Minggu, 10 Januari 2010

LINGKUNGAN HIDUP UNTUK SISWA SD, SMP, DAN SMA

LINGKUNGAN HIDUP UNTUK SISWA SD, SMP, DAN SMA

OLEH:

BUCHORI ASYIK

1. PENDAHULUAN

Permasalahan lingkungan semakin dirasakan oleh manusia baik pada tingkat global sampai ke tingkat lokal. Gejala kerusakan lingkungan dapat disaksikan baik secara langsung atau tidak langsung. Pada tingkat global sudah tampak adanya gejala perubahan iklim global sebagai akibat menipisnya lapisan ozon, dan diperkirakan akan bepengaruh terhadap ekosistem permukaan bumi. Sebaliknya pada tingkat lokal telah banyak kasus-kasus kerusakan lingkungan sebagai akibat ulah aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya lingkungan di luar batas daya dukung alam. Dampak yang dirasakan bukan hanya bersifat lokal akan tetapi dapat meluas secara global/internasional. Contoh kasus yang terjadi kita saksikan adalah pembakaran hutan di pulau Sumatera asapnya dapat mengganggu negara tetangga. Dengan demikian permasalahan lingkungan tidak hanya terbatas pada wilayah adminstratif, akan tetapi permasalahan lingkungan dapat melampaui batas adminstratif.

Pemahaman konsep pembangunan lintas wilayah adminstratif atau pemahaman pembangunan yang berlandas ekologis perlu dimiliki oleh setiap warga negara tidak terkecuali kepada peserta didik, baik di jalur sekolah maupun di luar sekolah. Untuk sampai kepada pemahaman yang lebih dalam mengenai konsep tersebut diperlukan upaya yang sistimatis dan strategis, karena pembangunan yang berkaitan dengan “pendidikan dan lingkungan” merupakan pembangunan yang tidak dapat langsung mendapatkan uang dalam arti meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), akan tetapi pembangunan jangka panjang yang berorientasi kepada keberlangsungan kehidupan suatu bangsa atau daerah.

Pembangunan sikap dan perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dapat dilakukan sejak usia dini secara efektif melalui proses pembelajaran, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Dalam proses pembelajaran ini kita mengenal tiga ranah yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga ranah ini dalam kurikulum berbasiskan kompetensi yang telah diberlakukan secara nasional bulan Mei 2004 agar dapat juga disisipkan kompetensi mengenai lingkungan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Pemahaman lingkungan yang diberikan sejak dini, yang dimulai dari sekolah taman kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas bahkan sampai ke Perguruan Tinggi, diharapkan dapat memberikan pemahaman yang mendalam bagi peserta didik sehingga dapat menghasilkan warga negara yang mempunyai perilaku yang rasional dan bertanggung jawab terhadap lingkunganya. Perilaku setiap individu dari berbagai lapisan sosial yang mencintai tanah airnya yang diwujudkan dengan mengelola sumber daya lingkungan secara bijak sehingga mengedapankan sumber daya lingkungan sebagai modal utama dalam menjamin keberlangsungan pembangunan.

2 Pendekatan dan Strategi Pengelolaan Lingkungan

Pengelolaan lingkungan merupakan upaya terpadu untuk mengalokasikan dan memanfaatkan lingkungan secara optimal untuk menuju pembangunan yang berkelanjutan. Termasuk di dalamnya upaya mengelola berbagai konflik dalam pemanfaatan dan alokasi lingkungan agar tercapai manfaat yang optimal untuk berbagai pihak. Pengelolaan lingkungan ini dapat berpijak dari tiga titik yang berbeda, yaitu dari lingkungan fisik, sosial dan interaksi dari keduanya. Secara umum dapat dijelaskan ada lima pendekatan pengelolaan yaitu: pendekatan ekologis, Ekonomis, Teknologis, Sosio-kultural, dan Sosio-politis.

(1) Pendekatan ekologis yang dimaksud disini adalah pengalokasian dan pengelolaan lingkungan yang didasarkan atas prinsip-prinsip ekologis, terutama hubungan-hubungan antar berbagai komponen dalam satu sistem lingkungan fisik dan biologis. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang cenderung konvensional dalam pengelolaan lingkungan tetapi juga paling mendasar, terutama yang berpandangan “environmental determinism” yakni lingkunganlah yang akan mempengaruhi segalanya. Pendekatan ini dirasa sangat penting untuk memahami proses-proses perubahan lingkungan alam. Akan tetapi kekurangan pendekatan ini adalah kurang mampu utuk memecahkan persoalan-persoalan baru lingkungan, khususnya proses-prosses perubahan lingkungan dimana intervensi manusia begitu dominan.

(2) Pendekatan Ekonomis, didasarkan atas pemikiran tentang kelangkaan sumberdaya lingkungan sehingga menuntut para pengguna sumberdaya dan lingkungan untuk melakukan pilihan-pilihan yang seksama dalam memanfaatkan sumberdaya secara optimal. Dengan kata lain pendekatan ekonomis dalam pengelolaan lingkungan menekankan pada perhitungan-perhitungan rasional dalam mengalokasikan dan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan dalam kerangka sistem ekonomi yang terbuka dan kompetitip. Oleh karena bekerja dalam kerangka sistem ekonomi yang kompotitip, pendekatan ekonomi dalam pengelolaan lingkungan ditujukan untuk mencapai efesiensi ekonomi melalui pengurangan biaya produksi dan optimalisasi produk dan keuntungan. Kelayakan ekonomi (benafit-cost analysis) dan kemauan membayar (willingness to pay) merupakan model lingkungan berdasarkan kaidah ekonomi. Kedua model ini banyak dipakai dalam berbagai proyek ekplorasi dan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan dan mempunyai peran terutama dalam sistem pasar bebas. Kelemahan pendekatan ini adalah (a) menyangkut nilai relatif perhitungan-perhitungan untung rugi yang dilakukan, karena nilai perhitungan tidak bersifat mutlak dan tergantung harga pasar, pendekatan ini dianggap kurang sempurna; (b) tidak mampu sepenuhnya memasukkan nilai-nilai yang tak terukur dari kualitas dan komponen lingkungan, (c) tidak memasukkan dimensi waktu secara akurat, terutama nilai masa lalu yang cenderung tidak dimasukkan dalam perhitungan ekonomis, dan (d) terlalu mementingkan efesiensi, sehingga pendekatan ini mengabaikan nilai-nilai keadilan dan persamaan dalam alokasi lingkungan dan sumberdaya.

(3) Pendekatan Teknologis, Pendekatan teknologis da ekonomis sesungguhnya merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Pendekatan teknologis dalam pengelolaan lingkungan bekerja dengan semangat yang sama dengan pendekatan ekonomis, yakni untuk mengoptimalkan proses ekploitasi dan pemanfaatan lingkungan serta sumberdaya. Pendekatan ini menenkankan pada upaya-upaya teknoilogis yang memungkinkan proses produksi yang lebih efesien dengan hasil yang maksimal. Perkembangan teknologi juga memungkinkan dimanfaatkannya sumber-sumber alam lain yang selama ini terabaikan dan memungkinkan dicapainya proses dan hasil produksi yang lebih bersih dan memungkinkan daur ulang sumberdaya lingkungan. Kelemahan-kelamahannya adalah: (a) untuk mencapai efesiensi ekonomi cenderung mengabaikan nilai nilai lingkungan yang tidak terukur serta prinsip-prinsip keadailan dan persamaan, (b) tidak meratanya penguasan teknologi antar bangsa, kelompok masyarakat yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan dan ketidak adilan dalam pengalokasian dan pemanfaatan sumberdaya alam.(c) ketergantungan pada kapital yang dapat menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan, hanya meraka yang memiliki moldal yang dapat memanfaatkan teknologi, (d) penyalahan gunaan teknologi oleh sekelompok bangsa dan masyarakat, (e) ketergantungan hanya pada sekelompok ahli yang mengarah pada penyalahgunaan teknologi, (f) ada kecenderungan munculnya kultur yang terlalu mengagungkan teknologi dan melihat teknologi sebagai segala sumber pemecahan persoalan lingkungan dan perqadaban manusia.

(4) Pendekatan Sosio-kultural, Pendekatan sosio-kultural menekankan pada perlunya memahami aspek-aspek dan kultur masyarakat lokal dalam mengelola lingkungan. Pendekatan ini merupakan jawaban atas berbagai kritik terhadap tiga pendekatan pertama, terutama pada kepekaannya akan keragaman sistem sosial dan kultural di berbagai belahan dunia yang dalam banyak hal telah berhasil menunjukkan model-model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Pendekatan sosio-kultural menekakan bahwa perbedaan sistem sosial dan kultur akaan mempengaruhi bentuk-bentuk masyarakat dalam memandang dan memanfaatkan lingkugan serta sumberdaya. Pendekatan sosio-kulutur ini menjadi sangat penting pada negara-negara yang sedang berkembang, karena masih dijumpai bentuk-bentuk pengelolaan lingkungan secara lokal oleh sekelompok masyarakat. Pendekatan ini sejalan dengan berkembangnya perhatian terhadap isu-isu gender dalam pengelolaan lingkungan. Namun demikian pendekatan ini terdapat kelemahan yaitu seringkali muncul menyangkut keterbatasan untuk direplikasi serta kemungkinannya uuntuk menyelesaikan persoalan lingkungan global.

(5) Pendekatan Sosial-Politik, Pendekatan sosio-politik dalam penelolaan lingkungan didasarkan atas pemikiran tentang beragamnya kelompok-kelompok kepentingan dalam pengelolaan lingkungan yang masing-masing mempunyai persepsi dan rencana yang berbeda terhadap lingkungan. Pendekatan ini menyadari pluralitas sistem sosio-politis sebagai komponen utama lingkungan serta implikasinya bagi proses-proses perubahan dan pengelolaan lingkungan. Pendekatan ini menyadari bahwa konflik merupakan sesuatu yang inhernt ada dalam setiap proses perubahan lingkiungan sehingga upaya-upaya pengelolaan lingkungan harus pula diarahkan juga untuk mengelola konflik, teruama untuk mendapatkan suatu penyelesaian yang menguntungkan semua pihak. Sebagaimana diungkapkan oleh Mitchell (1997) konsep “politik ekologi” semakin sering dibicarakan dan karena konsep ini memungkinkan kita untuk memahami lebih jauh proses sebab akibat perubahan lingkungan , terutama yang menyangkut keterlibatan aktor-aktor utama (stake holders) dalam proses tersebut. Tiga komponen utama yang harus kita ketahui dalam pendekatan ini yaitu: sistem mikro yakni dinamika internal masyarakat atau komunitas; sistem makro yakni sistem pengorganisasian kekuasaan oleh negara, termasuk sistem hukum, azas negara, dan kelembagaan negara; dinamika interaksi antar sistem mikro dan makro yakni bagaimana hubungan antar masyarakat/komunitas dan negara berlansung.

Strategi dalam pengelolaan lingkungan sesuai dengan agenda 21 Indonesia merumuskan strategi nasional untuk pembangunan berkelanjutan yang dikelompokan dalam empat area yakni: Pelayanan masyarakat, pengelolaan limbah, pengelolaan sumberdaya tanah, dan pengelolaan sumberdaya alam.

(1) Pelayanan masyarakat pada dasarnya merupakan perwujudan prinsip-prinsip sosial-ekonomi pembangunan berkelanjutan. Agenda ini mendapat tekanan utama dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio De Jenairo, terutama didasarkan fakta bahwa masih banyak penduduk dunia yang hidup tingkat kesejahteraan yang minim. Di Indonesia agenda pelayanan masyarakat yang ditetapkan sebagai agenda pertama dan ini menyiratkan bahwa fokus pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup diarahkan pada dimensi sosial-ekonomi, tampa mengabaikan dimensi lain. Enam sub-agenda dirumuskan dalam agenda pelayanan masyarakat ini yaitu: (a) pengentasan kemiskinan, (b) perubahan pola konsumsi dan produksi, (c) dinamika penduduk (jumlah, persebaran dan kualitas), (d) pengembangan perumahan dan permukiman, (e) pelayanan kesehatan, dan (f) sistem pedagangan global, instrumen ekonomi, neracara ekonomi dan lingkungan terpadu.

(2) Pengelolaan limbah, merupakan agenda ke dua dalam agenda 21 Indonesia. Agenda ini dirumuskan terutama dengan sasaran untuk memperbaiki kondisi kualitas lingkungan hidup manusia serta mencegah proses degradasi lingkungan hidup secara keseluruhan.Ada lima aspek sasaran utama pengelolaan limbah yaitu: perlindungan atmosfir, pengelolaan limbah kimia beracun, pengelolaan limbah berbahaya dan bahan beracun, pengelolaan limbah padat dan cair. Dua hal yang perlu dicatat dalam pengelolaan limbah ini yaitu masih kuangnya kapabilitas kelembagaan yang menangani pengelolaan limbah dan kurang memdainya instrumen peraturan dalam mendukung pelaksanaan pengelolaan limbah. Hal ini menjadi penting mengingat semakin meningkatnya persoalan-persoalan yang berkaitan dengan limbah.

(3) Pengelolaan sumberdaya tanah dipandang penting dan didasari oleh pertimbangan bahwa proses-proses pembangunan yang akan terjadi di Indonesia masih akan ditumpukan pada potensi sumberdaya tanah. Oleh karenanya, sumberdaya tanah dengan segala komponen yang ada di dalamnya termasuk air, biota,dan lainnya dikelola secara baik. Empat sub-agenda dalam hal ini yaitu: penatgunaan sumber daya tanah, pengelolaan hutan, pengembangan pertanian dan perdesaan, serta pengelolaan sumber daya air.

(4) Pengelolaan sumberdaya alam, merupakan agenda keempat dalam agenda 21 Indonesia. Tiga sub agenda dirumuskan yakni: konservasi keanekaragaman hayati, pengembangan teknologi, dan pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan lautan. Penanganan ketiga aspek itu diarahkan pada upaya-upaya pelestarian dan perlindungan keanekaragaman biologi pada tingkat genetik, spesies dan ekosistem serta menjamin kekayaan alam, binatang dan tumbuhan di seluruh kepulauan Indonesia.

Pendekatan dan strategi tersebut di atas dapat memberikan arah dan menjamin kelangsungan pembangunan di masa datang. Kata orang bijak bahwa sumberdaya alam merupakan titipan anak cucu, menyadarkan kita untuk mewariskan kepada anak cucu kita di hari kemudian kelak lingkungan yang dapat menjamin keberlanjutan generasi yang akan datang.

3. Pendekatan Pendidikan dalam Pengelolaan Lingkungan

Untuk lebih menajamkan upaya dalam pengelolaan lingkungan, strategi dan pendekatan di atas merupakan pilihan-pilihan yang dapat diambil sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Pendekatan sosio-kultural yang dalam hal ini dapat dilakukan melalui Pendekatan Pendidikan lingkungan yang dapat ditempuh melalui pendekatan monolitik dan integratif. Pendekatan monolitik artinya pendekatan yang didasarkan pada pemikiran bahwa setiap mata ajaran merupakan sebuah komponen yang berdiri sendiri dan mempunyai tujuan tertentu dalam kesatuan sistem. Pendekatan monolitik dapat ditempuh dengan dua cara yaitu, membangun disiplin seperti pendidikan pengelolaan lingkungan hidup, yang kedudukannya dalam kurikulum sama dengan mata pelajaran lainnya. Ke dua membangun suaatu paket pendidikan yang merupakan pelajaran yang berdiri sendiri.

Pendekatan integratif yaitu membangun paket pendidikan ke dalam berbagai bidang mata ajaran tertentu. Pengintegrasian ini tercermin dalam empat hal yaitu: (a) intergrasi dalam kurikulum (GBPP), (b) terintegrasi dalam satuan pelajaran didasarkan pada GBPP yang telah diintegrasikan, (c) integrasi dalam proses belajar mengajar, (d) dan integrasi dalam penilaian baik formatif maupun summatif.

Model pendekatan ke dua ini cocok untuk pendidikan formal pada tingkat Sekolah Dasar sampai ke Sekolah Menengah Atas, karena tidak menambah jam pelajaran di sekolah sehingga pelaksanaannya lebih efesien karena tidak menambah beban kurikulum di sekolah. Walaupun diakui bahwa harus banyak guru bidang studi yang ditambah pengetahuan tentang bahan yang akan disampaikan. Banyaknya keterlibatan guru dalam pengintegrasian materi dalam hal ini mengenai lingkungan akan semakin baik, karena transformasi pengetahuan lingkungan akan lebih cepat tersebar ke peserta didik.

Untuk melaksanakan pendekatan integratif ini guru dituntut untuk mempelajari matrik pelajaran pendidikan pengelolaan lingkungan yang telah diintegrasikan ke dalam bidang studi, guru mempelajari materi ajar dari berbagai sumber pembelajaran, guru juga harus mampu membuat satuan pelajaran yang telah terintegrasi, dan guru harus mampu membuat dan menciptakan alat evaluasi serta media pembelajaran yang terintegrasi.

Materi ajar yang terkait dengan lingkungan seperti: lingkunngagan hidup alami, lingkungan hidup buatan, dan lingkungan hidup sosial. Sedangkan yang terkaitkan dengan pengelolaan lingkungan seperti: kebijakan lingkungan, pembinaan dan perlindungan alam, pengelolaan tata ruang, pengelolaan pencemaran, fungsi AMDAL dalam pengelolaan lingkungan, Peraturan perundang-undangan, dan kelembagaan.

4. Pembuatan Modul Lingkungan

Tujuan utama sistem modul adalah untuk meningkatkan efesiensi dan efektivitas pembelajaran di sekolah, baik waktu, dana, fasilitas, maupun tenaga guna mencapai tujuan secara optimal. Pembelajaran dengan sistem modul memiliki karakteristik sebagai berikut (Mulyasa, 2003):

(a) Setiap modul harus memberikan informasi dan memberikan petunjuk pelaksanaan yang jelas tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang peserta didik, bagaimana melakukannya, dan sumber belajar apa yang harus digunakan,

(b) Modul merupakan pembelajaran individual, sehingga mengupayakan untuk melibatkan sebanyak mungkin karakteristik peserta didik. Dalam hal ini setiap modul harus: memungkinkan peserta didik mengalami kemajuan belajar sesuai dengan kemampuannya, memungkinkan peserta didik mengukur kemajuan belajar yang telah diperoleh, dan memfokuskan peserta didik pada tujuan pembelajaran yang sfesifik dan dapat diukur.

(c) Pengalaman belajar dalam modul disediakan untuk membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran seefektif dan seefesien mungkin, serta memungkinkan peserta didik untuk melakukan pembelajaran secara aktif, tidak sekedar membaca dan mendengar, tetapi lebih dari itu, modul memberikan kesempatan untuk bermain peran, simulasi, dan berdiskusi;

(d) Materi pembelajaran disajikan secara logis dan sistimatis sehingga peserta didik dapat mengetahui kapan dia memulai dan kapan mengakhiri suatu modul, dan tidak menimbulkan pertanyaan mengenai apa yang harus dilakukan, atau dipelajari;

(e) Setiap modul memiliki mekanisme untuk mengukur pencapaian tujuan belajar peserta didik, terutama untuk memberikan umpan balik bagi peserta didik dalam mencapai ketuntasan belajar. Pengukuran ini juga merupakan suatu kreteria atau standard kelengkapan modul.

Pada umumnya sebuah modul terdiri dari atas beberapa komponen sebagai berikut: Lembar kegiatan, lembar kerja, kunci lembar kerja, lembar soal, lembar jawaban, dan kunci jawaban. Dari berbagai komponen terserbut selanjutnya dikemas dalam format modul sebagai berikut:

(1) Pendahuluan: bagian ini berisikan deskripsi umum, seperti materi yang disajikan, pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang akan dicapai setelah belajar; termasuk kemampuan awal yang harus dimiliki untuk mempelajari modul tersebut;

(2) Tujuan pembelajaran: bagian ini berisikan tujuan-tujuan pembelajaran khusus yang harus dicapai oleh setiap peserta didik setelah mempelajari modul. Dalam bagian ini dimuat pula tujuan terminal dan tujuan akhir, serta kondisi untuk mencapai tujuan;

(3) Tes awal. Tes ini berguna untuk menetapkan posisi peserta didik, dan mengetahui kemapuan awalnya, untuk menentukan dari mana ia harus memulai belajar, dan apakah perlu untuk mempelajari modul tersebut atau tidak;

(4) Pengalaman Belajar: bagian ini merupakan rincian materi untuk setiap tujuan pembelajaran khusus, yang berisi sejumlah materi, diikuti dengan penilaian formatif sebagai balikan bagi peserta didik tentang tujuan belajar yang dicapai;

(5) Sumber belajar: Bagian ini disajikan tentang sumber-sumber belajar yang dapat ditelusuri dan digunakan oleh peserta didik. Penetapan sumber belajar ini perlu dilakukan dengan baik oleh pengembang modul, sehingga peserta didik tidak kesulitan memperolehnya;

(6) Tes akhir. Tes akhir ini instrumennya sama dengan isi tes awal, hanya lebih difokuskan pada tujuan terminal setiap modul.

Sebuah modul mencakup seluruh kegiatan belajar yang harus ditempuh oleh peserta didik, sehingga guru tidak lagi menjadi unsur pokok di dalam mempelajari kompetensi. Peranan guru dalam sistem penyajian dengan modul adalah sumber tambahan dan pembimbing, namun banyak peserta didik mungkin tidak membuthkan masukan dari guru dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut. Oleh karena itu, guru dalam sistem pembelajaran modul ini tugasnya bukan untuk menyampaikan bahan kepada peserta didik sebagaimana halnya dalam sistem biasa. Tugas utama guru dalam sistem modul ini adalah mengorganisasi dan mengatur proses belajar, antara lain: menyiapkan situasi belajar yang kondusif, membantu peserta didik yang mengalami kesulitan di dalam memahami isi modul atau pelaksanaan tugas, dan melaksanakan penelitian terhadap setiap peserta didik.

Beberapa keunggulan pembelajaran dengan sistem modul antara lain:

(1) Berfokus pada kemampuan individual peserta didik, karena pada hakekatnya ereka memiliki kemampuan untuk bekerja sendiri dan lebih bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya,

(2) adanya kontrol terhadap hasil belajar melalui penggunaan standar kompetensi dalam setiap modul yang harus dicapai oleh peserta didik,

(3) Relevansi kurikulum ditunjukkan dengan adanya tujuan dan cara pencapaiannya, sehingga peserta didik dapat mengetahui keterkaitan antara pembelajaran dan hasil yang akan diperolehnya.

Sedangkan keterbatasan modul sebagai berikut:

(1) Penyusunan modul yang baik membutuhkan keahlian tertentu. Sukses atau gagalnya suatu modul bergantung pada penyusunnya. Modul mungkin saja memuat tujuan dan alat ukur berarti, akan tetapi pengalaman belajar yang termuat di dalmnya tidak ditulis dengan baik atu tidak lengkap. Modul yang demikian kemungkinan besar akan ditolak oleh peserta didik, atau lebih parah lagi peserta didik harus berkonsultasi dengan fasilitator. Hal ini tentu saja menyimpang dari karakteristik utama modul,

(2) Sulit menentukan proses penjadwalan dan kelulusan serta membtuhkan manajemen pendidikan yang sangat berbeda dari pembelajaran konvensional, karena setiap peserta didik menyelesaikan modul dalam waktu yang berbeda-beda, bergantung pada kecepatan dan kemampuan masing-masing,

(3) Dukungan pembelajaran berupa sumber belajar, pada umumnya cukup mahal, karena setiap peserta didik harus mencarinya sendiri. Berbeda dengan pembelajaran onvensional, sumber belajar seperti alat peraga dapat digunakan bersama-sama dalam pembelajaran.

Dengan segala kelebihan dan kekurangan modul seperti diuraikan di atas, paling tidak pendidikan lingkungan hidup kalau sudah dituangkan dalam sebuah modul, apakah dengan pendekatan monolitik atau integratif informasi lingkungan dapat sampai kepada peserta didik sejak dini. Informasi tersebut diharapkan dapat menjadi pengetahuan bagi peserta didik yang membentuk sikap positif terhadap lingkungan dan menjadi bahan referensi dalam bertindak maupun dalam mengambil keputusan manakala kelak menjadi pimpinan.

Modul yang disusun untuk jenjang pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas khususnya di Kabupaten Lampung Barat, diharapkan dapat menunjukkan ciri khas lingkungan wilayah ini, sehingga peserta didik dapat mengenal wilayahnya dengan baik. Dengan demikian pengetahuan yang dimiliki oleh peserta didik sekaligus dapat mengkritisi konsep pembangunan yang diterapkan yang tidak cocok dengan karakteristik wilayahnya.

Modul yang ditulis dengan menonjolkan karakteristik wilayah akan memperkaya khasanah pengetahuan lingkungan hidup bukan hanya peserta didik wilayah ini, akan tetapi peserta didik di luar Kabupaten Lampung Barat. Dengan modul berkarakaterik wilayah peserta didik dapat mengenal dengan baik berbagai karakteristik wilayah dalam suatu region, sehingga secara tidak langsung peserta didik akan memahami interaksi antar wilayah yang beragam.

5. Penutup

Permasalahan lingkungan yang telah melanda dunia saat ini tidak hanya dapat diselesaikan dengan menyusun perangkat peraturan yang mengatur perilaku manusia. Hal yang sanagat diperlukan adalah bagaimana pembentukan perilaku tersebut. Salah satu upaya pembentukan perilaku adalah memberikan pendidikan sejak dini tentang pengetahuan lingkungan hidup baik melalui jalur sekolah (formal) atau di luar sekolah (non formal). Penyusunan modul pendidikan lingkungan baik bersifat monolitik atau integratif dengan memperhatikan karakteristik wilayah tidak mudah dilakukan, namun perlu diupayakan, agar peserta didik mengenal lingkungannya lebih awal, sehingga peserta didik dapat berperilaku rasional dan bertanggung jawab terhadap lingkungannya.

Dampak pengenalan lingkungan kepada peserta didik sejak dini terhadap pengelolaan lingkungan hidup, tidak dapat dilihat dalam waktu singkat, akan tetapi memerlukan waktu yang lama. Investasi dalam bidang pendidikan lingkungan memerlukan waktu lama dan menuntut kesabaran dari berbagai pihak. Upaya yang terus menerus dalam bentuk penyadaran dan pemberdayaan peserta didik dan pelaku pendidikan terutama guru dalam bidang lingkungan merupakan langkah strategis untuk menjamin keselamatan lingkungan dan keberlanjutan pembagunan.

Daftar Referensi

Dendosurono Prawiroatmodjo dan Ismail Arianto (edit) 1989. Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup Untuik IKIP dan FKIP, Buku Pegangan Mahasiswa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.

Jonny Purba, 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial, Kantor Meneteri Negara Lingkungan Hidup Yayasan Obor Indonesia.

Kementerian Lingkungan Hidup, 2002. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997, Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. PT Remaja Rosdakarya Bandung.

Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UGM. 2001. Konsep Dasar dan Prinsip-Prinsip Pengelolaan Lingkungan. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Jakarta.

Soerjani (edit), 1987. Lingkungan: Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. UI Press Jakarta.

Tidak ada komentar: