Kamis, 08 April 2010

INDONESIA PENGRUSAK HUTAN TERWAHID DI DUNIA?!

INDONESIA PENGRUSAK HUTAN TERWAHID DI DUNIA?!

Indonesia dicatat dalam Buku Rekor Dunia Guinness Edisi Tahun 2008 sebagai penghancur hutan tercepat. Dalam buku rekor dunia yang akan diluncurkan pada bulan September 2008 tersebut mencatat bahwa Indonesia telah menghancurkan luas hutan yang setara dengan 300 lapangan sepakbola setiap jamnya. Menyandang gelar pada buku rekor ini adalah hal yang memalukan bagi Indonesia. Sangatlah menyedihkan dan tragis bahwa di antara negara-negara dengan tutupan hutan tersisa yang masih luas, Indonesia menjadi yang tercepat dalam kehancuran hutannya.
Sebanyak 72 persen dari hutan asli Indonesia telah musnah dan setengah dari yang masih ada terancam keberadaannya oleh penebangan komersil, kebakaran hutan dan pembukaan hutan untuk kebun kelapa sawit. Pencantuman rekor dalam buku Guinness akan tercatat sebagai berikut: “Dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90% hutan di dunia, negara yang meraih tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia adalah Indonesia, dengan 1.8 juta hektar hutan dihancurkan per tahun antara tahun 2000 hingga 2005–sebuah tingkat kehancuran hutan sebesar 2% setiap tahunnya atau 51 km2 per hari”.
Rekor Indonesia sebagai penghancur hutan tercepat juga menyebabkan negara ini menjadi pencemar rumah kaca ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina. Hingga sebesar 25% dari emisi gas rumah kaca disebabkan oleh pembukaan lahan hutan.
Untuk itu, Greenpeace menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan penghentian penebangan sementara (moratorium) terhadap seluruh operasi penebangan hutan skala komersial di seluruh kawasan hutan alam di Indonesia. Moratorium adalah langkah awal untuk menghentikan laju deforestasi yang tak terkendali.
Menurut pendapat saya langkah awal ini juga memberikan kesempatan kepada hutan untuk memulihkan dirinya. Moratorium juga harus digunakan untuk mengkaji ulang dan mengubah arah kebijakan terkait dengan hutan yang masih tersisa di Indonesia yang seperti kita ketahui bahwa, kebijakan hanya mendorong kepentingan-kepentingan yang mendukung terjadinya kehancuran dibandingkan perlindungan. Sektor kehutanan di Indonesia telah dan masih dirusak oleh ketidakpastian hukum, korupsi dan penjarah hutan yang semuanya masih belum berhasil dikontrol oleh pemerintah Indonesia. Akan tetapi sepertinya pemerintah Indonesia telahbukan malah memeperbaiki keadaan malah semakin memperburuk dengan hadirnya PP No2 tahun 2008.
Pada tanggal 4 Februari 2008 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.2 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan diluar Kegiatan Kehutanan dengan membuka banyak peluang- peluang oleh orang-orang yang “tertarik” untuk mengelolanya. Peluang-peluang tersebut adalah peluang pembukaan hutan lindung dan hutan produksi untuk kegiatan bahan pertambangan, infrastruktur telekomunikasi dan jalan tol dengan tarif sewa seharga Rp 120, sedangkan untuk hutan produksi dan Rp 300 per meter persegi per tahun.
Secara singkat, PP tersebut merupakan turunan dari Perpu No 1/2004 yang memeberikan izin bagi usaha pertambangan di hutan lindung. Perpu yang kemudian diperkuat dengan keppres No.41 tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan di Kawasan Hutan, bersama DPR kemudian ditetapkan menjadi UU No. 19 tahun 2004.
Dalam banyak kajian disebutkan bahwa UU No. 19/ 2004 tentang penetapan Perpu No. 1 tahun 2004 tentang perubahan atas UU N0.41 tahun 1999 tentang kehutanan menjadi undang-undang tidak memenuhi syarat sebagai suatu produk perundang-undangan, merupakan bentuk tindakan sewenang-wenang dalam menggunakan kekuasaan (dotournament de pouvoir) dan bertentangan dengan tata cara pembuatan Perundang-undangan yang baik serta melanggar ketentuan konstitusi, pembukaan alinea 1, 2, dan 3, pasal 1 ayat (1) dan (2) dan (3), pasal 20a, dan pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
Tambang dihutan jelas akan menimbulkan kerusakan permanen. Aktivitas penambangan memiliki daya musnah yang luar biasa. Tidak saja terjadi pada kawasan yang dibuka namun juga pada kawasan hilir yang ditempati oleh komunitas-komunitas masyarakat. Secara pasti, PP ini akan memuluskan pemusnahan 925 ribu hektar hutan lindung di Indonesia yang akan dilakukan oleh 13 perusahaan. PP yang tidak menyebutkan sama sekali bahwa aturan ini ditujukan juga 13 perusahaan yang ada juga berpotensi untuk memuluskan jalan bagi 158 perusahaan tambang lainnya untuk mengobrak abrik 11.4 juta hektar hutan lindung. Semuanya bisa dilakukan dengan hanya membayar Rp 300 per meter per segi.
Hingga disini terjadi ketidak konsistenan Pemerintah Indonesia. Dalam pertemuan para pihak di Bali (UNFCC) pemerintah telah mendeklerasikan niatnya menjadi pionir dalam penurunan emisi global dengan melakukan penyelamatan kawasan hutan. Sementara dengan PP ini, pemerintah justru melanjutkan blunder pemerintah sebelumnya dengan memfasilitasi penghancuran hutan lindung, dengan biaya yang bahkan lebih murah dari sepotong pisang goreng.
Indonesia haruslah tegas, walaupun dalam keterpurukan ekonomi tidaklah pantas jika mengorbankan hutan yang beribu-ribu hektar hanya untuk keuntungan yang tak sekira. Hendaknya lebih bijak dalam perumusan kebijakan yang menyangkut keberlangsungan hidup ragam hayati, hewani dan juga kita, manusia.

Yogyakarta 2008

Tidak ada komentar: