Kamis, 21 Januari 2010

Geografi : Ilmu Ruang Yg Kehilangan Ruang

MOMON SUDARMA

Sepanjang geografi dimaknai sebagai sebuah disiplin ilmu yang memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial atau ilmu eksakta lainnya, maka mau tidak mau geografi mesti memiliki kompetensi yang khas pula.

Tuntutan ini, merupakan sebuah konsekuensi logis dari identitas keilmuannya sendiri. Dengan kata lain, manakala geografi (dalam hal ini, ahli geografi) tidak mampu memberikan rumusan tentang kompetensi yang khas dari geografi, atau tidak mampu meyakinkan masyarakat tentang kompetensi khusus dari geografi, maka ilmu ini akan kehilangan identitas diri. Kasus ’cairnya’ identitas geografi ini sangat terasa di lingkungan lembaga pendidikan.
Selama tahun 1995-2002, elit pendidikan geografi digoncang oleh berbagai isu yang sangat mengagetkan nurani-akademiknya. Bahkan, tidak jarang dengan terpaan isu tersebut, mahasiswa geografi merasa gundah gulana dibuatnya.
Pertama, tahun 1997-an, ada isu sejumlah pokok bahasan dalam geografi di SMU akan dialihposisikan (transplacement) atau migrasi pokok bahasan. Melalui suplemen kurikulum tahun 1999, isu ini menjadi satu kenyataan. Guru Geografi di SMU pasca suplement 1999, tidak akan menemukan pokok bahasan bola langit, tenaga geologi, atau litosfera. Pokok bahasan tersebut, dialihposisikan menjadi bagian dari bahasan Fisika di rumpun IPA SMU. Perlu ditegaskan di sini, alihpokok bahasan ini bukan berarti bahwa geografi ada di program IPA, melainkan pokok bahasannya dititipkan ke IPA dan diajarkan oleh guru Fisika.
Kebijakan ini membuat hentakan yang sangat keras bagi mahasiswa, atau guru geografi di lapangan. Sisi tertentu, kebijakan ini dianggap sebagai satu keuntungan. Pada sisi yang lain, dianggapnya sebagai satu kerugian besar bagi geografi. Mereka yang merasa kesulitan mengajar tema-tema tersebut, menyebutnya sebagai satu keuntungan. Dua pokok bahasan utama, yang berbau matematis dan eksakta, dihukumi sebagai pokok bahasan yang tersulit di geografi, dan kini telah keluar dari kurikulum geografi, serta menjadi bagian dari pelajaran fisika. Sedangkan bagi kelompok yang mendambakan tantangan dan pemikiran serta pengetahuan teknis dan praktis, menganggap bahwa pemindahan pokok bahasan ini menjadi awal dari kehancuran identitas geografi yang sesungguhnya. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang berkaki di dua kutub (eksakta dan sosial), maka kajian tentang astronomi dan geologi adalah pendukung kuat untuk membentuk identitas geografi sebagai ilmu sintesis antara sosial dan eksakta, sebagaimana yang dibayangkan oleh Haggets. Dengan kata lain, jika geografi di SMU kehilangan pokok bahasan ini, menggambarkan bahwa geografi kehilangan ‘sisi eksakta’ geografi. Bahkan, lebih lanjutnya lagi, geografi akan menjadi mandul atau tidak memiliki jenis kelamin yang jelas.
Kedua, pengeluaran pokok bahasan tersebut, bisa jadi dilandasi oleh alasan tertentu. Misalnya saja, adanya overlap bahasan antara Fisika dan Geografi, ketidakrelevanan bahasan eksakta di struktur bahasan geografi yang cenderung dianggap sosial. Namun demikian, pro kontra tentang pemikiran ini, sangat jelas memberikan sebuah gambaran bahwa elit geografi di Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK), dan di struktur Dinas Pendidikan Nasional, khususnya di bidang Pusat Pengembangan Kurikulum, belum memiliki kepastian dan kejelasan tentang identitas geografi. Di kedua lembaga ini, masih memendam sikap ambivalensi tentang jenis kelamin geografi. Status sosialitas atau eksaktaisnya geografi, belum dapat meyakinkan mereka semua. Menurut penulis, fenomena ini menggambarkan ada gejala kesalahan persepsi dari para perumus kurikulum di tingkat pusat terhadap identitas geografi. Dalam batas tertentu, Geografi di SMU (juga di SLTP) mereka anggap dan diposisikan sebagai bidang studi sosial.
Pada sisi struktur keilmuan, khusus untuk konteks Indonesia, disiplin ilmu geografi ini memang membingungkan. Dari tiga perguruan tinggi nasional di Indonesia ini, geografi memiliki keanekaragaman jenis kelamin. Di Universitas Indonesia (UI) geografi merupakan bagian dari MIPA, di Universitas Gadjah Mada (UGM) geografi menjadi satu fakultas khusus (berbeda dengan Ilmu Sosial), sementara di Univeristas Pendidikan Indonesia (UPI) pendidikan geografi ada di bawah Fakultas Pendidikan IPS. Bagi Forbes (1986:48), di akhir abad XIX, geografi lebih dekat dengan ilmu alam ketimbang sosiologi atau antrologi. Hanya karena ada pengembangan kajian pada geografi pembangunan, geografi manusia dan sejenisnya kemudian identitas ini mulai meluas .
Perbedaan struktur keilmuan ini, bukan hanya terjadi pada soal kebijakan universitas semata, tetapi juga dalam kebijakan nasional dalam proses memasuki jenjang pendidikan tersebut di atas. Mahasiswa yang mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi, secara alamiah tidak akan mampu menembus (sebelum diberlakukannya SPMB tahun 2002) jurusan tersebut secara bebas. Siswa IPS lulusan SMU saat itu, tidak dapat mendaftarkan diri menjadi peserta seleksi calon mahasiswa geografi di UI maupun UGM atau ITB (ada jurusan Geologi atau ilmu Kebumian), sebab struktur geografi di lembaga pendidikan tinggi ini berada di bawah induk jenis pengetahuan alam. Sementara di UPI ada di bawah induk jenis pengetahuan sosial. Hal ini, mengindikasikan bahwa geografi saat itu memiliki dua jenis kelamin yang berbeda. Geografi saat itu, kendatipun memiliki nama yang sama, namun memiliki “lubang depan dan lubang belakang” yang berbeda pula.
Ketiga, tahun 2002, guru geografi diguncang lagi dengan isu bahwa di SMU kelas II, tidak akan ada pelajaran geografi. Pada tingkat ini, mata-pokok ajaran geografi hanyalah akan menjadi suplemen (bahasan titipan) bagi pelajaran-pelajaran yang lainnya. Misalnya saja pada pelajaran fisika, biologi atau mata pelajaran lain yang memiliki pokok bahasan yang erat kaitannya dengan geografi saat ini.
Dengan mengkerdilkan mata pelajaran, dan mengkuruskan posisi jam ajaran di SMU menjadi hanya di kelas I, merupakan indikator yang sangat mengkhawatirkan dalam lingkungan pendidikan geografi.
Kebijakan ini merupakan penegasan tentang lemahnya apresiasi perumus Kurikulum pendidikan di tingkat pusat terhadap peran geografi dalam membangun kepribadian generasi muda Indonesia, sehingga mereka memposisikan geografi di SMU pada tingkat tertentu, hanyalah menjadi suplemen saja. Kebijakan ini, pada dasarnya merupakan pengerucutan ulang dari kurikulum sebelumnya, yang memposisikan geografi ada di kelas I dan II. Pada waktu yang lalu, geografi tidak diajarkan di kelas III, karena dianggap bukan bagian dari IPA, juga tidak jelas ke-IPS-annya. Dan saat ini, geografi “diwacanakan” hanya diberi porsi jam pada kelas I saja. Peran geografi yang kerdil ini, sejajar dengan peran mata pelajaran Kesenian atau muatan lokal lainnya.
Adanya ketidakmampuan elit geografi di kalangan Kampus (khususnya kampus pendidikan) untuk meyakinkan elit birokrat pendidikan tentang peran geografi dalam membangun kepribadian generasi muda. Lemahnya bargaining-position ini, terbukti dengan ketiadaannya kemampuan dalam mempengaruhi birokrat dalam merumuskan kurikulum geografi.
Berdasarkan kasus-kasus di atas, ada satu hal yang penting untuk diperhatikan, yaitu adanya gejala krisis identitas dan peran geografi. Krisis inilah yang membuat, orang non-geografi, memandang dengan sebelah mata. Di kalangan IPS -atau istilah Immanuel Wallerstein- geografi menjadi salah satu bidang studi yang tidak dijadikan komponen utama dalam pengembangan ilmu sosial. Geografi hanyalah bidang studi yang marginal dalam peta penggunaan ilmu sosial. Sementara di rumpun IPA, geografi belum diakui secara utuh. Kaitannya dengan identitas geografi ini, secara tegas Wallerstein mengatakan :
Geografi, seperti ilmu sejarah, merupakan sebuah praktek yang sudah ada sejak zaman kuno. Para akhir abad kesembilanbelas, geografi merekonstruksi dirinya sebagai sebuah disiplin baru, terutama di universitas-universitas Jerman, yang membantu mengilhami berbagai perkembangan di tempat-tempat lain. Kendatipun perhatian utama geografi adalah apa yang juga menjadi perhatian ilmu sosial, tetapi ia menolak kategorisasi. Ia mencoba menjembatani jurang dengan ilmu-ilmu alam melalui perhatiannya terhadap geografi fisik; sedangkan dengan ilmu-ilmu kemanusiaan melalui perhatiannya terhadap apa yang disebut geografi manusia (yang dalam beberapa hal sama dengan apa yang dilakukan para antropolog, meskipuin dengan tekanan pada pengaruh-pengaruh lingkungan). Selanjutnya, geografi merupakan satu disiplin dalam periode sebelum 1945, yang dalam prakteknya secara sadar berusaha sungguh-sungguh mencakup seluruh dunia dalam istilah-istilah subject-matter-nya. Inilah kelebihannya dan boleh jadi juga kelemahannya. Karena studi tentang realitas sosial pada akhir abad kesembilan-belas menjadi semakin terkompartementalisasikan ke dalam disiplin-disiplin yang terpisah-pisah, dengan pembagian kerja yang jelas, geografi tampak anakronistis dengan kecenderungan-kecenderungannya yang generalis, sintesis, non-analitis.
Kritikan terhadap geografi ini, dikemukakan pula Ton Diets. Dalam bukunya tentang “Kontur Geogarfi Lingkungan Politik”, ia mengatakan :

Jika uraian Johnston tentang geografi Anglo Saxon pasca perang bisa dipercaya, maka minat geografi dalam masalah lingkungan hidup, tentang pola-pola hubungan antar manusia dengan sumber daya alam, dapat dipastikan masih sangat kecil. Ketika pakar geografi Amerika mensponsori satu satuan tugas Lingkungan menyusul suatu debat publik tentang krisis lingkungan di Amerika Serikat pada akhir tahun 1960-an, mereka tidak mampu menarik minat kalangan akademis.

Dua kritikan ini, menjadi satu bukti tentang ketidakpercayaan sejumlah pemikir terhadap ilmu geografi itu sendiri. Bahkan, dengan pernyataan-pernyataan tersebut, semakin meneguhkan ambivalensinya pemikir geograf di tingkat akademik saat itu.
Realitas ketidakjelasan sikap dan jenis kelamin geografi ini, dapat dimaknai dalam beberapa konteks. Pertama, diartikan sebagai masa transisi ilmiah, yang sudah terjebak oleh polarisasi ilmu eksakta dan ilmu sosial. Kedua, transisi rekonstruksi keilmuan geografi yang memiliki obsesi sebagai jembatan ilmu antara dua kutub tersebut. Ketiga, adanya “ruang kosong” pemikiran yang belum dihuni oleh imajinasi keilmuan, yang perlu dijadikan peluang dalam mengembangkan ilmu sintetik ini. Keempat, inilah saatnya untuk meneguhkan peran dan posisi geografi dalam konteks kehidupan nyata di Indonesia.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada sekelompok pihak yang mengatakan bahwa “justru di sinilah letak peran geografi yang sebenarnya, yaitu menjembatani antara ilmu eksakta dan ilmu sosial, sekaligus juga mensintetisir disiplin ilmu yang terpecah belah”.

Kecerdasan dan keterampilan manusia dalam memanfaatkan ruang, akan memberikan arah bagaimana alam dimodifikasi untuk kelangsungan hidupnya. Geografer membangun jembatan antara natural science dan social science dan mengkaji secara utuh human-earth ecosystem.

Pernyataan ini, penting dan patut untuk direspon dengan baik. Minimalnya bagi penulis, pemecahan terhadap masalah ini, akan mampu mengajak kepada semua pihak yang terkait dengan masalah ini, untuk mentafakuri tentang identitas dan posisi geografi itu sendiri. Klaim terhadap posisi dan peran tersebut di atas, perlu diperjelas kembali. Khususnya terkait dengan kemampuannya sebagai sebuah disiplin ilmu dalam memberikan sumbangan pemikiran terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Sebab, jika klaim hanya tinggal klaim tanpa ada bukti nyata dalam kiprahnya di masyarakat, maka geografi akan menjadi satu disiplin ilmu keruangan yang kehilangan ruang.

Tidak ada komentar: