad kedua usianya.

Pertama, globalisasi mendorong munculnya genre baru keummatan dari golongan Minoritas Muslim di berbagai negara mayoritas Kristen baik di Amerika, Eropa maupun Australia. Kedua, Peradaban Barat yang masih terus leading dalam memimpin dunia dalam berbagai sektor kehidupan. Ketiga, Gerakan Dakwah dan Tajdid bertemu muka dan berhadap-hadapan dengan gerakan Dakwah dan Jihad. Ketiga isu besar ini saling berkait kelindang.

Menurut hemat penulis, sepuluh, dua puluh, lima puluh dan seratus tahun ke depan sejarah peradaban dan umat beragama, termasuk di dalamnya Muhammadiyah, akan ditentukan oleh corak paradigma, model, dan strategi merespon ketiga isu kontemporer ini. Tidak bisa tidak.

Maka pertanyaannya adalah seperti pertanyaan yang dilontarkan oleh Tariq bin Ziyad mengawali era ”globalisasi” sejarah Islam abad pertengahan, ”Aina al-mafarr? Al-Bahru waraakum wa al-aduwwu amamakum”. (Ke mana kita akan lari menghindar dari persoalan yang nyata-nyata kita hadapi? Hamparan laut luas ada di belakang kita, sedang musuh dengan berbagai keahliannya ada di hadapan kita?) Begitu pertanyaan dan sekaligus motivasi dan semangat yang ditanamkan oleh Tariq bin Ziyad puluhan abad yang silam ketika hendak meninggalkan selat Gibraltar, selat yang ada di antara ujung utara benua Afrika dan ujung selatan benua Eropa, dan masuk ke daratan Spanyol sekarang. Daratan yang sama sekali asing dan baru bagi Tariq bin Ziyad dan teman-temannya saat itu.

Pertama, Globalisasi dan Masyarakat Minoritas Muslim di negara-negara Barat.

Apakah Masyarakat atau Peradaban Utama yang dimaksud dalam al-Qur’an, dan lebih-lebih dalam dokumen cita-cita Muhammadiyah, hanya bersifat lokal keindonesiaan atau juga meliputi global-kesemestaaan (rahmatan li al-‘alamin)? Jika hanya lokal-keindonesiaan, lalu bagaimana hubungan dialektika timbal-balik dan pengaruh resiprokalnya dengan Masyarakat Utama yang ada dan juga dicita-citakan oleh masyarakat Muslim lokal yang lain? Juga bagaimana hubungan antara problem yang semula hanya bersifat lokal, kemudian diangkat oleh media menjadi isu global seperti yang biasa muncul dalam pengeluaran fatwa-fatwa keagamaan? Persoalan di Afrika mengimbas ke Asia dan begitu sebaliknya, juga persoalan di minoritas muslim di Eropa mengimbas ke masyarakat mayoritas muslim di Asia dan begitu pula sebaliknya.

Adalah kenyataan sejarah, bahwa tahun l960 terjadi imigrasi atau perpindahan penduduk dari negara- negara Muslim ke Eropa. Orang-orang Muslim dari Turki dan Marokko banyak berhijrah ke daratan Eropa dan Australia, sedangkan India dan Pakistan banyak yang pindah ke Inggris. Begitu juga ke Australia. Anak keturunan mereka sudah menjadi warga negara setempat, mempunyai status ekonomi yang mapan dan berperan dalam komunitas baru baik sebagai pedagang, konsultan, ahli hukum, guru, dosen, dan bahkan anggota parlemen. Kepindahan mereka semula karena semata-mata untuk kepentingan ekonomi dan pembangunan. Mereka datang untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang memang sangat diperlukan untuk pengembangan ekonomi Eropa dan Australia. Mereka bekerja di pabrik-pabrik, buruh bangunan dan berbagai industri jasa yang lain. Di samping mereka yang pindah sebagai tenaga buruh, ada juga imigrasi intelektual karena untuk melanjutkan studi, belajar menuntut ilmu pengetahuan di Barat dan kemudian tinggal menjadi penduduk di negara-negara Eropa, Amerika maupun Australia. Jumlah mereka sedikit, tetapi tidak sedikit mereka yang menjadi scholars ternama, intelektual, ahli hukum, insinyur, dokter, dosen, peneliti dan guru besar di berbagai perguruan tinggi di Barat. Mereka berasal dari berbagai negara Muslim seperti Turki, Pakistan, India, Iran, Mesir. Tunis, Marokko, Siria, Afrika Selatan, Bangladesh dan begitu seterusnya. Mereka inilah yang dalam tulisan ini disebut minoritas Muslim di Barat. Di antara nama-nama yang dapat disebut antara lain: Ibrahim M. Abu Rabi’ (Palestina), Bassam Tibbi (Canada), Khaled Abou el-Fadl (Kuwait; USA), M. Arkoun (Aljazair; Perancis), Abdullah Saeed (Australia), Abdullahi Ahmed al-Naim (Sudan; USA), Akbar S. Ahmed (Pakistan; Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan; USA), Ismail Raji’ al-Faruqi (Palestina; USA), Sa’diyya Shaikh (Afrika Selatan), Amina Wadud (Afrika Selatan; USA), Leila Ahmad (USA), Farid Esack (Afrika Selatan), Ziba Mir-Hossein (Iran; Inggris), Ibrahim Moosa (Afrika Selatan; USA), Omit Safi (USA). Karya-karya mereka banyak yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan memberi inspirasi pengembangan metodologis studi keislaman di tanah air.

Sejak akhir paroh kedua abad ke-20, apa yang disebut dengan umat Islam sesungguhnya tidak hanya merujuk kepada mereka yang berada di wilayah negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, tetapi juga meliputi dan mencakup minoritas Muslim di India, Eropa, Amerika, Australia dan berbagai tempat atau negara yang lain. Pengalaman kesejarahan, psikologi keummatan, pergaulan sosial-budaya, tingkat kesejahteraan ekonomi, penguasaan ilmu pengetahuan, akses terhadap fasilitas kehidupan modern, persoalan hidup sehari-hari di negara ‘asing’, termasuk pendidikan dan pembinaan keluarga Muslim sangatlah berbeda dari saudara-saudara Muslim mereka yang hidup di negara-negara yang mayoritas Muslim. Jangankan syiar Islam yang biasa diselenggarakan dengan mudah di negara-negara mayoritas Muslim, mendengarkan adzan secara lepas lewat pengeras suara keluar gedung bangunan mushalla atau masjid pun dilarang oleh pemerintah setempat karena akan mengganggu ketenangan masyarakat sekitar yang non-Muslim.

Menghadapi permasalahan konkrit seperti itu, (psikologi) golongan mayoritas merasa humiliated (terhina; tertekan), tetapi bagi golongan minoritas adalah sebagai bentuk ketaatan warganegara minoritas terhadap aturan pemerintah setempat. Mereka juga tidak bisa berpikir dan bertindak seolah-olah berada pada wilayah mayoritas Muslim seperti yang mereka rasakan ketika masih berada di kampung halamannya dahulu. Sudah barang tentu menjaga identitas (identity) sebagai Muslim tidaklah semudah yang dialami oleh saudara-saudara mereka di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim.

Bagaimana mereka menjalani kehidupan sebagai seorang Muslim? Apakah mereka harus bercita-cita harus dapat mengikuti aturan-aturan fikih yang berlaku di negara mayoritas Muslim ataukah mereka punya kebebasan berijtihad untuk menentukan masa depan mereka sendiri secara otonom sesuai dengan dinamika pergulatan sosial-budaya-agama-ekonomi-politik setempat? Apakah fikih dan fatwa-fatwa keagamaan Islam mereka harus mengikuti persis seperti fikih dan fatwa-fatwa keagamaam seperti yang dipahami dan dikeluarkan oleh saudara-saudara mereka di negara mayoritas? Ke depan, hubungan antara fikih aqalliyyah dan fikih aghlabiyyah seperti ini akan menarik untuk diamati, dipelajari, dibahas, dan diteliti, karena kedua kelompok tersebut, mayoritas dan minoritas, saling berinteraksi lewat media elektronik, internet, website, teleconference, bahkan situs-situs yang sangat mudah diakses dan media cetak yang lain.

Apakah problem sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan agama di Leiden, Amsterdam, Frankfurt, Melbourne akan disamakan begitu saja dengan problem sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan agama di Mesir, Riyadh, Karaci dan Jakarta misalnya? Perlu imajinasi geografis dan intelektual sekaligus di sini. What do all Muslims agree upon? (Apa saja to yang memang disepakati oleh semua orang Muslim di manapun mereka berada?) Kemudian, di mana the limit of tolerance (batas-batas toleransi) untuk berbeda dalam membaca dan menafsirkan ajaran agama, sosial dan politik antara wilayah fikih aqalliyyah (minoritas) dan fikih aghlabiyyah (mayoritas)? Pada level akar rumput keummatan, dan lebih-lebih dunia media, baik cetak dan lebih-lebih elektronik, cita-cita perjoangan menuju Masyarakat Utama dan Peradaban Utama memang memerlukan kehati-hatian, ketelitian, kesabaran, tidak grusa-grusu, dan pemikiran genuin-otentik, serta keterbukaan dan keluasan pandangan, jika umat Islam tidak ingin kehilangan masterplan horison kelokalan dan kesemestaan sekaligus dalam identitas keislaman mereka.

Tidak hanya itu. Yang lebih tajam dan nyata pengaruhnya dalam masyarakat mayoritas Muslim dimanapun mereka berada adalah dalam bidang kesarjanaan, penelitian, keintelektualan dan keulamaan yang dihasilkan oleh karya tulis dan karya kesarjanaan para intelektual Muslim dari kalangan minoritas Muslim di Eropa, Amerika maupun Australia. Karya-karya kesarjanaan Muslim paska kesarjanaan orientalis ini sungguh-sungguh berbeda dari karya-karya kesarjanaan, keintelektualan dan keulamaan di berbagai negara mayoritas Muslim, karena training kesarjanaan (scholarship) yang mereka lalui dan miliki memang nyata-nyata berbeda baik dari segi metode, pendekatan maupun bahasa asing yang mereka kuasai. Karya tulis kesarjanaan ini dituangkan dalam jurnal keilmuan dan diterbitkan dalam buku-buku literatur keislaman kontemporer. Buku literatur yang ditulis oleh para akademisi, peneliti, intelektual Muslim yang bekerja di berbagai Perguruan Tinggi di Barat ini tidak kecil jumlahnya. Sumbangan mereka tidak kecil dalam pengembangan keilmuan keislaman, khususnya di era kontemporer. Tulisan dan buku-buku mereka dibaca dan diterjemahkan kedalam bahasa Muslim seperti Turki, Iran, Urdu, Arab, Indonesia dan begitu seterusnya.

Banyak ketegangan muncul antara pengalaman tradisi keilmuan keislaman yang dikembangkan di belahan bumi Muslim yang dihuni mayoritas Muslim (Mesir, Tripoli, Khartum, Karaci, Riyadh, Jakarta, Kualalumpur) dan belahan bumi yang dihuni oleh para akademisi Muslim di Perguruan Tinggi di belahan bumi Barat yang dihuni oleh minoritas Muslim (Chicago, Philadelpia, Berlin, Paris, Melbourne). Para pemimpin dan tokoh Muhammadiyah dalam setiap jenjang dan peringkatnya tidak dapat melepaskan diri dari tanggungjawab intelektualnya dalam menghadapi tantangan baru ini, sebuah tantangan yang tidak dialami oleh generasi tokoh dan pimpinan Muhammadiyah era 100 tahun pertama, lebih-lebih jika dikaitkan dengan cita-cita besar hendak mewujudkan Masyarakat atau Peradaban Utama. Apakah para tokoh dan pemimpin umat (baca: pemimpin Persyarikatan Muhammadiyah) di tingkat lokal, regional, nasional, siap menerima kehadiran generasi intelektual Muslim baru dari kalangan minoritas Muslim dari berbagai negara Barat? Siap dan tidaknya menerima kehadiran mereka—dan begitu pula sebaliknya—akan mewarnai dinamika sejarah perabadan Islam abad ke 21 ini.

Kedua, Peran kesejarahan dan peradaban Barat era modern.

Globalisasi pada era sekarang ini, dengan menggunakan instrumen ilmu pengetahuan dan teknologi adalah memang warisan peradaban Barat. Jika agama ikut membonceng di belakangnya, itu adalah hal lain. Perkembangan dan pengembangan konsep teologi agama juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini. Perkembangan ilmu pengetahuan empiris lewat penelitian yang mendalam dan berkesinambungan terhadap alam semesta, sosial-kemanusiaan dan sosial-keagamaan adalah bentuk intervensi Barat, meneruskan dan melanjutkan saja apa yang telah dikerjakan oleh para ilmuan Muslim pada abad-abad sebelumnya. Tujuh abad (abad ke 7–14) peradaban Muslim telah pernah menghiasi, mengukir sejarah, untuk tidak menyebutnya menguasai dunia. Bahasa dan tulisan Arab berikut ilmu pengetahuan yang menyertainya pernah digunakan di mana-mana termasuk di wilayah nusantara. Kerajaan dan empire Islam jatuh bangun, saling silih berganti sampai berakhirnya kerajaan Turki-Usmani di awal abad ke 20.

Sejarah berputar dan sejak abad ke l5 sampai dengan abad ke 20 hampir semua wilayah Islam di bawah jajahan Barat. Metode research modern dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan diperkenalkan. Kelautan, kedirgantaraan, ketenagaan, transportasi laut, darat, udara, pertanian, perikanan, kehutanan dan begitu seterusnya sampai ke tenaga nuklir, persenjataan, eksplorasi ruang angkasa, sampai berujung ke teknologi komunikasi, komputerisasi, media elektronik. Berjalan bersamaan pengembangan dan research dalam ilmu-ilmu kemanusiaan sejak dari bahasa, filsafat, sosial, budaya, agama, seni dan begitu seterusnya.

Peradaban Muslim abad ke-21 masih berhadapan dengan peradaban Barat dalam seluruh aspeknya. Politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, perekonomian, perdagangan, perbankan, pendidikan, media, tourism, perhotelan, pengobatan, politik ketatanegaraan, keberagamaan, bahkan sampai ke tata boga dan tata busana seluruhnya selalu berinteraksi langsung maupun tidak langsung, berdialog dengan kebudayaan dan peradaban Barat. Seluruh fakta sejarah ini seolah-olah membenarkan pendapat Bassam Tibbi, seorang sarjana Muslim dari Siria yang tinggal di Jerman, ketika ia berkata bahwa ‘It is hard to reconcile … the religious proclamation, “You are the best community (umma) created by God on earth” (al-Qur’an 3: 110) with the reality in which members of this very umma rank with the underdogs in the present global system dominated by the West’ (Tibbi, 2001: 54). Sangatlah sulit sekali saat sekarang ini untuk menyesuaikan pernyataan agama al-Qur’an dalam surat Ali Imran, ayat 110 bahwa “Kamu (umat Islam) adalah sebaik-baik masyarakat (ummah) yang diciptakan oleh Allah diatas bumi” dengan realitas konkrit di lapangan pada abad ke 21 ini, di mana hampir seluruh umat Islam rata-rata kalah dalam berbagai seginya dalam bersaing dengan Peradaban yang sekarang ini didominasi oleh Barat.

Muhammadiyah didirikan 100 tahun yang lalu adalah untuk menjawab tantangan ini. “Islam yang berkemajoean” adalah idam-idaman dan cita-cita besar para pendiri organisasi ini sampai harus mentransfer dan meng-adopt cara dan sistem pengelolaan pembelajaran dan persekolahan di era penjajahan Belanda dulu. Sekarang di era kemerdekaan yang ke 64, Muhammadiyah telah memeiliki ribuan sekolah dari SD sampai SMU dan ratusan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) di berbagai daerah di tanah air. Belum lagi menyebut taman kanak-kanak. Mari kita lakukan introspeksi (muhasabah al-nafs; muhasabah al-harakah) menjelang 100 tahun usia Muhammdiyah. Sebutlah salah satu contoh, bagaimana kita menjawab pertanyaan sederhana tapi cukup sulit dijawab: apakah anak-anak dan mahasiswa keluaran sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah telah menjadi “khaira ummah” pada setiap jenjang pendidikan yang diikutinya? Mengapa keluaran sekolah atau Perguruan Tinggi yang didirikan oleh non Muhammadiyah seringkali lebih baik dan lebih unggul dari pada yang didirikan oleh Muhammadiyah? Atau memang bukan kesitu arah pendidikan Muhammadiyah?

Apa arti “khaira ummah” untuk wilayah pendidikan? Bagaimana untuk wilayah sosial, ekonomi, politik, budaya, belum lagi menyebut IPTEK? Apakah tata kelola, sistem dan metode pendidikan dan pengajaran telah dievaluasi secara mendasar? Bolehkah sistem pendidikan Muhammadiyah mencangkok sistem lain yang ternyata lebih dapat mengantarkan anak didiknya lebih unggul? Bagaimana sistem pendidikan dan pengajaran materi keislaman di lingkungan perguruan Muhammadiyah? Kata kuncinya, menurut hemat penulis, istilah “khaira ummah” dalam al-Qur’an itu bukanlah taken for granted, pasti datang dengan sendirinya, otomatis bagus karena sudah ber(i)slam atau ber(m)uhammadiyah, tanpa upaya pembaharuan-pembaharuan yang terus menerus … untuk mencapai derajat “khaira ummah”, apalagi sampai Masyarakat Utama dan lebih-lebih Peradaban Utama, perlu kritik tajam secara terus menerus, tidak berhenti melakukan eksperimentasi, trial and error, dievaluasi dan dimonitor secara saksama oleh persyarikatan. Sampai di sini, belum disinggung perlunya keringat dan kerja keras peneliti dan pekerja dalam laboratorium. Peninjauan ulang terhadap ini semua (meragukan, doubt) mengandaikan niscayanya perubahan dalam sistem organisasi pengelolaan sekolah dan perguruan tinggi di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah dan kesediaan para pengurus untuk belajar dan keberanian mentransfer dan mengadapt keberhasilan organisasi dan metode pembelajaran lain yang lebih unggul dalam bidang yang sama. Masih terngiang-ngiang terus pertanyaan Syeikh Sakip Arsalan, ”Li madza taakhkhara al-Muslimun wa taqaddama ghairuhum?” di awal abad ke-20 dan ternyata masih berlaku hingga sekarang.

Muhammadiyah harus berani terus-menerus bertanya, melakukan ”koreksi”, ”meragukan” sebagian atau semua langkah yang pernah ditempuhnya sebagai bahan untuk memperbaiki dan menyempurnakan langkah yang akan ditempuh pada masa-masa yang akan datang, khususnya di era abad kedua usianya. Inti budaya modern adalah ”melembagakan keragu-raguan” (the Institutionalization of Doubt), begitu papar Anthony Giddens dalam karyanya, The Consequences of Modernity (1990, 59).

Ketiga, Perjumpaaan gerakan Dakwah dan Tajdid dengan gerakan Dakwah dan Jihad.

Mungkin tidaklah terlalu mengada-ada dan tidak pula berlebihan jika dikatakan bahwa perjoangan dan aktivitas keagamaan umat Islam menuju Masyarakat dan atau Peradaban Utama pada abad ke 21 sekarang ini akan diwarnai persinggungan, gesekan, rivalitas dan kontestasi antara model gerakan Dakwah dan Tajdid dan model gerakan Dakwah dan Jihad. Akan terjadi perebutan wilayah dan perseteruan psikis antara kedua model gerakan dakwah ini. Keduanya sama-sama mengklaim anak kandung al-Qur’an dalam upaya untuk merealisasikan cita-cita idealisme “khaira ummah”. Rivalitas kewenangan dan perebutan wilayah kerja dakwah antar pendukung kedua model gerakan dakwah Islamiyyah ini sangat mudah di jumpai di lapangan, baik di tempat-tempat peribadatan (mushalla, masjid, langgar) dan pendidikan (sekolah, perguruan tinggi, pesantren) dan juga majelis taklim. Pernyataan di muka publik, statemen-statemen para tokoh dan pemimpinnya di media masa dan forum-forum keagamaan, media elektronik (tampilan dan konten situs-situs di website), media cetak berupa buletin, selebaran-selebaran, pamplet-pamplet dengan mudah dapat ditengarahi. Khususnya ketika mereka diminta merespon berbagai isu dan persoalan sosial-budaya, sosial- politik, sosial-ekonomi, sosial-keagamaan, hubungan internasional, hubungan antar agama dan begitu seterusnya.

Semua pihak, tidak hanya Muhammadiyah, perlu terus menerus mencermati dan mewaspadai perkembangan ini, lebih-lebih di lingkungan intern Muhammadiyah, karena dalam Muhammadiyah tegas-tegas disebutkan ada aspek “pemurnian” selain “pembaharuan”, juga ada anjuran ‘nahi mungkar’ selain anjuran ber ‘amar ma’ruf’, seperti disinggung diatas. Gerakan pemurnian, kalau tidak pandai mengemasnya akan sangat mudah beralih menjadi ‘jihad’ ideologis-kultural’ untuk menyerang realitas perkembangan sosio-historis dan realitas perkembangan sosio-kultural keummatan Islam yang sangat kompleks dan beraneka ragam, tidak hanya di tanah air tetapi juga di seluruh dunia Muslim. Sedang penekanan pada sisi ‘nahi mungkar’, dengan sedikit mengesampingkan ‘amar ma’ruf’ juga berpotensi akan mudah terbawa arus jihad dengan menggunakan kekerasan (gerakan radikalisme agama) dalam menegakkan perintah-perintah agama secara paksa (coersive) dan bukannya persuasif (persuasive).

Gelombang jihad rasanya akan memikat dan menarik generasi muda yang haus akan pengetahuan agama, yang masih labil secara kejiwaan apalagi ekonomi, penomena ketidakadilan yang mereka saksikan di berbagai tempat di negeri mereka masing-masing. Gelombang jihad akan menghiasi perjalanan peradaban Islam kontemporer abad ke-21, selagi politik luar negeri negara-negara Barat belum berubah dan dialog antar budaya dan agama tidak tulus dan macet. Gelombang jihad akan tetap menarik generasi muda jika Amerika dan sekutunya belum keluar dari Timur Tengah dan negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim lainnya. Kalau itu ukurannya, maka masih agak lama waktunya untuk meredam, apalagi menghilangkan semangat dan militanisme jihad melawan Barat dan sekutunya di dalam negeri Muslim sendiri. Ketika peradaban Islam kontemporer berhadapan secara langsung dengan peradaban Barat seperti itu, maka gerakan Islam modern maupun yang tradisional, yang menginginkan kemajuan masyarakat muslim untuk mengejar ketertinggalannya juga terkena imbasnya. Imbas itu sangat pahit, dan menimbulkan perpecahan umat jilid berikutnya.

Adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa selain adanya the clash of civilizations seperti yang tercermin dalam perang tak berkesudahan di Timur Tengah (Iraq dan Palestian-Israel) dan wilayah Asia Tengah (Afganistan) dan Selatan (Pakistan), tetapi yang jelas-jelas dihadapi peradaban Islam kontemporer ketika merespon ketiga isu di depan (Minoritas Muslim di Barat, dominasi Barat, dan klaim kebenaran Interpretasi terhadap apa yang disebut “khaira ummah”) adalah the clash within (Islamic) civilizations, baik di Mesir, Aljazair, Sudan, Saudi Arabia, Pakistan, Indonesia, Turki. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah sosial-keagamaan Islam di Indonesia tidak dapat menghindar dari perkembangan kontemporer diatas dan dapat merespon dengan arif dan tegas. Lebih-lebih, jika sibghah (corak khas atau ikon) Dakwah dan Tajdid masih melekat di tubuhnya. Namun tidak mudah mempertahankan sibghah tersebut, tanpa dibarengi pembaharuan-pembaharuan from within, pembaharuan dalam Muhammadiyah sendiri, khususnya ketika memasuki abad kedua usianya. Juga pembaharuan from without, yaitu pembaharuan politik luar negeri negara barat.

Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah dan Tajdid:
Tantangan agenda ke depan

Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah pada abad pertama usianya pasti berbeda dari abad kedua usianya, meskipun kontinuitasnya antara keduanya tetap ada. Untuk itu, Paradigma, Model, dan Strategi Tajdidnya juga harus disesuaikan dengan perkembangan terbaru discourse keislaman baik dalam teori maupun praktek. Muhammadiyah harus melakukan upaya pembaharuan from within, yang meliputi strategi pembaharuan gerakan pendidikan yang selama ini digelutinya, mengenal dengan baik dan mendalam metode dan pendekatan kontemporer terhadap studi Islam dan Keislaman era klasik dan lebih-lebih era kontemporer, mendekatkan dan mendialogkan Islamic Studies dan Religious Studies, bersikap inklusif terhadap perkembangan pengalaman dan keilmuan generasi mudanya, terbuka, mengenalkan dialog antar budaya dan agama di akar rumput, memahami Cross-cultural Values dan multikulturalitas, dalam bingkai fikih NKRI, dan begitu seterusnya. Tanpa menempuh langkah-langkah tersebut, gerakan pembaharuan Islam menuju ke arah terwujudnya Masyarakat dan Peradaban Utama di tanah air ini, tentu akan mengalami kesulitan bernapas dan kekurangan oksigen untuk menghirup dan merespon isu-isu sosial-keagamaan global dan isu-isu peradaban Islam kontemporer.

Untuk konteks keindonesiaan, Ikon perjoangan meraih “Islam yang berkemajoean” sepertinya tetap menarik untuk diperbincangkan dan didiskusikan sepanjang masa. Dengan begitu kontinuitas dan kesinambungan perjoangan antara generasi abad pertama dan generasi penerus abad kedua masih terpelihara, sebagaimana dicanangkan dan dipesankan oleh founding fathers Muhammadiyah terdahulu.

Wallahu a’lam bi al-sawab.

Yogyakarta, 21 November 2009


DAFTAR PUSTAKA

Abu-Rabi’, Ibrahim M. Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Modern Arab World. Albany: State University of New York Press, 1996.

Auda, Jasser. Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: The International Institute of Islamic Thought, 1429H/2008 CE.

Bennett, Clinton. Muslims and Modernity: An Introduction to the Issues and Debates. London: Continuum, 2005.

Bunt, Gary R. Islam in the Digital Age: E-Jihad, Online Fatwas and Cyber Islamic Environment. London: Pluto Press, 2003.

Carroll, B. Jill. A Dialogue of Civilizations: Gulen’s Islamic Ideals and Humanistic Discourse. New Jersey: The Light and the Gulent Institute, 2007.

El Fadl, Khaled Abou. The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremist. New York: HerperCollins, 2007.

Esack, Farid. Qur’an Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression. Oxford: Oneworld Publications, 1997.

Giddens, Anthony. The Consequences of Modernity. Stanford: Stanford University Press, 1990.

Hunt, Robert A. & Aslandogan, Yuksel A. (Eds.). Muslim Citizens of the Globalized World: Contributions of the Gulen Movement. New Jersey: The Light Publishing, 2007.

Safi, Omit. Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism. Oxford: Oneworld Publications, 2003.

Soroush, Abdul Karim. Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama. Bandung: Mizan, 2002.
¯ Disampaikan pada acara Seminar Satu Abad Gerakan Tajdid Muhammadiyah Menuju Peradaban Utama: Paradigma, Model, dan Strategi Tajdid yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Malang, 21-22 November 2009.