Kamis, 18 November 2010

PENETAPAN 10 DZULHIJJAH (IDUL ADHA); Dalam Sudut Pandang Fikih & Astronomi

PENETAPAN 10 DZULHIJJAH (IDUL ADHA); Dalam Sudut Pandang Fikih & Astronomi

Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar*

Penetapan Idul Adha (10 Dzulhijjah), antara Indonesia dan Arab Saudi sering kali tidak jatuh bersamaan, sehingga biasanya timbul berbagai pertanyaan dan tuduhan di tengah masyarakat. Terjadinya perbedaan itu beralasan secara astronomis dan fikih. Dalam contoh kasus Idul Adha 1417 H / 1997 M yang lalu misalnya, Arab Saudi mengumumkan hari wukuf jatuh pada 16 April 1997 (Idul Adha 17 April 1997), sedangkan pemerintah Indonesia (Departemen Agama) mengumumkan Idul Adha jatuh pada 18 April. Masyarakat bingung ketika itu, ada pula yang mengecam perbedaan itu sebagai tidak berdasar dengan label 'mukhalif as syari'ah'. Tuduhan ini terbilang wajar dalam sebatas komentar awal, namun akan "kurang ajar" jika disampaiakan dengan cara yang tidak etis. Bila diketahui asal-usulnya, perbedaan itu sebenarnya semu belaka dan pertanyaan-tuduhan di atas akan terjawab. Ada dua aspek terkait terhadap perbedaan tersebut yang perlu dipahami, pertama aspek astronomis penentuan awal Dzulhijjah, dan kedua aspek syari'ah (fikih) yang berkaitan dengan puasa hari Arafah. Dimakalah ini, kedua aspek ini akan dibicarakan sekedarnya.



Kilas Balik Penetapan Idul Adha 1417 H

Dalam kasus Idul Adha tahun 1997 M/1417 H, berdasarkan perhitungan astronomi menyatakan, ijtimak awal Dzulhijjah 1417 terjadi pada 7 April 1997 pukul 11:04 UT atau pukul 14:04 waktu Arab Saudi, pukul 18:04 WIB. Dengan demikian di Arab Saudi ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam (ijtima' qabla[l] ghurub), sedangkan di sebagian besar wilayah Indonesia saat itu matahari sudah terbenam. Berdasarkan saat ijtimak itu dapat dipahami bahwa masuknya awal Dzulhijjah di Arab Saudi lebih dahulu daripada di Indonesia. Pada tanggal 7 April di Mekkah matahari terbenam pukul 18:38 sedangkan bulan terbenam lebih lambat lagi, pukul 18:45. Walaupun secara astronomis itu masih di bawah kriteria visibilitas hilal, tetapi itu menunjukkan bahwa bulan sudah wujud di atas ufuk pada saat maghrib. Sehingga 1 Dzulhijjah di Arab Saudi jatuh pada tanggal 8 April dan Idul Adha jatuh pada 17 April 1997.

Di Indonesia pada tanggal 7 April, bulan terbenam lebih dahulu dari matahari. Di Jakarta bulan terbenam pukul 17:54 dan matahari terbenam pukul 17:55, di Bandung bulan terbenam pukul 17:51 dan matahari terbenam pukul 17:52. Di kawasan Indonesia tengah dan timur perbedaan waktu terbenam bulan dan matahari lebih besar lagi. Secara umum di seluruh Indonesia bulan sudah berada di bawah ufuk pada saat Magrib (ijtimak). Dengan demikian 1 Dzulhijjah jatuh pada 9 April dan Idul Adha (10 Dzulhijjah) jatuh pada 18 April 1997.

Untuk melihat kondisi yang lebih global, perbedaan itu bisa kita lihat pada Garis Tanggal Qamariyah (khath at tarikh al qamary) awal Dzulhijjah (lihat gambar), garis tanggal itu menyatakan daerah yang saat terbenam matahari dan bulan bersamaan. Di sebelah barat garis itu pada tanggal 7 April bulan sudah wujud di atas ufuk pada saat magrib, sedangkan di sebelah timurnya bulan sudah berada di bawah ufuk pada saat Maghrib. Garis tanggal itu melalui pantai barat Australia, pantai barat Sumatera, India, Kazakhstan, dan Rusia bagian barat. Dengan demikian garis tanggal itu memisahkan Arab Saudi dengan Indonesia. Sehingga kita akan jelas melihat bahwa perbedaan hari Idul Adha antara Indonesia dan Arab Saudi hanya semu belaka, perbedaan itu hanya disebabkan oleh definisi tanggal syamsiyah yang dipisahkan oleh garis tanggal internasional yang melalui lautan pasifik.



Karena adanya garis tanggal, wilayah di sebelah timur (B) tanggalnya lebih muda dari sebelah baratnya (A). Idul Adha 10 Dzulhijjah di wilayah Asia Timur jatuh pada 18 April, sedangkan di Amerika, Eropa, Afrika, dan Timur Tengah jatuh pada 17 April. Karena itu, "perbedaan" hari Idul Adha antara Indonesia dan Arab Saudi sebenarnya tidak berbeda secara hakiki bila dilihat menurut kalender Qamariyah dengan garis tanggal Qamariyah juga. Merancukan waktu ibadah yang dinyatakan menurut kalender Qamariyah dengan tanggal menurut kalender Syamsiyah bisa menyebabkan timbul kesan seolah-olah ada perbedaan. Wallah a'lam


Ide Penyamaan Idul Adha Dengan Arab Saudi

Terkait kasus perbedaan Idul Adha seperti di atas, sering timbul pertanyaan mengapa tidak diseragamkan saja antara Indonesia dan Arab Saudi, dengan menjadikan waktu Mekah sebagai acuan. Beralasan, bukankah Mekah tempat berada Ka'bah, kiblat umat Islam sedunia. Sudah sewajarnya penentuan waktu ibadah pun (seperti hari raya) juga mengikut ke Mekah. Di sisi lain, perbedaan waktu antara Arab Saudi dan Indonesia bagian barat hanya sekitar empat jam, semestinya hari rayanya pun bisa dilaksanakan pada hari yang sama... dst.

Sepintas, pendapat itu tampak benar dan sederhana, namun bila dikaji lebih mendalam hal itu kurang beralasan secara 'syar'i' dan 'ilmiy'. Pendapat menyamakan dengan Arab Saudi muncul karena menghendaki keseragaman menurut tanggal Syamsiyah dengan mengabaikan tanggal Qamariyah. Sama diketahui, penetapan waktu-waktu ibadah dalam Islam ditentukan menurut penanggalan Qamariyah. Menyeragamkan Idul Adha, dalam contoh kasus tahun 1417 H/1997 M di atas, menjadi tanggal 17 April berarti memaksakan pelaksanaannya di Indonesia menjadi tanggal 9 Dzulhijjah, bukan 10 Dzulhijjah seperti disyariatkan.

Satu pertanyaan, apa defenisi 'sama' atau 'menyamakan' hari? Pengertian 'sama' sangatlah relatif. Secara astronomi bisa berarti mengalami waktu siang secara bersamaan bila beda waktunya kurang dari 12 jam. Bila itu diterapkan di Hawai-Amerika yang beda waktunya dengan Arab Saudi (dihitung ke arah timur) hanya 11 jam, defenisi 'sama' harinya namun berbeda tanggal. Tanggal 16 April di Arab Saudi berarti tanggal 15 April di Hawai. Pola pikir untuk menyamakan itu hanya terjadi bila kita tunduk pada sistem kalender syamsiyah dan mengabaikan sistem kalender Qamariyah. Pada tanggal 17 April di Indonesia masih tanggal 9 Dzulhijjah, jadi bukan waktunya untuk melaksanakan Idul Adha. Waktu yang tepat untuk melaksanakan Idul Adha di Indonesia adalah 18 April (10 Dzulhijjah) agar tidak melanggar syariat, dan secara ilmiah hal itu pun beralasan.

Arab Saudi Idul Adha sehari setelah wukuf adalah suatu kepastian, namun untuk wilayah lain perlu diperjelas lagi, sebab bumi ini tidaklah datar. Ada yang secara mudah mendefinisikan bila wukuf di Arafah jatuh hari Jumat maka Idul Adha jatuh hari Sabtu untuk seluruh dunia dan termasuk di Indonesia tanpa memperhatikan hari itu 10 Dzulhijjah atau bukan. Sejauh ini, belum ada keterangan pasti yang dapat dijadikan landasan pendapat ini, selain mengikuti kelaziman hari dalam definisi syamsiyah dalam kalender umum. Hal yang perlu diperhatikan, melaksanakan Idul Adha 17 April di Indonesia dalam contoh kasus di atas bisa disebut mendahului, bukan mengikuti Arab Saudi. Dari segi waktu shalat Idul Adha, pasti mendahului, ketika di Indonesia melaksanakan shalat Idul Adha pukul 07.00 WIB, di Arab Saudi masih sekitar pukul 03.00 dini hari. Dari segi tanggalpun mendahului, di Indonesia saat itu masih 9 Dzulhijjah. Wallah a'lam


Puasa Arafah

Bagi umat Islam yang tidak melaksanakan ibadah haji, pada hari Arafah disunahkan berpuasa. Menurut hadits Rasulullah S.a.w. yang diceritakan Abu Qatadah r.a., puasa hari Arafah akan menghapuskan dosa selama dua tahun, tahun yang lalu dan tahun yang akan datang. Puasa hari Arafah tergolong puasa sunnah yang utama (mu'akkadah) sehingga banyak orang yang berlomba melaksanakannya.

Hari Arafah 9 Dzulhijjah adalah satu kepastian, dalam kasus diatas, di Indonesia 9 Dzulhijjah jatuh pada 17 April. Namun masyarakat bingung karena hari itu di Arab Saudi sudah Idul Adha. Nabi S.a.w. menyatakan, puasa pada hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) haram hukumnya. Sehingga, ada yang berpendapat berpuasalah pada tanggal 16 April karena itulah hari pelaksanaan wukuf di Arafah. Pendapat ini nampaknya benar, namun tetap saja kurang logis.

Perlu diketahui, waktu ibadah dalam Islam (seperti shalat dan puasa) bersifat lokal, semestinya juga dalam Idul Adha mengacu pada waktu setempat (Indonesia). Karena di Indonesia Idul Adha jatuh pada 18 April, maka sah puasa pada 17 April. Lain cerita bagi orang yang meyakini (dengan didasari berbagai pertimbangan) bahwa Idul Adha harus sama, maka mereka berhak pada pendapat yang diyakininya. Wallah a'lam

Hal di atas dapat dijelaskan dengan meruntut perjalanan waktu berdasarkan peredaran bumi. Bagi muslim di Timur Tengah puasa Arafah mulai sejak fajar 16 April, makin ke barat waktu fajar bergeser. Di Eropa Barat waktu fajar awal puasa kira-kira 3 jam sesudah di Arab Saudi, makin ke barat lagi, di pantai barat Amerika Serikat waktu fajar awal puasa Arafah makin bergeser lagi 11 jam setelah Arab Saudi. Di Hawai, puasa Arafah juga masih 16 April tetapi fajar awal puasanya sekitar 13 jam setelah Arab Saudi. Bila diteruskan ke barat, di tengah lautan Pasifik ada garis tanggal internasional (bujur 180 atau bujur 0), mau tidak mau sebutan 16 April harus diganti menjadi 17 April walaupun hanya berbeda beberapa jam dengan Hawai. Awal puasa Arafah di Indonesia-pun yang dilakukan sekitar 7 jam setelah fajar di Hawai, dilakukan dengan sebutan tanggal yang berbeda hanya gara-gara melewati garis tanggal internasional. Di Indonesia, puasa Arafah yang dilakukan pada 17 April 1997 berarti tetap tanggal 9 Dzulhijjah, sama dengan tanggal Qamariyah di Arab Saudi. Adanya garis tanggal yang memisahkan antara Arab Saudi dan Indonesia itulah sebenarnya yang menyebabkan Idul Adha di Arab Saudi berbeda dengan di Indonesia. Pada hari ' h ' di bagian barat (A) garis tanggal itu (Arab Saudi misalnya) sudah memasuki 10 Dzulhijjah (Idul Adha) sedangkan di sebelah timurnya (B) (Indonesia misalnya) masih tanggal 9 Dzulhijjah. Wallah a'lam


Fikih Hadits Dzulhijjah

Hadits Nabi S.a.w. menyatakan:

( عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ابْنِ يَعْمُرَ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِعَرَفَةَ فَسَأَلُوهُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى الْحَجُّ عَرَفَةُ ) (أَتَيْتُ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِعَرَفَةَ فَجَاءَ نَاسٌ أَوْ نَفَرٌ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ فَأَمَرُوْا رَجُلاً فَنَادَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كَيْفَ الْحَجُّ ؟ فَأَمَرَ رَسَولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلاً فَنَادَى الْحَجُّ الْحَجُّ، يَومُ عَرَفَةَ)

Dua hadits diatas menjelaskan, wukuf di Arafah adalah satu rukun terpenting dalam ibadah haji, tanpa wukuf, haji seseorang tidak sah. Dari dua hadits diatas juga dapat dipahami, ketiada terkaitannya dengan penentuan Idul Adha. Hadits hanya menyatakan semata-mata haji sah dengan wukuf di Arafah.

Hadits Nabi Saw menyatakan lagi:

( إِذَا رَأَيْتمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ، وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ )

Hadis ini menjelaskan, penentuan Idul Adha adalah berdasarkan terlihatnya hilal Dzulhijjah, kemudian jika ada yang hendak berqurban, agar tiada memotong rambut dan kukunya, tanpa ada kaitkan dengan hari wukuf di Arafah. Hadits ini juga menunjukkan bahwa pelaksanaan penyembelihan Qurban dihitung dari semenjak melihat hilal Dzulhijjah. Tentunya hilal Dzulhijjah yang dimaksud adalah hilal yang terlihat di tempat orang yang hendak berqurban (daerah setempat), bukan hilal di tempat lain.

Sementara hadits Nabi S.a.w.:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ .رواه الترمذي

Penggalan hadits وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ bermakna, ibadah Qurban dilaksanakan pada hari raya Qurban (Idul Adha). Hadis ini juga menunjukkan, bahwa ibadah Qurban tiada kaitan dengan penentuan ibadah haji yang dilaksanakan di Arab Saudi (sehari selepas wukuf di Arafah). Hadits di atas juga sama sekali tidak mewajibkan pelaksanaan Idul Adha merata di seluruh bumi, secara serempak. Bahwa dilaksanakan pada satu tanggal yaitu 10 Dzulhijjah adalah benar, tetapi pada pelaksanaannya tetap mengikuti perputaran bumi pada porosnya.

Perlu ditegaskan, Idul Adha dengan ibadah haji tidaklah punya kaitan secara langsung, karena waktu diwajibkannya sendiri berbeda, bahkan di dalam kitab-kitab fikih, bab Haji dan bab Udhiyah (penyembelihan) ditempatkan secara terpisah.

Penyembelihan hewan yang dikaitkan dengan ibadah haji bukanlah penyembelihan hewan Qurban (udhiyah), tetapi penyembelihan binatang hadyu buat yang melaksanakan haji Qiran, atau dam bagi yang melaksanakan haji Tamattu'. Sementara memotong Qurban (udhiyah) itu tetap saja hukumnya sunnah mu’akkadah, tidak semua yang melaksanakan ibadah haji melaksanakan ibadah Qurban, dan penetapan 10 Dzulhijjah bukan dari hari Arafah, tetapi dari kemunculan hilal tanggal 1 Dzulhijjah di tempat mana mereka akan melaksanakan Qurban. Tegasnya, Idul Adha bukan 'Idul Hajj. Wallah a'lam.


Kesimpulan

1. Penetapan Puasa Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah) adalah persoalan ijtihad, sehingga senantiasa menimbulkan perbedaan pandangan dan pendapat.
2. Penetapan Idul Adha dengan perspektif ilmiah melalui analisis astronomis-geografis garis tanggal memberikan fakta antara Indonesia dan Arab Saudi tidak selamanya dan seharusnya selalu jatuh pada hari yang sama, namun bergantung pada penampakan hilal saat ijtimak dimasing-masing tempat.
3. Hadits-hadits terkait dengan Dzulhijjah pada dasarnya sama sekali tidak menyatakan pelaksanaan Idul Adha harus sama dengan Arab Saudi. Hadis hanya menjelaskan, penentuan Idul Adha adalah berdasarkan terlihatnya hilal Dzulhijjah, kemudian jika ada yang hendak berqurban, agar tidak memotong rambut dan kukunya, tanpa ada kaitkan dengan hari wukuf di Arafah. Hadits juga menunjukkan bahwa pelaksanaan penyembelihan Qurban dihitung dari semenjak terlihat hilal Dzulhijjah. Tentunya hilal Dzulhijjah yang dimaksud hilal di tempat orang yang hendak berqurban (daerah setempat), bukan hilal di tempat lain.
4. Ide untuk menyamakan Idul Adha di Indonesia sama dengan Arab Saudi bahkan diseluruh dunia pada dasarnya akan mengingkari bundarnya bumi, Idul Adha bisa dilaksanakan sama diseluruh dunia jika kita mampu merubah bumi menjadi datar seperti datarnya kue lapis.
5. Perbedaan tanggal yang terjadi bukan pada kalender Hijriyah akan tetapi pada kalender Masehi yang menggunakan garis batas tanggal internasional pada bujur 180 derajat.
6. Idul Adha dengan pelaksanaan ibadah haji tidak punya kaitan langsung, waktu diwajibkannya-pun berbeda, bahkan di dalam kitab-kitab fikih, bab Haji dan bab Udhiyah ditempatkan secara terpisah. Dan penetapan 10 Dzulhijjah bukanlah dari hari Arafah, tetapi tetap dari kemunculan hilal tanggal 1 Dzulhijjah di tempat mana mereka akan melaksanakan Qurban.
7. Kesempurnaan hanya milik Allah S.w.t. Wallah a'lam



-------- oo --------


Rujukan:

Nadhal Qasum, dkk.; Itsbat as Syuhur al Hllaliyyah wa Musykilah at Tawqit al Islamy; Dirasah Falakiyyah wa Fiqhiyyah, Dar at Thali'ah Beirut-Libanon, cet. II, 1997 M

S.Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab & Rukyat, Telaah Syari’ah, Sains dan Teknologi, Gema Insani Press, cet.I, 1416 H-1996 M

Muhammad Ibn Ali as-Syaukani, Naylu[l] Awthar Syarh Muntaqa al-Akhbar min Ahaditsi Sayyid al-Akhyar, j.III, Dar al Wafa'-Kairo, cet. III, 1426 H/ 2005 M

Tidak ada komentar: