Kamis, 18 November 2010

Problematika Hisab-Rukyat (Kasus Idul Fitri 1429 H)

Problematika Hisab-Rukyat (Kasus Idul Fitri 1429 H)

Oleh: Muhammad Rofiq, Lc.

Hari ini (tanggal 29 September 2008), kita telah sama-sama membaca dan mendengar berita yang diturunkan oleh beberapa web-site, stasiun televisi dan surat kabar di tanah air yang menyebutkan bahwa ada tiga pihak yang sudah menyatakan waktu idul fitri jatuh pada tanggal 30 September 2008. Ketiga pihak tersebut adalah Jamaah an-Nadzir di Sulawesi Selatan, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan pemerintahan Arab Saudi. Jamaah an-Nadzir, melalui mekanisme melihat fenomena air laut pasang, mengeluarkan keputusan bahwa maghrib (saat matahari terbenam) tanggal 29 september 2008 sudah masuk 1 syawal 1429 H. Maka pada tanggal 30 September 2008 mereka akan melaksanakan salat hari raya idul fitri. Jamaah ini mempercayai bahwa ketika air laut pasang maka bumi, bulan dan matahari berada dalam posisi sejajar. Sampai detik ini, saya sebenarnya belum pernah membaca buku yang berisi penjelasan ilmiah tentang konsep ini. Saya belum menemukan satu literatur pun yang mampu menjelaskan hubungan antara fenomena pasangnya air laut dengan waktu terjadinya ijtima' (konjungsi), seperti yang diyakini oleh jamaah an-Nadzir.

Dalam berita yang ditulis www.detik.com, pemimpin spritual kelompok ini menyatakan bahwa mereka sebenarnya mengkombinasikan metode hisab dan rukyah untuk menentukan awal bulan syawal. Keputusan berhari raya pada tanggal 30 September ini bertentangan jika diukur dengan menggunakan metode rukyat murni, karena pada hari itu hilal di seluruh wilayah Republik Indonesia sudah tenggelam terlebih dahulu ketika matahari tenggelam. Di Manado Sulawesi Utara, daerah yang dekat dengan Makasar (tempat asalnya jamaah an-Nadzir), ketinggian hilal saat terbenam matahari adalah minus 2 derajat. Di Jakarta hilal berada minus 0,9 derajat di bawah ufuk. Jika diukur dengan menggunakan metode hisab, keputusan hari raya pada tanggal 30 september baru bisa dibenarkan (dalam artian menjadi logis dan tidak kontroversi) jika metode yang digunakan adalah ijtimak qablal ghurub sama seperti yang digunakan oleh negara Libya. Keputusan hari raya tanggal 30 ini sulit dibenarkan jika ditilik menggunakan perspektif metode wujudul hilal, atau apalagi imkanur rukyah. Metode ijtimak qablal ghurub ini sendiri masih diperdebatkan di tengah para ulama Islam, apakah absah untuk dijadikan parameter penentuan awal bulan qamariah. Sebagian besar ulama menolak metode ini karena dianggap terlalu sekuler dan, meminjam bahasa Profesor Sulaiman, terlalu utopis-idealis (wahmiyyah) sekaligus terkesan men-ta'thil hadis karena mengabaikan perintah melaksanakan rukyah.

Yang lebih aneh lagi sebenarnya adalah Saudi Arabia. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, keputusan hari raya di Saudi masih saja kontroversial. Saya baru saja menge-cek software JAS (Jordanian Astronomy Society) yang dibuat oleh astronom asal negara Jordania yang bernama Muhammad Syaukat Audah. Berdasarkan penghitungan otomatis program ini, disebutkan bahwa pada tanggal 29 September (hari di mana terjadinya ijtimak) pada saat matahari tenggelam bulan sebenarnya sudah tenggelam duluan di kota Makah. Hilal telah berada pada ketinggian -01.3°. Dengan demikian dalam ketinggian seperti itu sangat-sangat mustahil hilal terlihat, sehingga puasa harus di-istikmal-kan menjadi tiga puluh hari. "It's impossible to see the crescent even with optical aid." Tapi pada kenyataannya, Saudi justru mengeluarkan keputusan hari raya atau 1 Syawal jatuh pada tanggal 30 September.

Fenomena di Saudi ini terjadi karena mereka sampai saat ini enggan menggunakan hisab untuk menentukan awal bulan, bahkan sekedar sebagai variabel pembantu untuk menegasikan keterangan yang salah (lin–nafy). Tahun 2007 yang lalu, saya berkesempatan mengikuti pertemuan ahli falak dua negara; Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Arab Mesir di Hilwan. Salah seorang utusan (astronom) Saudi bercerita bahwa di Saudi otoritas sains tidak sama sekali diterima (la haula wa lâ quwwata) untuk ikut sekedar membantu, apalagi sebagai metode yang paling berperan dalam menentukan waktu terjadinya hari puasa dan hari raya. Profesor Sulaiman (Kepala Jurusan Studi Luar Angkasa pada Observatorium Astronomi dan Geo-Fisika Hilwan) mengatakan bahwa para pakar falak di Saudi telah menyalahi sunah nabi yang mengajarkan untuk melakukan pencegahan ketika terjadinya sebuah kemungkaran. Para pakar falak dunia arab, seperti yang ditulis oleh situs ICOP, mengeluarkan kecaman terhadap keputusan Saudi yang jelas-jelas salah dan bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Pak Syamsul Anwar dalam tulisannya tentang "Kalender Islam Global di web site Muhammadiyah menampilkan data detail tentang kesalahan Saudi dalam penentuan awal bulan hijriyah. Dari 46 kali rukyah, hanya tujuh kali Saudi tidak melakukan kesalahan dalam menentukan awal bulan hijriyah.

Dari mana keputusan kontroversial ini diambil? Apakah masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana Saudi menerima laporan dari beberapa warga pedalaman yang mengaku telah melihat hilal? Jika benar, ini sungguh Ironis. Menyaksikan fenomena di Saudi ini, telah melahirkan pertanyaan sendiri dalam benak saya; di mana dimensi penghargaan terhadap lmu pengetahuan? Di mana penghormatan terhadap kinerja ratusan atau bahkan ribuan ilmuwan dalam dunia falak? Saya sering membayangkan orang-orang Barat barangkali akan tertawa menyaksikan umat Islam di abad 21, abad di mana ribuan satelit mereka telah terparkir di atas bumi, masih berkoar-koar meneriakkan keharaman penggunaan hisab. Betul bahwa ini adalah bagian dari ijtihad, di mana jika salah masih berhak mendapatkan pahala satu. Tapi yang sesungguhnya yang paling penting untuk disoroti dari kasus ini adalah adanya semacam keangkuhan negara Saudi di depan perkembangan keilmuan kontemporer. Atau katakanlah mereka memang harus angkuh, tapi mengapa tidak dengan cara yang ilmiah?! Semua orang yang memahami metode Saudi dalam penentuan awal bulan Hijriyah menyaksikan dan mengetahui ada inkonsistensi dan kontradiksi antara metode rukyah mereka dengan apa yang saat ini terjadi?! Sungguh disayangkan negara yang memiliki pengaruh besar terhadap umat Islam justru masih jauh dari yang kita harapkan. Sekarang kita tinggal bertanya; kapan Saudi akan berubah? Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar: