Kamis, 21 Januari 2010

ANALISIS KARAKTERISTIK PERMUKIMAN DESA-DESA PESISIR DI KABUPATEN KULONPROGO

ANALISIS KARAKTERISTIK PERMUKIMAN DESA-DESA PESISIR
DI KABUPATEN KULONPROGO
The Analysis of Rural Settlement Characteristics on The Coastal Area
in District of Kulonporogo
oleh:
Djaka Marwasta
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada,
Kuswaji Dwi Priyono
Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta

PENDAHULUAN
Kejadian bencana gempa bumi yang
diikuti tsunami di Aceh, Nias, Pangandaran,
serta beberapa bagian wilayah Indonesia
telah menyadarkan sebagian besar penduduk
Indonesia akan resiko bencana di
kawasan pesisir dan pantai. Banyak sekali
fenomena yang menunjukkan bahwa penduduk
di daerah pesisir mengalami “trauma”
atau “pobhia” terhadap kejadian gempa
dan tsunami. Fenomena ini menunjukkan
58 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 57 - 68
bahwa perlu adanya sosialisasi mengenai
tingkat bahaya yang mungkin terjadi di
daerah-daerah permukiman di sepanjang
pantai dan pesisir, terutama pada pantai
yang berhadapan langsung dengan zona
tumbukan lempeng tektonik.
Permukiman merupakan daerah
yang paling penting dalam kegiatan mitigasi
bencana alam, karena merupakan tempat
tinggal dan tempat berkumpulnya penduduk
(Katayama, 2000). Kerugian terbesar
akibat bencana umumnya terdapat pada
daerah permukiman penduduk. Dengan demikian
identifikasi karakteristik permukiman
perlu dilakukan untuk dapat mengenali
tingkat resiko bencana yang mungkin
terjadi.
Secara umum penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi karaktersitik permukiman
desa-desa pesisir sepanjang Pantai
Selatan Jawa di Kabupaten Kulonprogo.
Pemilihan Kabupaten Kulonprogo sebagai
daerah penelitian didasari pertimbangan
bahwa di Kabupaten ini memiliki pantai
yang berhadapan dengan Samudera Indonesia
dan umumnya morfologi pantainya
cenderung landai. Sebagaimana diketahui
bahwa di Samudera Indonesia terdapat
pertemuan lempeng tektonik Australia dan
Euro-Asia sehingga kemungkinan terjadinya
tsunami relatif besar. Dengan morfologi
pantai yang landai, maka apabila terjadi
gelombang pasang menyebabkan air akan
masuk ke daratan relatif jauh sehingga
daerah luapan airnya sangat luas.
Obyek penelitian ini ialah karakteristik
permukiman, lingkungan fisik, dan
kondisi sosial ekonomi desa pesisir. Lokasi
Penelitian adalah desa-desa yang memiliki
pantai di Samudera Indonesia yang termasuk
dalam Wilayah Kabupaten Kulonprogo.
Secara umum penelitian ini bertujuan
untuk: (1) mengidentifikasi karakteristik
permukiman, kondisi sosial- ekonomi dan
fisik lingkungan permukiman desa-desa
pesisir sepanjang Pantai Selatan Jawa di
Kabupaten Kulonprogo; (2) mengkaji keterkaitan
antara karakteristik permukiman
dengan kondisi sosial-ekonomi dan fisik
lingkungan permukiman desa-desa pesisir
sepanjang Pantai Selatan Jawa di Kabupaten
Kulonprogo; serta (3) pemintakatan
bahaya bencana gelombang pasang..
METODE PENELITIAN
Secara umum penelitian bersifat
deskriptif-evaluatif dengan menggunakan
dua pendekatan yaitu pendekatan Morphological
Approach dan Behaviour Approach
(Neer, 1999). Pendekatan pertama berkaitan
dengan kajian aspek setting geografis
dan lingkungan dari eksistensi dan karakteristik
permukiman. Pendekatan kedua
berkaitan dengan kajian proses memukimi
oleh penduduk, “survival strategy” yang dimiliki
oleh penduduk yang dimanifestasikan
dalam kondisi sosio-ekonomiknya.
Kedua pendekatan tersebut dioperasionalisasikan
dengan comparative perspective,
yaitu dengan membandingkan eksistensi
permukiman yang disaring melalui mekanisme
penentuan tipologi permukiman dan
tipologi pantai
Data yang digunakan dalam penelitian
ini diperoleh dari interpretasi citra
Landsat ETM tahun 2004 (http://
www.Landsat.org) (http://www.usgs.gov/
pubprod/satellitedata), peta-peta tematik,
data PODES 2005, dan hasil wawancara
terhadap responden secara indepth interview.
Untuk penentuan responden di dalam
kegiatan indepth interview digunakan
teknik quota sampling. Sebanyak 30 KK
Analisis Karakteristik Permukiman Desa-Desa ... (Djaka Marwasta dan Kuswaji Dwi P.) 59
diambil sebagai responden, dimana masingmasing
desa diwakili oleh 3 orang kepala
rumah tangga sebagai responden. Pemilihan
responden dilakukan secara acak
untuk masing-masing desa, dan orang yang
dijadikan responden adalah kepala keluarga.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan
perangkat lunak SIG berbasis vektor
(Arcview versi 3.3) dan raster (ENVI versi
4.0), dan perangkat lunak analisis statistik
SPSS versi 12. Teknik analisis yang digunakan
adalah analisis spasial dan analisis
statistik deskriptif (tabel frekuensi maupun
tabel silang).
Dalam studi ini, digunakan unit
analisis desa pesisir. Obyek yang dikaji pada
masing-masing unit analisis adalah: (1)
karakteristik permukiman meliputi: (a) pola
sebaran permukiman; (b) kepadatan permukiman;
dan (c) permanensi bangunan;
(2) karakteristik sosial ekonomi penduduk
meliputi: (a) jenis pekerjaan; (b) tingkat
ekonomi; dan (c) tingkat pendidikan; (3)
karaktersitik fisik lingkungan meliputi: (a)
morfologi pantai; (b) bentuk lahan; dan (c)
aksesibilitas fisik.
Hasil identifikasi karakterisitik permukiman
dan kondisi sosio-ekonomi
diwujudkan dalam bentuk peta karakteristik
permukiman dan kondisi sosio-ekonomi
penduduk daerah penelitian. Disamping itu
juga dilakukan pemetaan kondisi fisik
lingkungan daerah penelitian, yang didasarkan
pada interpretasi citra Landsat ETM
maupun peta hasil penelitian/publikasi dan
atau turunan dari peta Rupa Bumi Indonesia.
Keseluruhan peta selanjutnya dianalisis
dengan SIG untuk menghasilkan model
keterkaitan antar faktor. Dari hasil analisis
SIG selanjutnya dianalisis secara statistik
(analisis frekuensi dan tabel silang). Dari
hasil analisis SIG juga dapat diturunkan
output penelitian berupa pemintakatan
bahaya bencana gelombang pasang daerah
permukiman di desa-desa pesisir dengan
teknik overlay dan model iterasi sederhana.
HASIL PENELITIAN
Secara adminstratif daerah penelitian
meliputi 10 desa dari 4 kecamatan. Desadesa
tersebut meliputi Jangkaran, Sindutan,
Palihan dan Glagah yang termasuk wilayah
administrasi Kecamatan Temon. Desa
Karang Wuni termasuk wilayah administrasi
Kecamatan Wates, sedangkan Desa
Garongan, Pleret, dan Bugel, termasuk
wilayah Kecamatan Panjatan, serta Karangsewu
dan Banaran termasuk wilayah
Kecamatan Galur.
Secara geomorfologis, berdasarkan
asal proses utamanya, fenomena bentanglahan
di daerah penelitian dapat dikelompokkan
ke dalam 2 satuan geomorfologi,
yaitu: satuan geomorfologi asal proses marin
dan asal proses eolian (lihat Gambar 1).
Satuan gemorfologi yang terbentuk akibat
proses marin (aktivitas gelombang laut)
yang ada di daerah penelitian dapat dikelompokkan
menjadi 2, yaitu satuan gisik
(beach) dan beting gisik (beting gisik). Gisik
di daerah penelitian merupakan zona yang
relatif sempit di sepanjang pantai, dengan
lebar antara 25 hingga 50 meter, secara
spesifik berada di sekitar muara Sungai
Serang.
Satuan geomorfologi asal proses
aktivitas angin (eolian) adalah gumuk pasir
(sand dunes). Di daerah penelitian kompleks
gumuk pasir ini berselang-seling dengan
Swale, yaitu suatu bentanglahan yang
berupa cekungan di antara dua gumuk pasir,
yang dapat berperan sebagai ledok drainase.
Kompleks gumuk pasir dan swale secara
60 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 57 - 68
keseluruhan membentuk relief berombak
yang tersusun oleh material pasir lepas. Pada
dasar swale, biasanya dijumpai akumulasi
material yang lebih halus seperti lempung
dan debu, yang memungkinkan lahan ini
dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian
tanaman semusim, seperti: cabe, tomat, terong,
sawi, atau jenis polowijo lainnya. Jenis
penggunaan lahan ini bertahan sepanjang
tahun, karena ketersediaan airtanah yang
cukup, relatif dangkal, dan rasanya tawar,
di seluruh kompleks gumuk pasir dan
swale.
Secara umum permukiman di daerah
penelitian berlokasi di bagian bentuklahan
beting gisik dan dataran fluviomarin. Kondisi
tersebut merupakan manifestasi dari
adaptasi penduduk terhadap lingkungan di
dalam menentukan lokasi tempat hunian
(Yunus, 1989). Proses memukimi daerahdaerah
tersebut didasari pertimbangan bahwa
pada daerah beting gisik secara topografis
letaknya lebih tinggi dibandingkan
daerah di sekitarnya, sedangkan pemilihan
di dataran fluvio marin didasari oleh kedekatannya
terhadap lahan-lahan yang dapat
diusahakan untuk aktivitas pertanian padi
sawah. Letak yang lebih tinggi memberikan
keuntungan terhindar dari pengaruh banjir
yang sering terjadi terutama di daerah
sekitar muara sungai, maupun relatif aman
dari aktivitas pasang surut air laut.
Secara umum pola sebaran permukiman
di daerah permukiman adalah mengelompok
dengan bentuk memanjang
sepanjang pantai, berarah timur ke barat
(lihat Gambar 2). Hal ini bisa dimaklumi
karena bentuk beting gisik umumnya
memang selaras dengan garis pantai. Hanya
di beberapa tempat di dataran fluvio marin
Gambar 1. Peta Bentuklahan Daerah Penelitian
Analisis Karakteristik Permukiman Desa-Desa ... (Djaka Marwasta dan Kuswaji Dwi P.) 61
pola permukiman penduduknya mengelompok
berbentuk segi empat, dan beberapa
kelompok permukiman memanjang
sejajar jalan arah utara-selatan, terutama rumah-
rumah yang dibangun setelah terbangunnya
jalan-jalan penghubung jalur selatan
dan jalur tengah Kabupaten Kulonprogo.
Kepadatan permukiman desa-desa
pesisir umumnya tinggi, terutama pada
desa-desa nelayan, tetapi fenomena desadesa
pesisir di Kabupaten Kulonprogo menunjukkan
bahwa kepadatan permukimannya
relatif rendah. Secara umum kepadatan
penduduk pada daerah permukiman kurang
dari 200 jiwa setiap hektarnya. Hanya Desa
Karang Sewu yang memiliki kepadatan
lebih dari 300 jiwa per hektar. Padatnya
penduduk pada lahan permukiman di Desa
Karang Sewu terutama disebabkan oleh
pola permukimannya yang cenderung
mengelompok dan asosiatif dengan lahanlahan
pertanian. Aktivitas pertanian di desa
ini sangat menonjol sehingga mengontrol
pola dan kepadatan permukimannya.
Dari aspek kepadatan rumah mukim,
rerata kepadatan rumah mukimnya cenderung
tinggi (lihat Tabel 1). Semua desa
memiliki kepadatan rumah mukim rerata
lebih dari 20 rumah setiap hektarnya. Desa
Karang Sewu yang memiliki kepadatan
penduduk pada lahan permukiman tertinggi,
juga merupakan desa dengan rerata kepadatan
bangunan rumah tertinggi, yaitu lebih
dari 60 unit rumah per hektar. Dengan angka
kepadatan lebih dari 60 rumah per hektar,
desa ini tergolong berkepadatan tinggi.
Ditinjau dari permanensi bangunan,
secara umum proporsi antara permukiman
permanen dengan non permanen di daerah
penelitian cenderung seimbang. Tingkat
permanensi bangunan rumah mukim dapat
Gambar 2. Peta Pola Persebaran Permukiman Daerah Penelitian
62 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 57 - 68
dijadikan sebagai tolok ukur kualitas permukiman
pada umumnya (Yunus, 1989).
Semakin banyak bangunan non permanen
mengindikasikan semakin rendahnya
kualitas permukiman. Persentase bangunan
permanen di semua desa yang diteliti adalah
70% yang menunjukkan bahwa secara
umum kualitas permukiman di daerah penelitian
tergolong cukup baik. Desa Banaran
merupakan desa yang memiliki kualitas
permukiman terbaik di antara desa lainnya,
sedangkan Desa Pleret merupakan desa
dengan kualitas permukiman terendah.
Kondisi fisik lingkungan merupakan
faktor penting dalam proses memukimi
maupun produk yang berupa permukiman
(Bockstael, 1996). Pola persebaran permukiman
rural lebih banyak ditentukan oleh
faktor fisik lingkungan dibandingkan pertimbangan-
pertimbangan sosio-ekonomik
semata (Knox,2004) (Hardie,1997). Dalam
hal permukiman di daerah pesisir, kondisi
fisik yang secara signifikan berpengaruh
terhadap terbentuknya pola persebaran
permukiman tertentu adalah morfologi
pantai, bentuk lahan, dan aksesibilitas fisik.
Secara morfologis daerah penelitian
termasuk ke dalam tipe pantai berpasir,
dimana aktivitas yang dominan adalah
proses sedimentasi material gunungapi yang
terbawa oleh air sungai (dalam hal ini sungai
Progo, Serang, dan Bogowonto), maupun
aktivitas pasang surut air laut. Ciri morfologis
pantainya adalah berlereng cenderung
landai, banyak dijumpai gumuk pasir (sand
dunes), bermaterial pasir lepas, dan garis
pantainya cenderung lurus dan panjang.
Di kanan-kiri aliran sungai di daerah
penelitian dapat dijumpai satuan bentuklahan
tanggul alam. Tanggul alam di daerah
penelitian dapat dikelompokkan menjadi 2,
yaitu: tanggul alam muda (F2) yang ada di
sekitar aliran Sungai Serang, dan tanggul
alam tua (F3). Tanggul alam muda terbentuk
akibat aktivitas Sungai Serang, yang
Tabel 1. Kepadatan dan Permanensi Rumah Mukim Menurut Desa
Sumber: Hasil Pengolahan Data PODES tahun 2003 dan Hasil Analisis dengan SIG
Desa Rumah Permanen %
non
Permanen
%
Luas
Permukiman
(Ha)
Kepadatan
(rumah/ha)
Jangkaran 324 217 66,98 107 33,02 13,8 23,5
Sindutan 392 263 67,09 129 32,91 11 35,6
Palihan 420 249 59,29 171 40,71 17,2 24,4
Glagah 542 361 66,61 181 33,39 18 30,1
Karang Wuni 725 521 71,86 204 28,14 14,4 50,3
Garongan 614 359 58,47 255 41,53 24,4 25,2
Pleret 777 285 36,68 492 63,32 31,8 24,4
Bugel 862 400 46,40 462 53,60 31,7 27,2
Karang Sewu 1456 1333 91,55 123 8,45 23,4 62,2
Banaran 1109 1075 96,93 34 3,07 49,9 22,2
Jumlah 7221 5063 70,11 2158 29,89 235,6 30,6
Analisis Karakteristik Permukiman Desa-Desa ... (Djaka Marwasta dan Kuswaji Dwi P.) 63
kemungkinan akan terus berkembang selama
sungai ini tetap mengalir sepanjang
tahun, pada saat ini dimanfaatkan oleh
penduduk untuk tegalan dan perkebunan.
Tanggul alam tua pada saat ini telah dimanfaatkan
sebagai lahan permukiman penduduk
atau pekarangan dengan budidaya
tanaman semusim (polowijo dan buahbuahan).
Satuan Dataran Fluviomarin yang
ada di daerah penelitian merupakan satuan
geomorfologi yang terbentuk sebagai hasil
kerjasama aktivitas marin berupa laguna
dengan aktivitas sedimentasi. Akibat proses
sedimentasi dari daratan, maka laguna ini
tertutup dan menjadi daratan, atau akibat
aktivitas manusia, genangan ini kemudian
diatuskan sehingga dapat kering dan dapat
dijadikan lahan pertanian. Mengingat satuan
ini secara genesis bekas laguna yang
dulunya tergenang sepanjang tahun, maka
drainase permukaannya buruk. Kondisi
yang demikian menyebabkan pada satuan
ini banyak dimanfaatkan untuk pertanian
lahan basah. Karena topografinya yang rendah
dan lebih mudah tergenang air, maka
“sistem surjan” diterapkan sebagai pola
tanam sepanjang tahun pada satuan ini,
dimana pada bagian bawah (alur-alurnya)
ditanami padi, sedang pada bagian atas
(guludan) ditanami cabe atau jenis polowijo
lainnya. Kondisi sekarang banyak dibuat
sumur-sumur pantek sebagai sumber irigasi
di musim kemarau.
Satuan Beting Gisik tua dimanfaatkan
sebagai lahan permukiman. Beting gisik
di daerah penelitian umumnya hanya bersifat
tunggal atau satu jalur. Satuan ini mempunyai
topografi yang relatif datar atau
sedikit berombak, relief teratur, dan didominasi
oleh material pasir dengan ukuran
halus bercampur dengan sedikit debu dan
lempung pada bagian atas. Kondisi ini
menyebabkan akuifer pada satuan ini cukup
baik, airtanah dangkal dan berasa tawar,
sehingga banyak dimanfaatkan oleh penduduk
sebagai sumber air bersih, yaitu dengan
membuat sumur-sumur gali biasa atau dengan
sumur pompa. Pada satuan ini banyak
dimanfaatkan sebagai lahan permukiman
dan pekarangan dengan berbagai jenis
tanaman perkebunan, buah-buahan dan
polowijo.
Karakteristik sosial ekonomi penduduk
di daerah penelitian dapat ditelaah
berdasarkan jenis pekerjaan, tingkat
ekonomi, dan tingkat pendidikan. Menurut
jenis pekerjaan utama kepala keluarga, hampir
semua desa didominasi jenis pekerjaan
agraris (lihat Tabel 2), baik sebagai petani
pemilik, petani penggarap, maupun buruh
tani. Jelaslah bahwa budaya agraris masih
mendominasi pada setiap aktivitas penduduknya.
Sebagai desa pesisir, ternyata budaya
maritim belum merambah sendi-sendi
kehidupan masyarakatnya. Kehidupan
penduduk masih lebih dominan ditopang
dari sektor pertanian darat, belum banyak
dijumpai penduduk yang bekerja sebagai
nelayan meskipun rumahnya dekat dengan
laut. Bahkan ironisnya, kalaupun ada nelayan
adalah pendatang dari daerah lain,
misalnya dari Cilacap.
Tingkat ekonomi penduduk dapat
diukur dengan berbagai pendekatan, misalnya
pendapatan kepala keluarga, konsumsi
rumah tangga, pendapatan per kapita, dan
sebagainya. Dalam penelitian ini digunakan
persentase rumah tangga miskin. Tingkat
ekonomi penduduk di daerah penelitian
umumnya tergolong tingkat ekonomi
cukup. Ditinjau dari kategorisasi rumah
tangga miskin, umumnya desa-desa di
daerah penelitian memiliki rumah tangga
64 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 57 - 68
miskin kurang dari 3%, kecuali di desa
Karang Wuni yang hampir mencapai 5%
(lihat Tabel 2).
Pendidikan merupakan salah satu
parameter yang banyak digunakan untuk
menilai kondisi sosial ekonomi penduduk.
Salah satu tolok ukur untuk menentukan
tingkat pendidikan penduduk adalah dengan
melihat persentase keluarga yang memiliki
anggota rumah tangga berpendidikan
perguruan tinggi. Dengan adanya anggota
rumah tangga berpendidikan tinggi akan
berdampak pada pola pikir dan pola tindak
di dalam keluarga.
Diukur berdasarkan persentase keluarga
dengan anggota rumah tangga berpendidikan
perguruan tinggi, Desa Karang
Sewu merupakan desa dengan tingkat pendidikan
tertinggi dibanding desa-desa lain
(lihat Tabel 2). Jumlah keluarga yang memiliki
anggota rumah tangga berpendidikan
tinggi membawa dampak pada tingkat
kemajuan sosial dan ekonomi masyarakat
secara umum. Karang Sewu, walaupun secara
umum tergolong desa miskin, tetapi
memiliki kemajuan dalam bidang pendidikan.
Dapat disimpulkan bahwa secara
umum kondisi sosial ekonomi di daerah penelitian
masih didominasi sektor pertanian
tanaman pangan, tingkat ekonomi masyarakat
umumnya miskin hingga cukup, dan
tingkat pendidikan relatif rendah. Budaya
maritim belum banyak menyentuh sistem
kegiatan keseharian penduduk walaupun
mereka tinggal di daerah pesisir yang memiliki
sumberdaya kelautan yang masih melimpah.
Dampak terhadap mitigasi kebencanaan
daerah pesisir adalah bahwa sense
penduduk terhadap bencana akibat aktivitas
laut masih tergolong rendah. Seperti
yang pernah terjadi beberapa waktu yang
lalu tentang kemungkinan terjadinya badai
tropis di Pantai Selatan Jawa, ternyata malah
disikapi dengan cara-cara dan budaya
agraris yaitu makan sayur tujuh macam.
Tabel 2. Keluarga Miskin, Jenis Pekerjaan Utama Kepala Keluarga, dan Keluarga
dengan Anggota Rumah Tangga Berpendidikan Tinggi menurut Desa
Sumber: Hasil Pengolahan Data PODES tahun 2003
Desa
Jumlah
Penduduk
Jumlah
KK
KK
Miskin
%
KK
Pertanian
%
KK
non
Pertanian
%
KK dengan
ART di PT
%
Jangkaran 1735 322 9 2,80 258 80,12 64 19,88 8 2,48
Sindutan 2012 489 5 1,02 429 87,73 60 12,27 11 2,25
Palihan 2433 466 5 1,07 265 56,87 201 43,13 10 2,15
Glagah 2680 578 5 0,87 346 59,86 232 40,14 16 2,77
Karang Wuni 2794 704 35 4,97 598 84,94 106 15,06 45 6,39
Garongan 3388 772 3 0,39 676 87,56 96 12,44 32 4,15
Pleret 4925 898 5 0,56 741 82,52 157 17,48 73 8,13
Bugel 4442 917 4 0,44 876 95,53 41 4,47 67 7,31
Karang Sewu 7506 1586 25 1,58 1110 69,99 476 30,01 237 14,94
Banaran 5330 1131 7 0,62 791 69,94 340 30,06 42 3,71
Jumlah 37245 7863 103 1,31 6090 77,45 1773 22,55 541 1,31
Analisis Karakteristik Permukiman Desa-Desa ... (Djaka Marwasta dan Kuswaji Dwi P.) 65
Karakteristik permukiman penduduk
yang bercirikan bentuk memanjang dengan
pola mengelompok (clustered), berkepadatan
tinggi, dan proporsi bangunan permanen
seimbang dengan bangunan non permanen,
berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan
maupun kondisi sosial ekonomi
penduduk. Terbentuknya pola persebaran
permukiman tertentu dipengaruhi oleh
faktor internal penghuni yang berkait erat
dengan kondisi sosial ekonomi penduduk,
serta faktor eksternal yang didominasi oleh
faktor fisik lingkungan (Yunus, 1989)
(Gustafson, 1998). Pada setiap lokasi geografis
tertentu memiliki kondisi fisik lingkungan
dan kondisi sosial ekonomi masyarakat
yang berbeda-beda, sehingga determinan
terbentuknya pola persebaran permukiman
pada masing-masing tempat juga
berbeda-beda (Fajita, 1982).
Hubungan antara karakteristik sosial
ekonomi penduduk dengan karakteristik
permukiman dianalisis dengan tabel silang
menggunakan data primer hasil wawancara
dengan 30 responden sebagai sampel. Berdasarkan
hasil analisis terhadap data yang
diperoleh dengan cara wawancara dengan
responden menunjukkan bahwa terdapat
hubungan cukup signifikan antara karakteristik
sosial ekonomi penduduk dengan
karakteristik permukimannya. Permukiman
Tipe A adalah permukiman berpola mengelompok,
kepadatan tinggi, dan kualitas
bangunan kurang baik, tipe B adalah permukiman
berpola mengelompok dan atau
random, kepadatan sedang, kualitas bangunan
sedang, tipe C berpola random dan
atau uniform, kepadatan rendah hingga
sedang, dan kualitas bangunannya sedang
hingga baik.
Permukiman tipe A didominasi oleh
sektor pekerjaan pertanian, Tipe B oleh
sektor perdagangan dan jasa, dan tipe C
oleh PNS (lihat Tabel 3). Dapat disimpulkan
bahwa sektor pekerjaan berhubungan
cukup signifikan dengan karakteristik
permukiman, dimana kepala keluarga
yang bekerja dalam sektor pertanian
umumnya kurang baik tipe permukimannya.
Tingkat ekonomi keluarga juga
memiliki hubungan cukup signifikan
dengan tipe permukiman, dimana semakin
tinggi tingkat ekonominya semakin baik tipe
permukimannya (lihat Tabel 4). Secara
umum tipe permukiman di daerah penelitian
adalah tipe menengah, dan ini sejalan
dengan tingkat ekonomi yang juga didominasi
kategori sedang.
Tingkat pendidikan anggota rumah
tangga juga berhubungan signifikan dengan
tipe permukiman. Semakin rendah tingkat
Tabel 3. Tipe Permukiman menurut Sektor Pekerjaan
Sumber: Hasil Olahan Data Primer 2005
Tipe Permukiman
Sektor Pekerjaan
A % B % C %
Jumlah
Pertanian 9 (82) 6 (50) 1 (14) 16
Perdagangan&Jasa 1 (9) 3 (25) 4 (57) 8
PNS 1 (9) 3 (25) 2 (29) 6
Jumlah 11 (100) 12 (100) 7 (100) 30
66 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 57 - 68
pendidikan anggota rumah tangga semakin
kurang baik tipe permukimannya (lihat
Tabel 5). Perlu dijelaskan bahwa variabel
lokasi dan provisi permukiman tidak digunakan
untuk menentukan tipe permukiman
karena kedua variabel ini homogen
di semua desa yang diteliti. Demikian juga
dengan variabel struktur keluarga dan pola
pemilikan rumah dan lahan juga tidak disertakan
dalam menentukan kondisi sosial
ekonomi karena keduanya juga homogen.
Secara spasial tipe permukiman pada
desa-desa pesisir Pantai Selatan Jawa di
Kabupaten Kulonprogo terdistribusi atas
tipe permukiman A tersebar di bagian
tengah, tipe permukiman B menempati
desa-desa di bagian barat, dan tipe permukiman
C berada di bagian timur dari daerah
penelitian (lihat gambar 2). Aksesibilitas
memegang peranan di dalam pola persebaran
tipe permukiman tersebut, dimana
daerah timur yang lebih dekat dengan Kota
Yogyakarta tipe permukimannya paling
baik. Secara administratif Kabupaten
Kulonprogo termasuk ke dalam propinsi DI
Yogyakarta, sehingga keterikatan terhadap
Kota Yogyakarta sebagai ibukota propinsi
memberikan pengaruh terhadap karakteristik
sosial ekonomi yang berdampak terhadap
pola permukiman yang lebih baik dibandingkan
bagian tengah dan barat.
Bagian tengah merupakan daerah
yang paling kurang aksesibel secara
kewilayahan, sedangkan bagian barat justru
cenderung lebih aksesibel karena relasi
ekonomi terhadap Kabupaten Purworejo
relatif lebih baik dibandingkan bagian
tengah. Konsekuensi dari fenomena tersebut
menjadikan bagian barat tipe permukimannya
cenderung lebih baik daripada
bagian tengah, walaupun tidak sebaik bagian
timur. Dalam hal ini ditemui kenyataan
bahwa secara kualitatif aksesibilitas fisik
berpengaruh cukup nyata terhadap karakteristik
permukiman yang terbentuk di
suatu tempat tertentu (Spellerberg, 1998).
Dalam hubungannya dengan faktor
fisik lingkungan, secara visual terlihat nyata
bahwa bentuk lahan sangat menentukan pola
persebaran dan bentuk permukiman. Permukiman
hanya dijumpai pada satuan bentuklahan
beting gisik dan dataran fluviomarin,
dengan karakteristik pada beting gisik berpola
mengelompok dengan bentuk memanjang
(linear) sejajar dengan garis pantai, dan pada
dataran fluviomarin berpola random dan atau
uniform dengan bentuk bintang dan atau
memanjang sejajar dengan jalan. Morfologi
pantai yang homogen di daerah penelitian
menyebabkan hubungan antara variabel ini
dengan pola permukimannya tidak tampak
nyata. Hubungan morfologi pantai dengan
Tabel 4. Tipe Permukiman menurut Tingkat Ekonomi
Sumber: Hasil Olahan Data Primer 2005
Tipe Permukiman
Tingkat Ekonomi
A % B % C %
Jumlah
Rendah 3 (27) 1 (8) 1 (14) 5
Sedang 6 (55) 10 (84) 4 (57) 20
Tinggi 2 (18) 1 (8) 2 (29) 5
Jumlah 11 (100) 12 (100) 7 (100) 30
Analisis Karakteristik Permukiman Desa-Desa ... (Djaka Marwasta dan Kuswaji Dwi P.) 67
karak-teristik permukiman akan dapat
dianalisis dengan jelas apabila terdapat variasi
tipe morfologi pantai untuk berbagai karakteristik
permukiman.
Salah satu faktor yang sangat perlu
diperhatikan bagi permukiman-permukiman
pada daerah pesisir adalah kerawanan
terhadap bencana alam, terutama
yang disebabkan oleh aktivitas laut, misalnya
rob dan tsunami. Usaha mitigasi ataupun
meminimalisasi resiko apabila terjadi
bencana sangat diperlukan untuk menghindari
banyaknya korban bencana, salah satu
caranya adalah dengan melakukan pemintakatan
tingkat bahaya bencana untuk daerah-
daerah di sepanjang pantai dan pesisir.
Dalam penelitian ini analisis deskriptif
kualitatif digunakan untuk menakar tingkat
bahaya masing-masing desa di daerah penelitian.
Dari faktor fisik jelas bahwa semua
desa memiliki tingkat bahaya yang hampir
sama, karena umumnya penduduk menghuni
di satuan bentuklahan beting gisik yang
memiliki ketinggian relatif rendah terhadap
muka air laut. Keberadaan gumuk pasir juga
kurang membantu karena volume-nya yang
relatif kecil. Dengan bentuk permukiman
yang memanjang sepanjang pantai, resiko
terkena gelombang pasang semua desa
tersebut relatif tinggi.
Namun demikian, ada dua hal yang
cukup memberikan pengaruh positif
terhadap rendahnya kerentanan terhadap
bencana, yaitu kepadatan penduduk dan
aksesibilitas untuk mencapai daerah atas.
Penentuan tingkat resiko ini hanya didasarkan
pada jumlah penduduk, kepadatan
rumah mukim, dan kepadatan jalan. Secara
umum tingkat resiko bencana tsunami di
desa-desa pesisir tersebut terdistribusi secara
acak, tidak menunjukkan pola atau konsistensi
ruang tertentu. Namun demi-kian
secara umum tingkatnya adalah sedang.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Karakteristik permukiman desa-desa
pesisir sepanjang Pantai Selatan Jawa
di Kabupaten Kulonprogo menunjukkan
pola mengelompok (clustered) berbentuk
linear sejajar garis pantai, kepadatan
rumah sedang, terletak pada
satuan bentuklahan beting gisik, tipe
morfologi pantai berpasir, lereng landai,
aksesibilitas fisik baik, ditandai kepadatan
jalan tinggi, serta kondisi sosial
ekonomi penduduk kategori menengah,
dicirikan oleh pekerjaan sektor pertanian,
tingkat ekonomi sedang, tingkat
pendidikan sedang.
Tabel 5. Tipe Permukiman menurut Tingkat Pendidikan
Sumber: Hasil Olahan Data Primer 2005
Tipe Permukiman
Tingkat Pendidikan
A % B % C %
Jumlah
Rendah 6 (55) 3 (25) 1 (14) 10
Sedang 3 (27) 6 (50) 2 (29) 11
Tinggi 2 (18) 3 (25) 4 (57) 9
Jumlah 11 (100) 12 (100) 7 (100) 30
68 Forum Geografi, Vol. 21, No. 1, Juli 2007: 57 - 68
2. karakteristik permukiman berhubungan
secara signifikan dengan kondisi sosial
ekonomi penduduk dan kondisi fisik
lingkungan permukiman, dimana
semakin tinggi kondisi sosial ekonomi
semakin baik tipe permukimannya.
3. secara umum tingkat bahaya terhadap
bencana gelombang pasang di daerah
penelitian berada pada tingkat sedang.
Saran
Perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat
pesisir selatan di Kabupaten Kulonprogo
mengenai mitigasi bencana gelombang
pasang maupun tsunami secara intensif, mengingat
masyarakat setempat kurang memiliki
sense of hazard terhadap potensi bencana tersebut.
Demikian pula kebijakan tata ruang
daerah pesisir perlu dirumuskan secara sungguh-
sungguh untuk mengurangi resiko bencana
yang mungkin terjadi pada kawasan itu.
DAFTAR PUSTAKA
Bockstael, N. E. 1996. “Modeling Economics and Ecology: The Importance of a Spatial
Perspective.” American Journal of Agricultural Eronomics 78 (December): 168-80.
Fajita, M. 1982. “Spatial Patterns of Residential Development, Journal of Urban Economics
12 :22-52.
Gustafson, E. J. 1998. Quantifying Landscape Spatial Pattern: What is the state of the art?
Ecosystems 1:143-156.
Hardie, I.W., and P.J. Parks. 1997. “Land Use with Heterogeneous Land Quality: An
Application of an Area Base Mode.” American Joumal of Agricultural Economics 79
(May): 299-3 10.
Katayama, Ritsu et al., 2000, A Research On The Urban Disaster Prevention Plan Concerning
Earthquake Risk Forecast By Remoto Sensing in The Tokyo Bay Area, ISPRS, Vol,
Part B7, P6 62-669, Amsterdam.
Knox, Paul, and Marston, Sallie, 2004, Human Geography: Places and Regions in Global Context.
Third Edition, Upper Saddle River, N.J.: Prentice Hall.
Landsat. http://www.landsat.org (accessed 11 Febr. 2005)
Neer, J. T., 1999. High Resolution Imaging from Space - A Commercial Perspective on a
Changing Landscape, International Archives of Photogrammetry and Remote Sensing, XXXII
(7C2): pp. 132-143.
Spellerberg, I.F., 1998. Ecological Effects of Roads and Traffic: a Literature Review. Global
Ecology and Biogeography 7: 317-333.
USGS. http://www.usgs.gov/pubprod/satellitedata.html (accessed 14 Febr. 2005)
Yunus, H. S. 1989. Subject Matter dan Metode Penelitian Geografi Permukiman Kota. Fakultas

Tidak ada komentar: